Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MILITER di banyak negara di dunia juga berperan di ranah sipil, selain menjalankan tugas pokoknya di bidang pertahanan. Namun peran mereka di ranah sipil pada umumnya tidak bersifat permanen, melainkan hanya diperbantukan sementara waktu. Situasi tersebut berbeda dengan pelibatan TNI di ranah sipil di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Imparsial—lembaga pemantau pelanggaran hak asasi manusia—Hussein Ahmad, mencontohkan kondisi tersebut terjadi di Australia. Di sana, kata dia, pelibatan militer di ranah sipil hanya bersifat sementara untuk tugas perbantuan kemanusiaan atau civic mission.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan tugas perbantuan militer di negara-negara demokrasi, termasuk Australia, telah memiliki pakem aturan yang jelas. Aturan tersebut mengatur secara rinci sejauh mana militer bisa membantu otoritas sipil hingga rincian anggarannya.
Pelibatan militer di ranah sipil di negara-negara demokrasi tersebut sangat jauh berbeda dengan di Indonesia. “Sekarang di sini tidak ada aturan mainnya. Apalagi, misalnya, prajurit aktif TNI melakukan pelanggaran hukum saat memegang jabatan sipil. Siapa yang dimintai pertanggungjawaban dan bagaimana peradilannya?” ujar Hussein, Senin, 10 Juni 2024.
Buku Peran Internal Militer: Problem Tugas Perbantuan TNI yang diterbitkan Imparsial pada 2019 menjelaskan bagaimana negara-negara demokrasi mengatur tugas perbantuan militer. Pemerintah Australia membagi tugas perbantuan militer dalam dua tipe, yaitu Defence Assistance to the Civil Community (DACC) dan Defence Aid to the Civil Power (DCAP) atau sering juga disebut Defence Force Aid to the Civilian Authorities (DFACA).
DACC mengatur perbantuan militer dalam rangka tugas darurat yang semestinya dilakukan pemerintah sipil. Perbantuan militer ini mencakup penggunaan personel, peralatan, perlengkapan, fasilitas, hingga kapabilitas militer. Sedangkan DCAP/DFACA mengatur perbantuan militer untuk membantu tugas penegakan hukum. Perbantuan militer Australia umumnya dikerahkan untuk merespons bencana yang terjadi.
Contoh lain, Amerika Serikat adalah negara yang mempraktikkan perbantuan militer sejak awal berdiri. Pada awal kemerdekaan, pemerintah Amerika Serikat menghadapi dua pemberontakan besar, yakni Shay (1786-1787) dan Whiskey (1794). Pada Agustus-November 1794, Presiden George Washington mengerahkan prajurit militer ke Pennsylvania untuk meredam pemberontakan. Dua peristiwa tersebut menandai pelibatan militer dalam urusan domestik Amerika Serikat. Namun pada zaman modern, pelibatan militer di ranah sipil di Amerika Serikat lebih sering digunakan untuk tanggap bencana.
Hussein mengatakan Amerika Serikat tidak melarang pelibatan militer untuk membantu pemerintahan sipil. Bahkan hal tersebut diatur dalam Pasal 1 Bagian 9 Konstitusi Amerika Serikat, yang intinya Kongres berwenang mengerahkan militer untuk menegakkan hukum, menindak pemberontakan, dan menghadapi invasi. Kendati demikian, Amerika Serikat mengatur secara ketat pengerahan militer dalam ranah sipil. Sedikitnya ada 15 peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas perbantuan militer di ranah sipil tersebut.
Pengerahan militer di ranah sipil di Amerika Serikat, baik dalam penanganan bencana maupun kerusuhan, berada di bawah kontrol sipil. Dengan demikian, pelibatan militer hanya dapat dilakukan atas permintaan dari otoritas sipil atau perintah dari presiden Amerika Serikat.
Prajurit TNI mengikuti latihan simulasi pertempuran jarak dekat di Markas Komando Wing I Paskhas TNI AU, Halim Perdanakusuma, Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto
Hussein mengakui ada juga sejumlah negara yang justru menggunakan pelibatan militer di ranah sipil untuk melakukan represi. Praktik tersebut terjadi di negara junta militer atau rezim totaliter. Misalnya, El Salvador yang mendeklarasikan darurat militer. Kemudian pemerintah El Salvador memberikan kewenangan kepada tentara untuk menangkap warga sipil.
“Bukan tidak mungkin Indonesia masuk dalam pola ini,” kata Hussein. “Kecenderungan kita sekarang mengarah ke sana. Ada kecenderungan militer ke panggung politik nasional.”
Hussein mengungkapkan, pola pelibatan militer seperti itu dimulai lagi sejak 2016 atau pada pertengahan periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam konteks Papua, kata dia, pemerintah membangun pangkalan militer secara masif. TNI membangun Komando Daerah Militer XVIII/Kasuari di Papua Barat, Pasukan Marinir 3 di Sorong, Komando Operasi Udara III di Biak Numfor, dan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III di Timika.
“Pola kecenderungan yang paling tinggi memberikan pintu masuk kepada militer untuk tugas-tugas selain perang melalui Pasal 47 ayat 3 revisi UU TNI,” kata dia.
Pelibatan militer di jabatan sipil kembali menjadi sorotan setelah Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui revisi Undang-Undang TNI menjadi usul inisiatif mereka. Dalam draf revisi yang disusun oleh DPR, ada dua pasal yang diubah, yaitu Pasal 47 dan 53. Pasal 47 itu berisi perluasan peran prajurit aktif di jabatan sipil. Mereka dapat menduduki jabatan sipil di semua kementerian dan lembaga sesuai dengan kebijakan presiden. Lalu, Pasal 53 mengatur perpanjangan batas usia pensiun prajurit TNI.
Anggota TNI dan warga mengevakuasi material yang tersapu banjir bandang di Desa Bulukerto, Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, 5 November 2021. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (Isess), Khairul Fahmi, mengatakan pelibatan militer di ranah sipil di Indonesia justru didorong oleh penyelenggara negara. Ia mengatakan ada dua pola keterlibatan militer dalam otoritas sipil, yaitu intervensi dan politisasi.
Pola intervensi terjadi ketika sistem dianggap gagal atau pemerintahan sipil dianggap tidak bisa melanjutkan pembangunan ekonomi atau tata kelola negara. Selanjutnya, militer mengkudeta pemerintahan sipil sehingga memunculkan junta militer. Kondisi seperti ini terjadi di Myanmar.
Di Indonesia, pelibatan militer di ranah sipil cenderung terjadi lewat politisasi. Kondisi tersebut terlihat dalam satu dekade pemerintahan terakhir. “Artinya, keterlibatan militer itu diundang. Bukan karena mereka memaksa untuk ikut campur, melainkan diundang untuk berperan di ranah sipil,” kata Khairul.
Khairul menilai selama ini TNI tetap berusaha dalam koridor aturan. Namun anggota partai politik, kementerian, ataupun parlemen cenderung memanfaatkan posisi strategis TNI. Politisasi ini membuka celah bagi militer untuk masuk ke ruang sipil. Hal ini terbukti dengan munculnya draf revisi Undang-Undang TNI yang sebetulnya tidak mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan TNI. “Jangan sampai politisasi oleh penyelenggara negara ini menghadirkan persepsi negatif,” kata Khairul. “Kemudian masyarakat memaklumi militer dilibatkan dalam urusan-urusan sipil yang semestinya bukan menjadi tanggung jawabnya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo