Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Ahmad Doli Kurnia, berjanji akan memperbaiki proses pembentukan undang-undang yang selama ini dilakukan secara kilat dan tidak taat prosedur. Hal tersebut disampaikan Doli merespons sejumlah kritikan dari anggota Baleg dalam rapat pleno evaluasi Prolegnas 2019-2024, Senin, 28 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya kira kita semua harus membangun komitmen, termasuk dalam hal pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) di Baleg ini harus sesuai aturan, baik secara prosedur maupun materil,” kata Doli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Doli mengatakan sejatinya proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus diawali dengan penyusunan naskah akademik. Tak cukup sampai di situ, dia mengatakan setiap RUU yang ada harus melewati uji publik.
Politikus Partai Golkar ini pun mengakui sebelum ini terdapat sejumlah UU yang disahkan tanpa berpijak kepada prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada. Dia mengatakan akan mengevaluasi proses legislasi agar UU yang dihasilkan berkualitas dan memuat kepentingan publik.
“Ke depannya bagaimana undang-undang yang dihasilkan berkualitas dan dapat menjawab persoalan bangsa dan negara,” katanya.
Sebelumnya, Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muzammil Yusuf, meminta proses pembentukan Undang-undang ke depannya tidak lagi dilakukan secara ugal-ugalan. Dia juga menekankan pentingnya pelibatan partisipasi publik.
Hal itu disampaikan Muzammil merespon praktik ugal-ugalan pembentukan UU sepanjang periode 2019-2024. "Saya harus jujur katakan dalam periode Baleg kemarin ada undang-undang yang dikerjakan dalam dalam seminggu, dalam tiga hari, bahkan ada upaya untuk satu hari selesai,” kata Muzammil dalam rapat pleno evaluasi Program Legislasi Nasional Tahun 2019-2024, Senin, 28 Oktober 2024.
Muzammil menyayangkan proses pembentukan undang-undang secara kilat tersebut telah mencoreng citra DPR. Dia mencontohkan proses pembahasan tingkat pertama RUU Pilkada yang dilakukan kurang dari 12 jam.
Proses pembahasan RUU Pilkada itu mendapat kritikan dari publik dan direspon dengan demonstrasi oleh masyarakat di sejumlah kota di Indonesia. RUU Pilkada salah satunya mengatur soal batas maksimal syarat kepala daerah. RUU itu menghendaki batas usia pencalonan dihitung pada hari saat pelantikan.
Ketentuan itu dinilai sebagai upaya untuk menganulir Putusan MK Nomor 70/PUU/XXII/2024 yang mempertegas syarat batas usia pencalonan kepala daerah dihitung saat hari pendaftaran.
"Ketika itu publik tidak didengar, pakar tidak didengar, undang-undang selesai dalam seminggu, baru terjadi periode kemarin pimpinan, belum terjadi periode 5 tahun yang lalu,” katanya.
Dia mengatakan pelibatan publik dalam proses pembentukan undang-undang berguna bagi setiap fraksi dalam mengambil keputusan. Namun demikian, kata dia, hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh DPR selama ini.
"Kapan publik berpartisipasi? Tidak mungkin. Itu kritik besarnya. Ketika publik berpartisipasi perbedaan pendapat berbagai pakar, publik, kita fraksi bisa milih-milih mana yang mau jadi pandangan kita,” katanya.
Adapun Legislator dari Fraksi NasDem, Muslim Ayub, meminta DPR lebih memprioritaskan RUU yang telah ditetapkan dalam Prolegnas. Sebab, Ayub melihat DPR periode 2019-2024 lebih banyak mengesahkan RUU kumulatif terbuka dibandingkan RUU yang ada dalam Prolegnas.
“Jumlah RUU kumulatif terbuka yang disahkan sangat timpang dengan RUU yang ada dalam Prolegnas. Saya melihat dengan kumulatif terbuka ini banyak kepentingan elit di situ, tapi RUU prolegnas yang memuat kepentingan masyarakat kita abaikan,” kata Ayub dalam rapat pleno Baleg, Senin, 28 Oktober 2024. RUU kumulatif terbuka adalah RUU yang tidak ada dalam prolegnas dan dapat diusulkan DPR maupun presiden dalam keadaan tertentu.
Sepanjang periode 2019-2024, DPR hanya mengesahkan 37 dari 230 RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas. Jumlah itu terpaut jauh dengan RUU kumulatif terbuka yang disahkan, yakni sebanyak 177 RUU.
Untuk itu, Ayub meminta agar DPR periode 2024-2029 bisa konsisten dengan RUU prolegnas yang telah disepakati. Di lain sisi, dia menilai sejumlah RUU kumulatif terbuka yang disahkan hanya berdasarkan kepentingan pragmatis.
“Pembahasannya juga kilat, sementara RUU untuk kepentingan rakyat sendiri sudah bertahun-tahun mengendap. Ada yang RUU tidak kunjung disahkan puluhan tahun dan diabaikan sama sekali,” ujar Ayub.