Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pemerintah daerah dengan wilayah kepulauan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan. Tak adanya regulasi khusus dinilai sebagai penyebab rendahnya jaminan kesejahteraan terhadap masyarakat di daerah kepulauan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara Ali Mazi mengatakan, pengesahan RUU Daerah Kepulauan diharapkan bisa menjawab belum meratanya pembangunan di daerah kepulauan. Hingga saat ini, kata dia, masyarakat di pulau-pulau kecil serta wilayah pesisir masih diliputi masalah ketimpangan ekonomi dan sosial. “Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan besarnya potensi sumber daya ekonomi di daerah kepulauan,” kata Ali dalam diskusi Forum Daerah Kepulauan di Jakarta, kemarin, 31 Januari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali mencontohkan masyarakat di Pulau Batu Atas, Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara. “Masyarakat di sana makan-minum air hujan, listrik tidak ada. Masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan. Kalau tidak ada regulasi, tentu sulit bicara kemajuan,” kata Ali, yang juga Ketua Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan.
Hal senada diungkapkan Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad. Politikus Partai Golkar ini mengaku kesulitan membangun beberapa daerah di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Dia mencontohkan, hingga saat ini, pembangunan di Natuna, Lingga, dan Anambas amat timpang jika dibandingkan dengan di Batam dan Bintan. “Untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur di sana, perlu didukung kekuatan fiskal yang lebih kuat,” kata Ansar.
Ansar menjelaskan, provinsi kepulauan memiliki persoalan yang sama. Tak hanya tertinggal dari sisi pembangunan ekonomi, masyarakat di daerah kepulauan juga tertinggal pendidikannya. Walhasil, daerah-daerah kepulauan kerap menjadi penyumbang tingginya angka kemiskinan dan rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM).
Menurut dia, kebijakan yang berorientasi pada anggaran saja tak akan cukup untuk mempercepat penyediaan infrastruktur dasar di setiap pulau. “Itu sebabnya, perlu regulasi khusus yang mengaturnya,” kata Ansar.
Warga beraktivitas di perkampungan kumuh kampung tua Tanjung Uma, Batam, Kepulauan Riau, 25 Januari 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Terkatung-katung Sebagai Program Legislasi
RUU Daerah Kepulauan sebenarnya telah digagas hampir dua dekade lalu. DPR periode 2014-2019 sempat membentuk panitia kerja untuk menyiapkan RUU ini. Presiden Joko Widodo juga memerintahkan tujuh kementerian dan lembaga membahasnya.
Belakangan, RUU Daerah Kelautan diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 2019. RUU ini pun telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Namun nasib RUU tersebut hingga kini tanpa kejelasan.
Sejauh ini, RUU Daerah Kelautan memang didorong oleh Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan. Forum ini diinisiasi oleh delapan pemerintah provinsi, yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad mengaku sempat menggelar sejumlah pertemuan dengan beberapa kementerian. Lambatnya pembahasan RUU Daerah Kepulauan, kata dia, disebabkan oleh belum adanya kesepahaman di antara kementerian dan lembaga. Muatan RUU Daerah Kepulauan juga dianggap akan menjadi beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Padahal undang-undang ini bukan bermaksud membebani keuangan negara, melainkan untuk menjamin negara hadir di tengah masyarakat. Apalagi di wilayah perbatasan," kata dia.
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Atgas mengatakan, Dewan telah membentuk panitia khusus untuk mengkaji RUU Daerah Kepulauan. “Sudah ada pansusnya,” kata dia, kemarin. Namun Supratman tak merespons pertanyaan soal lambatnya pembahasan RUU tersebut meski telah masuk Prolegnas Prioritas 2023.
Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Muhammad Yusuf, pun mengakui pembahasan RUU Daerah Kepulauan sudah memakan waktu cukup lama. Menurut dia, untuk melanjutkan pembahasan RUU ini, diperlukan kesepahaman antara pemerintah dan DPR. “Posisinya masih perlu dibahas kembali dengan pemerintah,” kata Yusuf, kemarin. Namun Yusuf juga tak menjelaskan detail ihwal kesepahaman yang dimaksudkan tersebut.
Suasana Pantai Santai di Kota Ambon, Provinsi Maluku, 29 Oktober 2022. ANTARA/F.B. Anggoro
Dianggap Penting untuk Pemerataan Ekonomi
Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir (Aspeksindo), Rokhmin Dahuri, mengatakan, selama ini kebijakan fiskal, seperti anggaran dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), lebih didominasi kalkulasi atas jumlah penduduk dan luas daerah. Akibatnya, kata dia, alokasi anggaran untuk daerah yang terbesar digelontorkan di Pulau Jawa. “Jika hal ini dibiarkan, daerah kepulauan akan terus melarat,” kata Rokhmin.
Meski begitu, menurut Rokhmin, RUU Daerah Kepulauan sebenarnya tak hanya mengatur urusan fiskal. Substansi RUU tersebut, kata dia, lebih pada upaya pemerataan.
Pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Nurkholis, juga berharap keberadaan RUU Daerah Kepulauan bakal mengatasi ketimpangan perekonomian antara daerah kepulauan dan non-kepulauan. Selama ini, kata dia, pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita di daerah kepulauan relatif lebih lambat dibanding daerah non-kepulauan. Sebab, di daerah kepulauan, laju pertumbuhan penduduk lebih cepat ketimbang pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, tingkat kemiskinan di provinsi-provinsi kepulauan juga lebih tinggi. “Kebijakan pembangunan selama ini masih banyak bias daratan,” ujarnya.
Nurkholis memaparkan, data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kemiskinan di provinsi kepulauan pada periode 2010-2022 lebih tinggi 0,66 persen dibanding di provinsi non-kepulauan. Dia memperkirakan ketimpangan itu bakal meningkat dalam rentang sepuluh tahun mendatang jika tak dilakukan perbaikan. Karena itu, kemiskinan dan kesenjangan terjadi.
Menurut dia, RUU Daerah Kepulauan sebenarnya tidak hanya diperuntukkan bagi delapan provinsi anggota Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan. “Ada 86 kabupaten/kota yang kami usulkan. Juga tujuh provinsi lain yang memiliki kabupaten dan kota di kepulauan,” kata Nurkholis.
Dalam draf RUU Daerah Kepulauan, pengaturan daerah kepulauan dibagi dalam daerah provinsi kepulauan dan daerah kabupaten/kota kepulauan. Ciri provinsi kepulauan adalah memiliki paling sedikit seperlima jumlah daerah yang tersebar di gugusan pulau yang berbeda. Sementara itu, ciri kabupaten/kota kepulauan adalah memiliki paling sedikit dua kecamatan yang tersebar di gugusan pulau yang bebeda. Untuk masuk kategori daerah kepulauan, secara geografis, wilayah lautan daerah-daerah tersebut harus lebih luas dibanding wilayah daratan.
ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo