Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUMPUKAN proposal kegiatan menggunung di ruang tengah kediaman Arif Wibowo di perumahan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Kalibata, Jakarta Selatan. Salah satunya terselip proposal tipis sampul biru muda bergambar bebek sedang berenang.
"Itu permohonan permintaan dana Rp 45 juta untuk ternak bebek pedaging," kata anggota Komisi Politik dan Pemerintahan DPR itu sambil tertawa, Kamis malam pekan lalu. Ketika reses pada April-Mei lalu di daerah pemilihannya, Jember dan Lumajang, Jawa Timur, Arif juga ketiban permintaan lain dari konstituen: dana Rp 2 miliar buat bikin pabrik batu bata di Jalan Raya Padang, Lumajang. "Kalau istri saya tahu, bisa pingsan."
Lalu apa hubungannya ternak bebek dan pabrik bata dengan tugas Komisi Politik? Ya, tidak ada. Tapi begitulah permintaan para pemilih dan pendukung yang ditemui selama masa reses anggota DPR yang dijadwalkan empat kali dalam setahun.
Menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, hanya 20 persen permintaan yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi Komisi Politik, yakni pertanahan dan pemerintahan. Tuntutan di luar kewenangan, seperti perbaikan infrastruktur jalan dan pertanian, tentu tak bisa dipenuhi.
Banyak juga permintaan bersifat pribadi, tapi bukan uang. Menjadi anggota Dewan dari Partai Demokrat sejak 2009, Khatibul Umam Wiranu kebanjiran permintaan menyalurkan anak lulusan sekolah lanjutan yang orang tuanya tak mampu membiayai kuliah setiap turun ke daerah pemilihan Jawa Tengah VIII, yang meliputi Kabupaten Banyumas dan Cilacap. Permohonan bantuan lainnya dari pasar desa, biaya perbaikan rumah, sampai biaya nikah. "Yang minta uang itu tim sukses, tentu saya beri," ujar Khatibul.
Para pendukung pun sering main todong. Dalam pertemuan di Boyolali, Jawa Tengah, pada Mei lalu, Aria Bima ditunjukkan kandang sapi, lalu diminta membelikan sapi. Padahal politikus PDIP itu dari Komisi VI, yang membidangi badan usaha milik negara, bukan pertanian. Tak mungkin menolak, dia lantas meminta bantuan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Ongkos membina konstituen memang besar. Tapi itu bisa ditutup dengan pendapatan resmi anggota DPR. Dari total take home pay Rp 58 juta per bulan, sejumlah politikus mengambil setengahnya untuk kebutuhan keluarga. Sisanya plus uang reses untuk urusan politik. Uang reses Rp 150 juta diberikan empat kali dalam setahun. Artinya, selama lima tahun mengantongi Rp 3 miliar.
Belum lagi kegiatan sosialisasi konstitusi dan undang-undang di daerah pemilihan yang bisa dipakai membina pemilih. "Honor sebagai pembicara bisa untuk pribadi atau konstituen," ujar Khatibul.
Toh, para anggota DPR tadi tetap bisa membina tim di daerah dan beberapa kali masuk Senayan. Maman Imanulhaq, politikus Partai Kebangkitan Bangsa yang baru bergabung di DPR pada 2014, memiliki rumah aspirasi di Subang, Majalengka, dan Sumedang, dengan 12 petugas yang mesti digaji tiap bulan. Mereka bertugas menjaring dan menyebarkan informasi sekaligus membina konstituen. "Anggota DPR takut ke dapil karena dianggap bisa bikin jalan dan kasih sumbangan," kata Maman.
Dari gaji dan uang reses juga, Hasrul Azwar dari Partai Persatuan Pembangunan bisa mengadakan pengajian rutin dan perayaan hari besar Islam untuk konstituen di Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi. Walhasil, pada 1982 dia menjadi anggota DPRD Kota Medan, lalu DPRD Provinsi Sumatera Utara dan anggota DPR tiga periode. "Kampanye 2014, saya habis cuma Rp 750 juta."
Jobpie Sugiharto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo