Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERKELAHIAN pelajar bukan hal baru lagi di Jakarta. Pekan lalu bahkan ada yang terenggut nyawanya, setelah menderita luka bacok, akibat tawuran di Jalan Swadharma Raya, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Lima luka akibat tikaman pada leher, dahi, kepala, paha, dan kaki telah menyebabkan Puji Raharjo tak tertolong lagi, kendati sempat dirawat di rumah sakit. Luka tikam itu menunjukkan, dalam perkelahian sesama mereka, para pelajar tidak hanya berbekal rantai dan batu, tapi juga celurit dan golok. Ironis sekali. Sebab, saat kakak-kakak mereka, mahasiswa, turun ke jalan untuk menegakkan tatanan demokrasi di negeri ini, para siswa malah ''berperang" di jalan-jalan dengan cara yang brutal.
Sampai kini, tidak sedikit metode pendidikan yang dicoba dikembangkan untuk meredam tabiat galak yang hinggap di kalangan mereka. Belakangan, diperkenalkan lagi satu cara mendidik siswa yang nakal, bandel, dan biang keributan itu melalui pendekatan dengan alam atau belajar dari alam.
Metode untuk meningkatkan tanggung jawab dan mempertebal rasa kebersamaan itulah yang diterapkan Outward Bound Indonesia, sebuah lembaga pelatihan kepemimpinan yang diterapkan di alam bebas. Sebanyak 23 pelajar dari Jakarta, yang terkategori berperangai sulit, dididik di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat.
Di alam terbuka, disiplin dan kepekaan para pelajar dari Sekolah Teknik Menengah (STM) Negeri I Budi Utomo, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 8, dan SMK 53 itu ditempa?dari yang semula berani berkelahi menjadi berani bertanggung jawab. Sebab, ''Di alam bebas, setiap langkah mengandung risiko," tutur Djoko Kusumowidagdo, chairman Outward Bound Indonesia.
Hari pertama pendidikan diisi dengan perkenalan dan permainan ringan. Hari-hari berikutnya, para pelajar diajak mendaki tebing dan menyeberangi danau dengan rakit. Dari berbagai latihan itu, terlihat bahwa anak yang sehari-hari tergolong paling nakal justru di Jatiluhur tampak kecut, antara lain karena takut tenggelam. Padahal, ''Panitia telah menyiapkan alat penyelamat," ujar Djoko.
Tantangan memuncak pada hari terakhir, medio November lalu. Peserta diajak mendaki gunung. Jalan yang menuju ke atas ternyata sangat terjal?selain melelahkan, juga berbahaya. Dalam hal ini, kerja sama tim sangat menentukan. Bagi yang tak mampu, tak perlu malu menggantungkan nasibnya kepada teman. Mereka dituntut untuk bersama-sama mengatasi kesulitan.
Seusai itu semua, acara ditutup dengan perenungan. Mereka diberi kesempatan berbagi pengalaman, termasuk rahasia dan unek-unek. Ternyata salah seorang dari mereka adalah pelaku kerusuhan 13 Mei 1998 di Jakarta. Bahkan, ada yang mengaku pernah membabat leher lawannya dalam tawuran?tapi korbannya tak sampai meninggal.
Setelah para siswa tersebut belajar dari alam dan kembali mengikuti kegiatan rutin di Jakarta, memang belum bisa dipastikan apakah metode pendidikan outward bound itu efektif atau tidak. Yang menggembirakan, para kepala sekolah yang mengirimkan pelajar untuk mengikuti outward bound mengakui bahwa cara pendidikan di alam bebas bisa berdampak positif. ''Anak-anak jadi rajin bersekolah," kata Muhamad Husein, Kepala Sekolah STM 1 Budi Utomo.
Pengakuan senada diutarakan Sudibyono, Kepala Sekolah SMK 53. Katanya, anak didiknya mulai terlihat aktif dalam kegiatan sosial, termasuk mengajak teman-temannya menggiatkan diri ke alam bebas. Jadi, ''Alangkah baiknya bila program itu diteruskan," ucapnya.
Penyelenggara Outward Bound Indonesia juga berharap program pendidikan ini bisa berlanjut pada tahun depan. Persoalannya, menurut lembaga yang sejak 1993 bekerja sama dengan lembaga serupa di Singapura itu, adalah dana. Sebab, program pelatihan selama sembilan hari di Jatiluhur itu ternyata menghabiskan biaya Rp 800 ribu untuk seorang siswa.
Yang jelas, metode pendidikan dengan cara konvensional pernah pula diterapkan, pada 1993, oleh Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Jakarta, Mayjen A.M. Hendropriyono. Sebanyak enam siswa digembleng fisik dan mentalnya, serta dilatih menaati disiplin militer. Latihan berat itu mereka peroleh di Markas Komando Distrik Militer Jakarta. Pada 1996, Pangdam Jakarta Mayjen Sutiyoso juga mendidik 15 pelajar selama dua pekan di Resimen Induk Daerah Militer Jakarta.
Namun, setelah siswa kembali bersekolah, tawuran pelajar meruyak lagi. Program outward bound tampaknya lebih efektif meredam nafsu berkelahi pelajar, tapi biayanya mahal. Bagaimana kalau diganti dengan kegiatan yang lebih murah tapi penuh tantangan seperti arung jeram, panjat tebing, voli pantai, atau berburu rusa?
Ma'ruf Samudra dan Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo