Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Prof Denny Indrayana menilai penggunaan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024 tak lebih dari strategi partai-partai politik pengusungnya untuk memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dia pun menilai Mahkamah Konstitusi (MK) tak bisa melakukan uji materi Undang-Undang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Denny, partai-partai yang mengusung atau mendukung sistem proporsional tertutup bukan bertujuan untuk membangun sistem pemilu, melainkan lebih kepada hitung-hitungan matematis potensi mendapatkan kursi lebih banyak melalui mekanisme tersebut. Hal itu, menurut dia, merupakan strategi dari partai tersebut untuk memenangkan Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Sistem proporsional tertutup bagi saya adalah pilihan strategi pemenangan di Pemilu 2024," kata Denny dalam sebuah webinar yang dipantau di Jakarta, Selasa, 17 Januari 2023.
"Ini bukan membangun sistem, tetapi hanya jangka pendek karena dirasa lebih menguntungkan maka itulah yang didorong," ujarnya.
MK dinilai tak bisa melakukan uji materi UU Pemilu
Oleh karena itu, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu berpandangan Mahkamah Konstitusi tak tepat jika mengabulkan uji materi UU Pemilu soal sistem proporsional terbuka. Apalagi, sistem proporsional tertutup tidak bisa menguatkan relasi antara pemilih dengan anggota parlemen pilihannya.
Dalam paparannya, Denny berpandangan sebetulnya MK juga tidak boleh masuk ke ranah menentukan sistem pemilu yang tidak ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebab, hal itu menjadi kewenangan pembuat undang-undang atau open legal policy yang merupakan ranah eksekutif dan legislatif.
Artinya, Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang diberi keleluasaan untuk menentukan atau memilih sistem pemilu yang akan diterapkan.
"Jadi tidak bisa MK mengambil peran legislasi itu dari Presiden dan DPR," kata dia.
Selanjutnya, gugatan UU Pemilu dilakukan kader PDIP dan 5 warga lainnya
Gugatan uji materiil UU Pemilu soal sistem proporsional terbuka ini kembali diajukan ke MK pada akhir November lalu. Salah satu pemohon perkara adalah pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, Demas Brian Wicaksono. Selain itu, pemohon juga terdiri atas lima warga sipil, yakni Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Pemohon menilai sistem proporsional terbuka membuat pemilu diwarnai oleh calon legislatif pragmatis.
"Pemohon selaku pengurus parpol, berlakunya norma pasal a quo berupa sistem proporsional berbasis suara terbanyak ini telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya modal 'populer dan menjual diri' tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur parpol," kata pemohon dalam salinan permohonan yang dilansir laman MK.
Mereka juga menilai sistem proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik antar caleg. Mereka menilai, dalam pemilu seharusnya persaingan terjadi antar partai politik, bukan antar caleg.
"Padahal seharusnya kompetisi terjadi antar parpol di arena pemilu sebab peserta pemilu adalah parpol, bukan individu sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945," kata mereka.
Mereka pun meminta agar Pemilu 2024 digelar dengan sistem proporsional tertutup.
Belakangan, Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan akan ikut masuk sebagai pemohon. Dia menyatakan pihaknya mendukung penggunaan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Partai Buruh pun mendukung ide tersebut namun dengan syarat daftar caleg yang ditetapkan partai politik tetap diumumkan secara terbuka kepada masyarakat.
Selanjutnya, 8 dari 9 fraksi di DPR Tolak Sistem Proporsional Tertutup
Sebanyak 8 dari 9 partai politik parlemen menolak gagasan Pemilu 2024 digelar dengan sistem proporsional tertutup. Satu-satunya partai yang mendukung sistem proporsional tertutup adalah PDIP.
Delapan partai tersebut adalah Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, PAN, PKS dan Demokrat. Mereka menilai penggunaan sistem proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi. Pasalnya, dalam sistem tersebut, masyarakat tak lagi dilibatkan untuk memilih secara langsung siapa-siapa saja wakil mereka yang akan duduk di gedung parlemen.
Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, menyebut sistem proporsional terbuka merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat.
“Di mana rakyat dalam menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik. Kami tidak ingin demokrasi mundur,” kata Airlangga saat pertemuan 8 partai polisik di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Ahad, 8 Januari 2023.
Airlangga Hartarto juga menyatakan 8 parpol bersepakat bahwa sistem proporsional terbuka sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2008 serta telah teruji pada tiga pemilu sebelumnya. Karena itu, Golkar dan tujuh partai yang memiliki wakil di DPR menolak penggunaan sistem proporsional tertutup.