Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Ada indikasi pelanggaran pidana baru dari sidang praperadilan Firli.
Maki akan melaporkan Firli ke Dewan Pengawas KPK.
KPK didesak untuk melakukan pemeriksaan internal atas keluarnya dokumen perkara DJKA.
JAKARTA – Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman akan melaporkan Firli Bahuri ke Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi karena menggunakan dokumen perkara KPK untuk kepentingan praperadilan dirinya. Boyamin akan melaporkan Ketua KPK nonaktif itu ke Dewas KPK pada Jumat pekan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menilai Firli telah menggunakan dokumen perkara penyidikan korupsi di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan sebagai barang bukti di persidangan praperadilan. Padahal dokumen KPK tersebut bersifat rahasia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dokumen itu adalah daftar hadir gelar perkara setelah operasi tangkap tangan," kata Boyamin, Senin, 18 Desember 2023.
Menurut dia, dokumen tersebut bersifat rahasia karena mencantumkan nama-nama penyidik yang hadir dalam gelar perkara beserta tanda tangannya. "Kalau (nama penyidik) bocor, ya, membahayakan. Ini penyelidikan dan penyidikan harus dijaga. Bukan hanya pelapor, tapi juga penyidiknya," ujarnya.
Boyamin melanjutkan, pengembangan perkara korupsi DJKA itu bakal terpengaruh oleh bocornya nama-nama penyidik ke publik. Apalagi KPK tengah mengembangkan kasus rasuah tersebut ke nama-nama lain. Di samping itu, kata dia, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik mengecualikan dokumen penyelidikan dan penyidikan untuk dibuka ke publik tanpa izin pengadilan.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Mei 2022. TEMPO/Imam Sukamto
Di samping melanggar etik, Boyamin menganggap langkah pihak Firli membuka dokumen KPK di persidangan praperadilan berpotensi melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Pasal ini mengatur sanksi pidana bagi pihak yang merintangi penyidikan perkara korupsi. "Membuka dokumen itu bisa mengganggu penyidikan," ujarnya.
Boyamin menjelaskan, Firli tidak berhak memegang dokumen penyidikan DJKA tersebut karena berstatus nonaktif sebagai pemimpin KPK. Dokumen perkara juga tak relevan dengan gugatan Firli di praperadilan.
Kuasa hukum Firli, Ian Iskandar, mempersilakan MAKI melaporkan kliennya ihwal penggunaan dokumen perkara KPK tersebut. Ian berpendapat hanya hakim yang bisa menentukan apakah barang bukti itu bersifat rahasia.
"Dokumen ini sebatas ditunjukkan di persidangan, bukan menjadi konsumsi umum," katanya, kemarin. Ia tidak mengungkapkan dari mana pihaknya memperoleh dokumen perkara tersebut.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sementara periode 2019-2024, Nawawi Pomolango, memberikan keterangan kelembagaan kepada awak media di gedung KPK, Jakarta, 27 November 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Ketua KPK sementara, Nawawi Pomolango, belum merespons permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Wakil Ketua KPK Nurul Gufhron dan Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal Asep Guntur Rahayu juga belum menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo.
Sebelumnya, Nawawi mengatakan pihaknya belum dapat memastikan dokumen perkara korupsi DJKA yang digunakan kuasa hukum Firli dalam praperadilan tersebut. Nawawi mengaku akan memeriksanya lebih dulu.
"Saya masih akan menanyakan ke Deputi Penindakan, apakah memang ada dokumen yang telah diberikan atau dikeluarkan sehubungan dengan sidang praperadilan yang dimaksudkan," katanya, Ahad lalu.
Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, mengatakan akan sangat berbahaya bila dokumen penyelidikan atau penyidikan yang belum waktunya diumumkan dipakai untuk kepentingan di luar penyelidikan. Saut berpendapat dokumen perkara pengembangan semestinya bersifat tertutup agar tidak terjadi potensi penghilangan barang bukti atau calon tersangka kabur.
"Itu bukan wewenangnya, lalu tidak relevan dengan kasus yang dia hadapi. Lantas, apa dong niatnya untuk membuka itu ke publik, kecuali kalau untuk bikin ribut?" ujarnya, kemarin.
Menurut Saut, Firli semestinya tidak menyimpan dokumen tersebut karena statusnya nonaktif. Bahkan pemimpin KPK aktif saja tidak boleh membawa dokumen rahasia ke rumah.
"Agak unik juga kalau dia bawa dokumen itu, kemudian memunculkannya ke publik," ucapnya.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan kemungkinan besar ada tindak pidana baru dalam praperadilan Firli ini. Tindak pidana baru itu adalah buntut penggunaan dokumen perkara penyidikan DJKA yang semestinya bersifat rahasia.
"Kalau dokumen itu memang dibawa Firli dari penyidikan perkara yang dilakukan KPK, misalnya, Firli yang mengakses, ia jelas punya potensi melakukan pelanggaran pidana," kata Zaenur.
Ia menilai pihak yang mengakses dokumen tersebut dapat dijerat Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Pasal 17 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. "Membuka dokumen penyidikan dengan cara melawan hukum itu merupakan perbuatan pidana," ujarnya.
Menurut Zaenur, indikasi pelanggaran pidana baru ini dapat ditindaklanjuti KPK, kepolisian, ataupun kejaksaan. Namun KPK hanya berwenang mengusut pelanggaran Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Adapun pelanggaran Pasal 17 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dapat diusut kepolisian.
Selain itu, perkara ini masuk kategori pelanggaran kode etik. Sebab, Firli Bahuri masih bagian dari KPK meski berstatus nonaktif. Namun ia masih menerima gaji dari jabatannya sebagai Ketua KPK.
"Membocorkan rahasia dan mengakses dokumen yang seharusnya tidak diakses lalu membawanya keluar merupakan pelanggaran kode etik, kecuali atas perintah pengadilan," ujar Zaenur.
Ia mendesak KPK menggelar pemeriksaan internal untuk mengetahui proses keluarnya dokumen perkara DJKA tersebut. "Ini harus dijadikan prioritas pemeriksaan di lingkup internal KPK," ucapnya.
EKA YUDHA SAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo