Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Badan Legislasi DPR mengakui revisi untuk mengakomodasi omnibus law.
Sebagian besar legislator sudah menyetujui melalui paripurna Rancangan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai inisiatif DPR.
Dianggap mengacak-acak logika hukum.
JAKARTA — Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat mengatakan bahwa usul revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah untuk mengakomodasi metode omnibus law dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengatakan, hal yang paling pokok untuk merevisi aturan tersebut hanya ada dua. “Pertama, metode omnibus. Kedua, metodologi peraturan perundang-undangan," ujar Willy, kemarin, 9 Februari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Revisi terhadap UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk mengakomodasi UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu langkah memperbaiki UU Cipta Kerja adalah merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. "Itu memang suatu keniscayaan,” ujar politikus NasDem tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian besar legislator Senayan, kata dia, sudah menyetujui melalui paripurna Rancangan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai inisiatif DPR. Saat ini, Dewan menunggu pemerintah menyerahkan surat presiden dan daftar inventaris masalah untuk segera membahasnya.
Willy Aditya menjelaskan, revisi terhadap UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan konsekuensi logis guna memperbaiki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja agar tidak cacat secara formal. Dengan begitu, legislator mengutamakan memasukkan istilah omnibus dalam revisi undang-undang tersebut. "Selama ini tidak ada istilah omnibus sebagai cantolan hukumnya. Jadi, revisi inilah yang ditempuh untuk memenuhi syarat formalnya," ujar dia.
Dalam mengusulkan revisi ini, kata Willy, DPR telah melibatkan publik dengan berkonsultasi ke sepuluh universitas. Bahkan konsultasi publik dengan para akademikus tersebut berlangsung terbuka dan bisa dilihat melalui siaran daring dengan platform digital.
Perihal kritik sejumlah masyarakat sipil soal minimnya DPR dan pemerintah melibatkan ahli hukum tata negara, Willy menjelaskan, Badan Keahlian DPR telah menyerahkan sepenuhnya narasumber ke kampus. Dia menilai kalangan kampus seharusnya lebih teliti karena mereka bukan pihak yang menyediakan. “Kami hanya bekerja sama dengan 10 kampus. Jadi, kami serahkan kepada mereka siapa yang diundang," ucap Willy.
Dewan, kata Willy, akan membuka lebih luas lagi partisipasi publik dalam pembahasan RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang bakal dibahas bersama pemerintah. "Partisipasi publik akan kami undang dalam rapat dengar pendapat umum saat pembahasan," ujarnya.
Rapat paripurna mengesahkan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 5 Oktober 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sejumlah ahli hukum tata negara mengkritik konsultasi publik yang dilakukan DPR di sejumlah kampus. Sebab, konsultasi publik tersebut justru minim pelibatan ahli hukum tata negara yang memahami proses penyusunan undang-undang. Kalangan yang dilibatkan justru ahli hukum pidana dan bisnis.
Herlambang P. Wiratman, dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), mengatakan bahwa tidak ada ahli hukum tata negara dari UGM yang mau ikut karena khawatir akan dijadikan legitimasi DPR dalam memuluskan revisi undang-undang itu.
Dosen hukum tata negara Universitas Bung Hatta, Helmi Chandra, menilai bahwa cara yang ditempuh para legislator dengan merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya mencari jalan pintas untuk melegalkan kembali undang-undang yang dikenal dengan nama undang-undang sapu jagat itu. Hanya, kata dia, masalahnya ada pada putusan Mahkamah Konstitusi yang harus ditaati dulu oleh pembentuk undang-undang, yaitu memperbaiki UU Cipta Kerja. "Jika revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sekarang, DPR dan pemerintah hanya mengambil jalan pintas," ucap Helmi.
Helmi menegaskan bahwa tidak masalah memasukkan metode omnibus, tapi harus sesuai dengan logika. Pertama, harus selesaikan dulu putusan Mahkamah Konstitusi, yang artinya membahas ulang UU Cipta Kerja. “Baru revisi memasukkan metode omnibus bisa dilakukan.”
Menurut Helmi, jika pemerintah taat pada putusan Mahkamah Konstitusi, UU Cipta Kerja seharusnya disisir ulang dan disesuaikan dengan pembentukan undang-undang tanpa omnibus. Jika pasal per pasal dalam undang-undang sapu jagat itu telah disisir ulang, barulah pemerintah bisa merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan kajian yang baik tanpa tersandera putusan Mahkamah Konstitusi. "Kalau tidak, boleh dong kita bilang ada pembangkangan konstitusi putusan MK."
Helmi melihat jaminan partisipasi masyarakat tetap akan sulit berjalan dalam proses pembahasan revisi undang-undang untuk memuluskan jalan UU Cipta Kerja. Sebab, nantinya banyak hal yang akan ditumpuk di satu undang-undang berpotensi mengabaikan hak masyarakat. “Satu undang-undang tentang satu urusan saja. Partisipasi masyarakat masih kurang terpenuhi. Apalagi banyak masalah dalam satu undang-undang itu," ujarnya. "Amanat putusan MK soal partisipasi bermakna hanya akan jadi formalitas belaka."
Ahli hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran, Indra Perwira, menilai, setelah revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan selesai dilakukan, potensi permohonan judicial review terhadap UU Cipta Kerja akan kembali diajukan masyarakat sipil. Menurut dia, revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan saat ini mengacak-acak logika hukum karena undang-undang sapu jagat berlaku surut.
Menurut Indra, masyarakat sipil akan tetap mengajukan uji materi jika pemerintah menganggap bahwa putusan MK bisa selesai dengan mengajukan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena metode omnibus sudah dimasukkan. "Masyarakat sipil pasti tetap mengajukan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja ke MK. Karena secara formalnya (omnibus) sudah ada meski berlaku surut," ucapnya.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo