Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menguji Efektivitas Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi

Riset meneliti efektivitas penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di perguruan tinggi. Hasilnya, tidak efektif.

7 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah universitas di Indonesia menggunakan bahasa Inggris untuk bahasa pengantar perkuliahan sebagai bagian dari program internasionalisasi perguruan tinggi.

  • Riset mendapati kebijakan English as a medium of instruction (EMI) itu tidak efektif.

  • EMI memaksa mahasiswa untuk berpikir dalam satu bahasa saja dan ‘mematikan’ fungsi bahasa-bahasa lain yang mereka miliki.

Pada 2021, British Council Indonesia menerbitkan laporan hasil studi untuk merespons kebijakan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar atau English as a medium of instruction (EMI) yang marak diterapkan beberapa universitas di Indonesia sebagai bagian dari program internasionalisasi perguruan tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebijakan EMI “mengharuskan” semua bentuk komunikasi, baik instruksi dari pengajar, materi, maupun interaksi antara pengajar dan pelajar di kelas, dilakukan hanya dalam bahasa Inggris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya, penerapan kebijakan EMI ini tidak selalu berjalan dengan efektif. Sebuah penelitian di Swedia bahkan menyimpulkan bahwa EMI, dalam keadaan tertentu, dapat mempunyai konsekuensi negatif terhadap kinerja akademis siswa.

Bagaimana dengan di Indonesia?

Kompromi demi Gengsi

Laporan studi dari British Council Indonesia menemukan kebijakan penerapan EMI di Indonesia menyebar secara lebih cepat di institusi yang lebih bergengsi sebagai upaya mempertahankan prestise mereka serta umumnya disambut oleh staf pengajar secara positif dan antusias. Namun, secara garis besar, penerapan EMI ini tidak berjalan baik karena banyak mahasiswa yang kemampuan bahasa Inggrisnya masih kurang memadai.

Sebuah penelitian di Indonesia pada 2013, contohnya, menemukan, meskipun dosen dan mahasiswa menyadari pentingnya memiliki kemampuan berbahasa Inggris, mereka mengalami kesulitan ketika bertransisi secara mendadak menggunakan bahasa Inggris saja di kelas.

Selain itu, mayoritas dosen belum memahami cara mengadaptasi metode pengajaran mereka dalam bahasa Inggris. Sebuah riset pada 2018 di sekolah pendidikan guru di Indonesia menemukan bahwa meskipun beberapa dosen merasa percaya diri menerapkan kebijakan EMI, kemampuan menulis mereka dalam bahasa Inggris masih kurang memadai. Silabus yang mereka tulis dalam bahasa Inggris mencerminkan kesalahan-kesalahan penggunaan gramatika dan pemilihan kata dalam bahasa Inggris.

Walhasil, penerapan kebijakan menjadi tidak maksimal. Baik pengajar maupun murid mencampur bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di kelas.

Tidak Otomatis Fasih

Ahli-ahli pendidikan bahasa Inggris juga mengkritik kebijakan EMI. Mereka membantah pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa Inggris saja di kelas akan membuat pelajar otomatis fasih berbahasa Inggris. Ernesto Macaro, profesor emeritus di University of Oxford, Inggris, misalnya, menyatakan keyakinan tersebut tidak dapat dibuktikan.

Miles Turnbull dari University of Prince Edward Island, Kanada, dan Jennifer Dailey-O’Cain dari University of Alberta, Kanada, juga menambahkan bahwa kebijakan ini justru merugikan pelajar. Mereka berpendapat, bagi pelajar-pelajar bilingual atau multilingual (berbicara lebih dari satu bahasa, seperti dalam konteks Indonesia), code-switching (berganti dari satu bahasa ke bahasa lain) berlangsung secara alami dan tidak dapat dihindari.

Ilustrasi kuliah dengan pengantar bahasa Inggris. PEXELS

Kebijakan menggunakan bahasa Inggris saja di kelas di tingkat universitas justru dapat menimbulkan diskriminasi terhadap mahasiswa yang kemampuan bahasa Inggrisnya belum memadai serta menghambat mahasiswa memaksimalkan pengetahuan akademisnya.

Sebuah penelitian di Israel menunjukkan penggunaan bahasa Inggris saja di kelas mengesampingkan fakta bahwa sebenarnya mahasiswa memproses pengetahuan yang mereka pelajari di kelas melalui lebih dari satu bahasa yang mereka miliki. Kebijakan ini memaksa mahasiswa untuk berpikir dalam satu bahasa saja dan “mematikan” fungsi bahasa-bahasa lain yang mereka miliki. Padahal bahasa-bahasa tersebut mereka gunakan untuk mencoba memahami pembelajaran dan membuat proses pembelajaran mereka lebih bermakna.

Ketidakpercayaan Diri dalam Berbahasa

Kebijakan penggunaan bahasa Inggris saja di kelas juga dapat mengakibatkan ketidakpercayaan diri dalam berbahasa karena biasanya penggunaan bahasa-bahasa lain yang dimiliki mahasiswa—seperti bahasa ibu mereka, bahasa lokal, dan bahasa nasional—dianggap sebagai kelemahan atau kekurangan, bahkan dilarang digunakan.

Dalam konteks perguruan tinggi Indonesia, ini berarti kebijakan EMI “memaksa” mahasiswa meninggalkan bahasa-bahasa lain mereka atau dengan kata lain, meninggalkan identitas bilingual atau multilingual mereka.

Padahal Lourdes Ortega, peneliti bahasa dari Georgetown University, Amerika Serikat, menyatakan semua orang berhak untuk merasa percaya diri atas kemampuan linguistik mereka dan menggunakan bahasa-bahasa yang mereka miliki.

Metode Translanguaging sebagai Alternatif

Studi-studi yang dipaparkan di atas membuktikan bahwa kebijakan EMI di kelas-kelas di Indonesia tidak efektif. Sebuah riset juga menunjukkan kebijakan pengajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi di Indonesia harus memperhitungkan karakteristik Indonesia yang multibahasa dan multikultural.

Metode pengajaran translanguaging bisa menjadi alternatif yang lebih sesuai untuk karakteristik tersebut. Translanguaging, yang dipopulerkan oleh Ofelia Garcia dari City University of New York, AS, serta Li Wei dari University of London, Inggris, dapat diartikan sebagai proses menggunakan semua sumber daya linguistik dan kognitif, termasuk bahasa asal seseorang, untuk memahami konten akademis yang disampaikan dalam bahasa lain.

Yvonne Freeman dan David Freeman dari University of Texas, AS, memberikan contoh bagaimana metode pengajaran translanguaging dapat diterapkan di kelas.

Ilustrasi kuliah dengan pengantar bahasa Inggris. UNSPLASH

Dalam menerangkan suatu konsep, dosen dapat bertanya, “What is concept X in your own language(s)?” (“Apa konsep X dalam bahasamu sendiri?”) dan “What are some examples of this concept in your real life?” (“Apa contoh konsep ini di kehidupanmu?”).

Contoh lain, misalnya dalam kelas bahasa Inggris, dosen dapat bertanya, “What is folktale in your own language?” (“Apa cerita rakyat dalam bahasamu?), “What are some examples of folktales in your local language?” (“Apa contoh cerita rakyat dalam bahasa lokalmu?”).

Mahasiswa diperbolehkan menulis catatan dalam bahasa mereka serta membandingkan konsep dalam bahasa Inggris dengan konsep yang bisa mereka pahami dalam bahasa mereka sendiri.

Alih-alih memaksa mahasiswa menggunakan bahasa Inggris saja di kelas, konsep translanguaging ini bisa memberi beberapa manfaat, yaitu: (1) membantu mahasiswa mengasah kemampuan berbahasa Inggris mereka; (2) membantu mahasiswa memahami konten yang mereka pelajari di kelas; dan (3) mengapresiasi dan mempertahankan bahasa-bahasa lain yang mereka miliki serta pengetahuan lokal yang kadang tidak bisa diterjemahkan atau diekspresikan dalam bahasa Inggris.

---

Artikel ini ditulis oleh Billy Nathan Setiawan, kandidat doktor ilmu bahasa terapan di University of South Australia. Terbit pertama kali di The Conversation.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus