Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Program deradikalisasi terhadap mantan anggota atau kelompok teroris harus dilakukan secara kontinu.
Mereka yang mencabut baiat masih berpotensi kembali ke kelompok Negara Islam Indonesia jika tidak ada pendampingan kontranarasi paham terorisme.
Pencabutan baiat secara berkelompok lebih memberikan rasa aman bagi mantan anggota kelompok NII.
JAKARTA — Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri menilai langkah pemerintah membantu ratusan anggota kelompok Negara Islam Indonesia (NII) di Sumatera Barat mencabut baiat mereka belum cukup. Sebab, mereka masih berpotensi masuk kembali ke organisasi terorisme dan terlarang tersebut. "Perlu langkah yang kontinu untuk mendampingi mereka agar tidak kembali ke kelompoknya," ujar Ketua Yayasan Putra Persaudaraan, Machmudi Hariono, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Machmudi merupakan narapidana kasus terorisme yang telah menjalani program deradikalisasi. Pria yang akrap disapa Yusuf itu merupakan pendiri Yayasan Putra Persaudaraan yang beranggotakan eks narapidana kasus terorisme. Yayasan yang didirikan Yusuf membantu pemerintah memberikan program deradikalisasi dan pendampingan kepada narapidana teroris hingga kembali ke tempat tinggalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Yusuf, pencabutan baiat dan berikrar merupakan pintu pertama mereka kembali kepada ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pintu lainnya yang mesti diupayakan pemerintah dalam program deradikalisasi adalah memberikan remisi bagi pelaku yang menjalani proses hukum. Adapun bagi mereka yang tidak divonis dan menjalani hukuman mestinya tetap mendapatkan pendampingan agar terus terpisah dari kelompoknya. "Pendampingan ini bisa dibantu polisi lokal atau anggota TNI pembina masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat yang berfokus memberikan program deradikalisasi," ucapnya.
Yayasan Putra Persaudaraan mengapresiasi langkah pemerintah yang telah memfasilitasi ratusan anggota kelompok NII di Sumatera Barat mencabut baiat. Menurut dia, langkah memfasilitasi ratusan anggota kelompok itu mencabut baiat secara beramai-ramai bisa memperkecil ancaman mereka dari kelompok organisasi terlarang yang telah ditinggalkan.
"Biasanya kelompok ini mengancam pribadi mantan anggota. Namun kini mereka yang telah mencabut baiat secara beramai-ramai juga menjadi kelompok yang kuat," ujarnya. "Jadi memang efektif mencabut baiat berkelompok seperti kemarin. Tapi tindakan selanjutnya harus dijaga jangan dibiarkan. Kalau dibiarkan, ambyar lagi."
Pemerintah bersama kepolisian dan lembaga adat di Sumatera Barat telah memfasilitasi ratusan anggota NII di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, mencabut baiat pada Rabu, 27 April lalu. Gelombang pertama sebanyak 391 anggota mencabut baiat untuk kembali ke NKRI. Dua hari kemudian, 518 anggota NII dari sejumlah kabupaten, seperti Tanah Datar, Solok, Solok Selatan, Agam, Kota Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Kabupaten Sijunjung, mencabut baiat. Detasemen Khusus Antiteror atau Densus 88 mencatat ada 1.125 anggota NII di Dharmasraya dan Tanah Datar, Sumatera Barat. Tim Densus 88 juga telah menangkap 16 anggota NII yang menjadi anggota pengurus organisasi itu di Dharmasraya dan Tanah Datar.
Yusuf menyarankan agar pemerintah juga bisa membantu memfasilitasi mencabut baiat anggota Negara Islam di wilayah lainnya, seperti Lampung, Sulawesi, ataupun di Jawa Barat, yang menjadi basis kekuatan mereka. "Cabut baiat berkelompok ini efektif untuk memblokade. Tapi harus terus ada perlindungan terhadap mereka. Sebab, kalau lemah, mereka bisa balik lagi," ucapnya.
Pemerintah, kata dia, bisa melibatkan eks narapidana kasus terorisme yang telah menjalani deradikalisasi untuk melakukan kontranarasi paham ekstremis. Menurut Yusuf, eks narapidana teroris lebih memahami cara untuk memberikan kontranarasi terhadap paham radikal.
Dia juga berharap pemerintah memberikan kemudahan bagi lembaga swadaya masyarakat yang mau membantu mendampingi narapidana kasus terorisme. Selama ini, kata dia, proses pendampingan untuk program deradikalisasi baru bisa dilakukan setelah terdakwa kasus terorisme divonis.
Padahal, menurut dia, semestinya pendampingan untuk program deradikalisasi atau kontranarasi pemahaman bisa dimulai sejak mereka diperiksa. "Tapi sekarang birokrasinya rumit untuk proses pendampingan. Bahkan perlu MoU," ujarnya.
Di sisi lain, kata Yusuf, pemerintah atau Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) juga perlu melihat momentum. Salah satunya memberikan program deradikalisasi saat Idul Fitri. Sebab, saat itu, narapidana teroris bisa bertemu dengan keluarganya. Saat Lebaran, misalnya, BNPT bisa masuk lewat konsep zakat untuk membantu narapidana terorisme maupun keluarganya yang membutuhkan. BNPT mesti memanfaatkan peluang tersebut agar mereka bisa menerima konsep negara. Sebab, tidak ada anjuran agama yang dilarang dalam negara ini. "Tapi sayangnya momen seperti ini belum dimanfaatkan," ucapnya.
Penghulu adat atau ninik mamak di Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, mengimbau masyarakat berhati-hati terhadap ajakan kegiatan pengajian agar terhindar dari ketidaktahuan yang berujung pada penyimpangan. "Masyarakat harus menilai lebih dulu, begitu juga perhatikan setiap tamu yang datang ke rumah," kata salah seorang Ninik Mamak Ilasmen, Dt. Rang Kayo Mudo.
Ia mengimbau cucu dan kemenakan yang merasa pernah mengikuti atau menghadiri pengajian Negara Islam segera melapor ke pemerintah nagari atau ke polisi. "Karena begini, sepertinya, apabila kita sudah ikut pengajian atau hanya pernah hadir secara tidak langsung, bapak-ibu sudah dianggap terdaftar sebagai anggota," katanya.
Kadensus 88 Anti Teror (AT) Polri, Irjen Pol Marthinus Hukom pada acara cabut bai’at anggota NII untuk kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Dharmasraya, Sumatra Barat, 29 April 2022. tribratanews.sumbar.polri.go.id
Kepala Densus 88 Inspektur Jenderal Marthinus Hukom mengapresiasi pemerintah daerah yang telah membantu BNPT dan tim Densus memfasilitasi kegiatan mencabut baiat anggota Negara Islam saat Ramadan. Sebab, keberadaan Densus bukan sekadar penegak hukum, tapi juga menjadi bagian dari anak bangsa yang merangkul saudara-saudara korban paham radikalisme dan terorisme karena ketidaktahuan. “Pemerintah melakukan pendekatan kepada saudara kita yang melakukan penyimpangan, memahami suatu yang salah. Kami ingin duduk bersama merangkul mereka," ujarnya.
IMAM HAMDI | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo