Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gairah pencarian Tuhan melalui riset sains, pekan lalu, menggelegak di sebuah hotel di jantung Kota Yogyakarta. Kesan ini tergambar dari semangat yang menggebu-gebu ratusan peserta konferensi internasional tentang sains dan agama di sana. Pun dari keseriusan para pakar yang memamerkan kedalaman pengetahuannya dan ketajaman analisisnya.
Cendekiawan yang berbicara pada perhelatan yang digagas oleh Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada itu memang tak sembarangan. Mereka merupakan pakar bereputasi dunia, antara lain Dr. Mehdi Golshani, fisikawan dan filsuf asal Iran, dan Dr. Bruno Abdul Haqq Guigerdoni, astrofisikawan asal Prancis.
Peserta langsung diajak mengembara di jagat kosmologi. Sesuai dengan Teori Big-Bang, alam semesta mula-mula terbentuk dari dentuman besar. Lalu muncul jagat raya, termasuk tata surya, dan setelah berevolusi selama 10 miliar tahun wujudnya seperti sekarang. Bruno Guigerdoni dan Dr. Karlina Leksono, ahli astronomi dan filsafat dari Universitas Driyarkara, yang juga jadi pembicara, berusaha menjajaki teori ini. Seandainya teori ini benar, siapa yang menciptakan dentuman itu? Ini pertanyaan kritis dari Bruno.
Karlina pun mengajak peserta bersikap cermat. Katanya, dari teori itu justru bisa disimpulkan bahwa diperlukan energi awal untuk menggerakkan proses evolusi tersebut. "Lalu, dari mana datangnya?"
Dari situlah terpancar dalam konferensi itu bahwa agama dan sains sebenarnya tak harus saling bertabrakan. Ilmu pengetahuan justru bisa membawa manusia untuk semakin mengakui keberadaan Tuhan. Dalam soal begini, Mahmoud Ayoub, doktor sejarah agama dari Universitas Harvard, dan Dr. William Grassie, pendiri Metanexus Institute on Religion and Science, amat lihai membius peserta lewat argumen-argumennya. Di mata Grassie, apresiasinya yang mendalam tentang jagat raya akan membuat orang semakin kecil di hadapan Tuhan.
Sebagian pakar juga pernah terlibat dalam forum Science and Spiritual Quest (SSQ) yang didukung Yayasan Templeton di Amerika Serikat. Perhelatan kali ini juga merupakan kelanjutan dari forum yang didukung sebagian besar para ilmuwan kelas dunia ini. Bahkan SSQ yang pertama pada 2001 memperoleh liputan luas media. Majalah Newsweek menurunkannya menjadi laporan utama dengan judul provokatif, Science Finds God. Buktinya? Sejumlah ilmuwan dari kampus-kampus besar di negara-negara Barat mulai menemukan jejak-jejak Tuhan dalam riset sains modern.
Dalam SSQ yang kedua pada 2002, salah satu teori baru yang muncul menyatakan bahwa hal-hal spiritual bisa muncul dari proses-proses yang bersifat material. Teori itu menunjuk contoh proses kimiawi dalam pikiran.
Tidak seperti SSQ, konferensi di Yogyakarta memang tak mengetalasekan berbagai teori baru yang mengejutkan dan menginspirasikan. Namun, menurut Prof. Jurnalis Uddin, ahli anatomi UGM yang banyak menulis makalah bidang evolusi, ada hal penting yang bisa dicatat. Dalam konferensi ini, para pembicara tak lagi mempertentangkan antara teori evolusi Darwin dan penciptaan.
Selama ini Darwinisme selalu dipertentangkan dengan kalangan agamawan, yang berpendapat bahwa Tuhan yang menciptakan semua makhluk. Karena itu, Darwinisme dianggap atheis. "Padahal keduanya tidak bertentangan. Bahwa terjadi evolusi dalam ruang dan waktu yang panjang, itu kan wajar," kata ilmuwan yang mempunyai pandangan evolusi theistik ini.
Lagi pula, menurut William Grassie, teori evolusi memang tidak secara langsung menguji tentang keberadaan Tuhan. Darwin sendiri seorang yang berpendidikan teologi, dan baru belakangan tidak percaya Tuhan setelah kematian anaknya. "Jadi, itu masalah pribadi," kata Grassie kepada TEMPO.
Satu lagi yang terkuak dari perhelatan selama empat hari itu: luasnya ladang kajian agama dan sains. Peminatnya pun amat beragam, seperti tergambar dari latar belakang para peserta konferensi yang bermacam-macam. Bukan cuma para dosen dan cendekiawan, tapi juga wartawan, mahasiswa, bahkan polisi.
Kelik M. Nugroho (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo