Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DINGINNYA udara di luar ruangan tak mampu membendung panasnya suasana rapat harian pengurus Partai Golkar di markas besarnya, Slipi, Jakarta Barat. "Kalau enggak panas, bukan Golkar. Apalagi menyangkut soal Akbar," kata sumber TEMPO yang ikut hadir dalam rapat yang dimulai pukul 20.00 dan berakhir pukul 02.00 WIB Selasa dua pekan lalu itu.
Awalnya rapat yang langsung dipimpin Akbar itu lancar-lancar saja. Tiba-tiba rapat itu sedikit menegang saat sampai pada agenda pembahasan nasib Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.45 WIB.
Seperti biasa, Fahmi Idris, Marwah Daud, dan Theo L. Sambuaga, petinggi Golkar yang berseberangan dengan Akbar, kembali melontarkan pendapatnya agar Akbar mundur dari jabatan ketua umum partai. Maklum, semuanya tak lepas dari putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, pertengahan bulan ini, yang semula diharapkan bisa meringankan status Akbar tapi malah menguatkan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum tiga tahun penjara. Namun, dalam rapat itu, semua petinggi Partai Golkar mendukung penuh upaya Akbar untuk mengajukan kasasi ke tingkat Mahkamah Agung.
Permintaan Fahmi dan kawan-kawan di hadapan 24 pengurus harian yang hadir saat itu memang bukan hal baru. Mereka sudah menggembar-gemborkan hal itu sejak Akbar diganjar hukuman tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, September lalu. Namun kali ini pertimbangannya lebih jelas. Pengadilan tinggi sudah menguatkan putusan pengadilan negeri. Pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, menurut salah satu Ketua Partai Golkar, Marwah Daud, akan memakan waktu yang relatif lama. Padahal Pemilu 2004 sudah jelas-jelas di depan mata. Jika Akbar tidak non-aktif atau mundur, dikhawatirkan partai ini tidak akan bisa mempersiapkan diri ikut bertanding di ajang Pemilu 2004.
Merasa diserang, seperti biasanya, dengan gaya kalem Akbar tetap ngotot ogah non-aktif, apalagi mundur. Alasannya, hingga saat ini, belum ada keputusan hukum tetap yang menyatakan dirinya bersalah. Selain itu, Akbar masih merasa mengantongi dukungan dari sebagian besar dewan pemimpin daerah (DPD).
Setelah berdebat kurang-lebih tiga jam itu, akhirnya rapat memutuskan status Akbar dan dampaknya bagi partai akan langsung ditanyakan kepada pengurus semua DPD dalam rapat pimpinan nasional (rapimnas) yang bakal digelar akhir Maret ini. Semula, rapimnas direncanakan pada Februari.
Ketua Partai Golkar Rambe Kamarulzaman membenarkan keputusan itu. Menurut Rambe, agar perdebatan soal perlu-tidaknya Akbar mundur itu tidak berlarut-larut dan hanya melibatkan elite-elite partai, lebih baik masalah tersebut langsung ditanyakan kepada pengurus DPD dalam forum rapimnas.
Petinggi Partai Golkar lainnya yang menolak disebut identitasnya menuturkan bahwa rapimnas Maret nanti juga bisa mencabut keputusan Rapimnas IV/2000 yang menunda pelaksanaan musyawarah nasional (munas) dari 2003 ke 2004. "Tarik-ulur melaksanakan munas pada 2003 atau 2004 kemungkinan bakal ramai," ujar sumber tadi kepada TEMPO. Maksudnya, bisa saja munas dilaksanakan pada tahun 2003 asalkan setengah plus satu DPD meminta keputusan rapimnas sebelumnya dicabut.
Meski rapat pimpinan nasional baru akan dilaksanakan dua bulan lagi, beberapa pengurus daerah sudah meniupkan genderang perang. Setidaknya ada DPD Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Mohammad Yamin Tawary, Ketua DPD Maluku Utara, pekan lalu terang-terangan meminta Akbar non-aktif atau mundur dari jabatan ketua umum partai. Ia beralasan, vonis Pengadilan Tinggi Jakarta ternyata menguatkan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Realitasnya, Pak Akbar sudah kalah di tingkat banding," ujarnya. Menurut Tawary, jika penonaktifan Akbar ini menunggu keputusan Mahkamah Agung, dikhawatirkan Golkar akan kocar-kacir menghadapi Pemilu 2004.
Sumber TEMPO di kalangan Partai Beringin menyebutkan, sebenarnya saat ini ada sekitar 12 DPD yang berpandangan serupa dengan DPD Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Ia tidak mau menyebut dari kawasan mana saja daerah yang meminta Akbar mengundurkan diri itu. "Kalau disebut, nanti kubu Akbar menggerilyanya," katanya serius.
Sumber itu mengatakan, saat ini kubu Akbar memang gencar bertitah membungkam daerah agar tidak ikut-ikutan meletupkan penonaktifan ketua umumnya. Namun gerilya dari kubu Akbar ini langsung dibantah oleh Rambe Kamarulzaman. "Enggak ada itu. Tidak satu surat pun dari DPD yang meminta Pak Akbar non-aktif atau mundur," ujarnya kepada TEMPO.
Boleh jadi Rambe benar. Sebab, dari kawasan timur Indonesia, yang disebut-sebut potensial mendongkel Akbar, baru Maluku Utara dan Sulawesi Tengah yang lantang bersuara. Sementara itu, beberapa DPD seperti Jawa Timur, Lampung, Jambi, dan Jawa Barat masih ingin mempertahankan Akbar hingga ada keputusan hukum tetap. Besarnya pengaruh Akbar ini, menurut Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Rully Chaerul Azwar, disebabkan oleh rajinnya Akbar turun langsung ke daerah. Tak aneh jika para kubu yang kontra-Akbar kesulitan menggeser posisinya.
Sulitnya menggoyang posisi Akbar juga dirasakan para anggota DPR yang dulu mengajukan hak inisiatif. Buktinya, usulan ke-68 orang anggota parlemen itu selalu kandas saat diperdebatkan di Badan Musyawarah DPR ataupun di tingkat pemimpin Dewan. Fraksi Partai Golkar, yang juga didukung Fraksi PPP dan Fraksi TNI/Polri, beralasan masalah penonaktifan Akbar tidak diatur dalam tata tertib DPR. Hal ini juga diakui salah seorang pengusul yang tak mau disebut namanya. "Memang, kalau argumentasinya berdasarkan tata tertib, kami kalah, karena memang tak ada celah yang mengaturnya," katanya kepada TEMPO.
Selesaikah urusan menggusur Akbar? Tidak. Kini sejumlah anggota DPR mempersiapkan penggalangan pembentukan Dewan Kehormatan DPR, yang hingga pekan lalu sudah ditandatangani sekitar 20 orang anggota Dewan. "Kalau yang ini memang dimungkinkan dalam tata tertib," katanya dengan yakin.
Fajar W.H., Budi Riza (TNR), Syaipul B. (Jambi), Fadilasari (Lampung)
Kronologi Pembahasan Penonaktifan Akbar Tandjung di DPR
4 September 2002
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Akbar Tandjung dengan hukuman tiga tahun penjara dalam kasus dana nonbujeter Bulog Rp 40 miliar.
16 September 2002
Sebanyak 68 anggota DPR mengajukan usul inisiatif. Usul itu diserahkan kepada Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno dan Muhaimin Iskandar.
17 September 2002
Rapat paripurna DPR yang dipimpin Akbar Tandjung menolak pembacaan usul inisiatif ke-68 anggota DPR di hadapan sidang paripurna. Mereka meminta surat itu langsung diserahkan ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
19 September 2002
Rapat Bamus DPR menunda pembahasan usul inisiatif dengan alasan banyak agenda lain yang harus segera disahkan.
27 September 2002
Sidang paripurna yang dipimpin Akbar Tandjung untuk penutupan masa sidang I diwarnai aksi walkout para pengusul inisiatif.
28 Oktober 2002
Hujan interupsi para pengusul mewarnai pembukaan sidang paripurna masa sidang II yang dipimpin Akbar Tandjung. Pimpinan kembali melim-pahkan usulan itu kepada Bamus DPR.
31 Oktober 2002
Setelah melalui perdebatan panjang dan sempat terkatung-katung, akhirnya Bamus sepakat pembahasan usul penonaktifan Akbar dikembalikan ke pimpinan DPR.
5 November 2002
Rapat pimpinan DPR menunda pembahasan. Alasannya, waktu tidak mencukupi.
6 November 2002
Wakil Ketua DPR Tosari Widjaja yang memimpin Bamus melaporkan kepada anggota Bamus bahwa rapat pimpinan DPR masih meminta waktu mempelajari usul inisiatif itu.
12 November 2002
Pimpinan DPR kembali menggelar rapat usul inisiatif 68 anggota DPR. Hasilnya, pimpinan mengembalikan lagi pembahasan usul inisiatif itu kepada Bamus. Rapat pimpinan juga sepakat penonaktifan Akbar Tandjung tidak diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
14 November 2002
Bamus batal menggelar rapat. Rapat ditunda hingga Kamis, 21 November 2002.
21 November 2002
Bamus gagal melakukan rapat karena tidak tercapai kuorum.
26 November 2002
Rapat Bamus yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar gagal mengambil keputusan penonaktifan Akbar. Alasannya, Fraksi PDIP masih akan mengkonsultasikan hasil rapat pimpinan DPR ke partainya.
17 Januari 2003
Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum Akbar Tandjung tiga tahun penjara.
23 Januari 2003
Rapat Bamus yang dipimpin Wakil Ketua DPR Tosari Widjaja kembali gagal membahas masalah penonaktifan Akbar Tandjung karena tidak tercapai kuorum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo