Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANCAR dan tidak ada masalah. Ini kesimpulan hampir semua
kalangan yang terlibat dalam Sidang Umum MPR 1983. Walaupun SU
yang dibuka pada hari Selasa Legi 1 Maret lalu itu belum
berakhir, semua tanda memang mengarah ke sana: SU yang akan
ditutup hari Jumat Legi 11 Maret bisa dipastikan akan sukses.
Salah satu tanda itu adalah berulang kali terdengarnya gemuruh
teriakan "Setuju" pada sidang-sidang komisi, menyetujui
Rancangan Ketetapan (Rantap) yang dibahas. Tanda lainnya ialah
hampir tidak ditemui wajah-wajah tegang selama persidangan ini.
Sikap santai juga tampak pada ratusan wartawan yang meliput
acara yang diadakan sekali dalam 5 tahun tersebut.
Namun ada yang membantah kelancaran dan mulusnya SU MPR kali ini
karena "sudah diatur". "Itu pendapat yang keliru Orang yang
berpandangan demikian beraru tidak mempercayai wakil-wakilnya
yang ia pilih di Majelis," kata Ketua F-KP di MPR Soekardi.
Bila terjadi pembicaraan yang berteletele, menurut
penilaiannya, berarti para pimpinan fraksi di MPR tidak
melakukan pengarahan yang sungguh-sungguh kepada para
anggotanya. Adanya Badan Pekerja yang mempersiapkan rancangan
keputusan, merupakan suatu hal yang umum pada setiap konperensi.
"Kalau sekarang sidang umum lancar, berarti para pimpinan fraksi
memberikan petunjuk yang betul," kata Soekardi.
Kelancaran SU MPR ini sebagian besar memangberkat prestasi
badan Pekerja MPR yang merampungkan tugasnya - menyiapkan Rantap
dan Rantus (Rancangan Keputusan) - akhir Januari lalu. Praktis
semua potensi konflik sudah bisa dicegat dan diatasi dalam
sidang-sidang BP ini. Semua fraksi setuju untuk "menunda"
perdebatan masalah yang dianggap krusial, antara lain pemllu,
prinsip massa mengambang serta formulasi asas tunggal Pancasila,
dalam pembahasan perubahan UU Parpol dan Golkar kelak (TEMPO, 29
Januari).
Rantap pertama yang dihasilkan SU MPR 1983 (Tap MPR No.
I/MPR/1983) adalah Peraturan Tata Tertib (Tatib) MPR yang baru.
Pengesahan itu terjadi pada 1 Maret malam, setelah paginya
Presiden/Mandataris MPR membacakan pidato pertanggungjawaban.
Banyak hal baru dalam Tap yang disctujui secara aklamasi itu.
Berbeda dengan Tatib MPR yang terdahulu, tata tertib yang baru
ini berlaku seterusnya, tidak hanya untuk satu periode MPR. Yang
juga baru adalah tercantumnya beberapa pasal yang dimasudkan
untuk mempersempit kemungkinan diubahnya UUD 1945.
F-PDI menyebut pasal-pasal tersebut "kunci mati" yang merupakan
suatu "benteng kuat" agar pasal 37 UUD 1945 - yang memungkinkan
perubahan UUD - tidak secara mudah digunakan MPR. Sedang KP
menganggapnya sebagai usaha "pengamanan kosntitusional terhadap
kelestarian Pancasila dan UUD 1945."
Beberapa pasal tersebut adalah v ang mengatur mekanisnie
referendum untuk mengubah UUD. Misalnya pasal 105 yang
menyatakan usul majelis untuk mengubah UUD harus diajukan
sekurang-kurangnya 4 fraksi seutuhnya, dengan daftar nama dan
tanda tangan seluruh anggota. Sedang pasal 106 menyebutkan: jika
majelis menyetujui usul perubahan ini, majelis menugaskan
Presiden/Mandataris untuk melaksanakan referendum sesuai dengan
undang-undangnya. "Pembuatan undang-undang ini akan memakan
waktu lama," kata Marsusi dari F-PDI dalam pendapat akhir
fraksinya.
Hari kedua dan ketiga SU MPR, Rabu dan Kamis, diisi dengan rapat
fraksi secara pemandangan umum terhadap Rantap-ral1tap hasil BP
MPR. Pada hari-hari itu, pimpinan fraksi-fraksi MPR juga
memanfaatkannya untuk menemui Presiden Soeharto dan Ketua
Bepeka Umar Wirahadikusumah, meminta kesediaan mereka untuk
dicalonkan sebagai presiden dan waprcs periode 1983-1988. Kedua
tokoh tersebut menerima dan bersedia dicalonkan. Dengan demikian
Jenderal (Purn.) Soeharto danJenderal (Purn.) Umar
Wirahadikusumah merupakan nama calon tunggal presiden dan wapres
yang disampaikan fraksi-fraksi MPR kepada pimpinan MPR Selasa 8
Maret.
Menurut jadwal sidang, hasil inventarisasi dan penelitian
surat-surat pencalonan presiden dilakukan majelis pada hari
Rabu, dan akan diumumkan esoknya. Kamis pagi itu juga dilakukan
pemilihan presiden RI periode ]983-1988, sedang sumpah Presiden
akan diucapkan pada rapat paripurna ke-8 hari Jumat pagi.
Setelah itu kepada Presiden/Mandataris MPR diserahkan
Ketetapan-Ketetapan MPR.
Ada 8 Ketetapan MPR yang disahkan Rabu malam ini, semuanya
disetujui sidang secara bulat. Sesuai jadwal, pembahasan semua
Rantap diselesaikan pada hari Minggu lalu. Rantap yang terakhir
diterima adalah mengenai Garis Besar Haluan Negara, dibahas oleh
Komisi A yang diketuai Soekardi.
Dalam sidang Komisi A ini sempat terjadi "kejutan" kecil,
tatkala F-PDI mengusulkan beberapa perubahan, antara lain agar
GBHN juga memuat kemungkinan ekspor pangali, menggantikan
istilah swasembada pangan yang sudah disetujui BP. Akibatnya
sidang terpaksa diskors satu jam guna mengadakan rembukan.
Namun ternyata tidak terjadi perubahan. "Rantap GBHN itu
akhirnya diterima dengan tidak ada catatan tambahan. Juga tidak
ada lampiran," kata Soekardi. Diakuinya Komisi A paling lambat
menyelesaikan tugasnya "karena materi yang dibahasnya lebih
banyak."
Ada yang menilai kejutan kecil F-PDI tersebut scbagai sekadar
usaha "pamer" buat massa PDI. Malah ada lagi pihak yang lebih
sinis. "Move tersebut tak lebih sekadar upaya tahankan
posisinya," ujar seorang tokoh nonparpol. Namun ada juga yang
memuji: dengan usaha itu PDI menunjukkan bahwa fraksi terkecil
itu tidak bersikap "pasrah".
Asas tunggal Pancasila yang termaktub dalam GBHN dan semula
diduga akan menjadi ganjalan, ternyata juga mulus diterima
Komisi A. "Dengan asas Pancasila sebagai satu-satunya asas
politik, kita sudah tidak mempersoalkan lagi masalah ideologi
sebab ideologi kita sudah ideologi bangsa," ujar H.M. Yunus
Umar, juru bicara FPP di komisi A. Ia juga menilai GBHN yang
baru ini jauh lebih maju dibanding yang lama.
Yang paling lancar adalah Komisi C yang diketuai Gubernur
Ja-Teng Soepardjo Roestam. Komisi ini mengakhiri sidangnya hari
Minggu siang, setelah hanya satu setengah jam berembuk. Dengan
suara bulat komisi ini menerima Rantap tentang
Pertanggungjawaban Presiden RI selaku Mandataris da pengukuhan
gelar Bapak Pembangunan Nasional kepada Jenderal (Purn.)
Soeharto.
Menurut Wakil Ketua Komisi C Moerdopo, mulusnya sidang komisi C
disebabkan karena banyaknya pernyataan dan dukungan kepada Pak
Harto. Jadi rakyat sudah menilai langsung. Para wakil rakyat
sudah gayung bersambut dengan rakyat. Ini menyebabkan
pembicaraan di Komisi C lancar," ujarnya.
Pihak parpol urnumnya menyertakan "titipan" harapan sewaktu
menerima suatu Rantap. Dalam Komisi B, sembari menyatakan "tidak
berkehendak mengubah pasal-pasal dalam Rantap tentang Pemilu,"
Adipranoto dari F-PDI menyatakan harapan fraksinya agar UU
Pemilu yang akan disusun kelak benar-benar menjamin adanya
demokrasi Pancasila. Antara lain agar tiap fraksi dijamin
memiliki 5 wakil di MPR.
Harapan yang diutarakan F-PP sewaktu menerima Rantap yang sama
lebih tegas.
Juru bicaranya Ismail Hasan Metareum mengharapkan agar dalam UU
yang mengatur pemilu nanti, semua warga negara "benar-benar
bebas memberikan suara mereka, dalam arti sesungguhnya, dari
waktu pendaftaran sampai di bilik suara." Jua dalam
kerahasiaan. "Hendaknya dapat dibuat ketentuan sedemikian rupa,
sehingga tidak ada seorang pun yang berhak untuk bertanya,
apakah yang kau coblos tadi," kata Ismail.
Dalam Rantap tentang pemilu tersebut dinyatakan bahwa ABRI tetap
tidak akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, hingga
kehadirannya dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat
masih ditetapkan melalui pengangkatan. Namun dalam pasal 5
Rantap ini dicantumkan juga kemungkinan adanya ggota MPR yang
merupakan "utusan golongan". Masih belum jelas perumusan istilah
ini, yang pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
Ketetapan yang benar-benar baru adalah mengenai referendum.
Referendum ini hanya mungkin diadakan bila MPR bermaksud
mengubah UUD 1945. Kemunkinan ini praktis ditutup oleh rapat
melarui serangkaian ketentuan tata-tertib yang ketat. Lahirnya
Tap ini mengakibatkan ketentuan undang-undang mengenai
pengangkatan 1/3 anggota MPR akan ditinjau kembali. Namun bentuk
peninjauan ini tampaknya baru akan dibahas dalam pembicaraan
mengenai UU Pemilu yang baru kelak.
Alhasil, hampir semua Rantap diterima dan disetujui secara
bulat. Paling-paling yang terjadi adalah perubahan redaksional
kecil di sana-sini. Pernah terjadi suatu hal yang langka di
sini. F-KP dan F-PP misalnya, sewaktu membahas Rantap tentang
Pelimpahan Tugas dan Wewenang kepada Presiden/Mandataris MPR
dalam rangka pensuksesan dan pengamanan Pembangunan Nasional,
sama-sama mengusulkan agar kata "spiritual" diganti dengan
"spirituil". Tepuk tngan gemuruh menyambut persesuaian pendapat
tersebut.
Ada yang menganggap absennya voting dan walk out - seperti
pernah terjadi dalam SU MPR 1978 - dalam SU MPR tahun ini
sebagai bukti telah berjalannya mekanisme demokrasi Pancasila.
Di samping itu juga sebagai tanda kedewasaan sikap. "Dibanding
1978, kini sudah mulai ada sikap kenegarawanan dari pimpinan
partai. Mereka sudah tidak lagi membicarakan kepentingan
kelompok," kata Ketua KNPI Aulia Rachman.
Mungkin saja. Tapi banyak yang berseloroh, sukses SU MPR 1983
yang menelan biaya lebih dari Rp 2 milyar ini berkat adanya obat
kuat: tersedianya minuman jamu gratis dalam sidang kali ini. Ini
tentu saja hanya gurauan. Yang jelas, semua anggota MPR pasti
sadar, apa yang mereka bahas bukanlah sesuatu yang rutin. Tapi
adalah sesuatu yang menentukan, dan mengarahkan nasib bangsa
kita, paling tidak untuk 5 tahun mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo