Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tri Handoko Seto, Direktur Jenderal Pembinaan Masyarakat Hindu, menggugat Presiden Joko Widodo soal pencopotan jabatannya.
Jokowi digugat karena menandatangani keputusan presiden soal pemecatan di lingkungan Kementerian Agama pada Januari lalu.
Kementerian Agama menyatakan tidak ada yang salah dalam pencopotan tersebut.
JAKARTA – Tri Handoko Seto menggugat Presiden Joko Widodo ke pengadilan tata usaha negara. Direktur Jenderal Bina Masyarakat Hindu Kementerian Agama periode 2020-2021 itu menuntut pertanggungjawaban atas pemecatannya pada Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nengah Sujana, kuasa hukum eks Dirjen Bimas Hindu itu, menuturkan gugatan tersebut dilayangkan karena kliennya tak kunjung mendapat penjelasan tentang alasan pencopotan jabatannya. “Bukan Pak Seto tidak terima diberhentikan, tapi karena tidak jelas alasannya,” kata Nengah kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum menerima surat pemberhentian, Nengah melanjutkan, Tri Handoko sama sekali tak menerima panggilan ataupun mendengar pembicaraan soal itu, baik dari rekan maupun atasannya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Pencopotan jabatan itu didasari Keputusan Presiden Nomor 172 Tahun 2021 yang diteken pada 6 Desember, tapi Tri Handoko baru menerimanya pada 21 Desember lalu.
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas di Gedung Tempo, Jakarta, 1 Desember 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Selama rentang waktu itu, Tri Handoko masih menjalankan tugasnya sebagai Dirjen Bimas Hindu. Pada 7 Desember, misalnya, dia melakukan serah-terima Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran 2022 sekaligus menandatangani perjanjian kinerja 2022 dengan Menteri Yaqut. Lalu, pada 10-12 Desember, Tri mengikuti lokakarya penguatan moderasi beragama di Hotel Sari Pan Pasifik, Jakarta, yang dibuka oleh Yaqut.
Menurut Nengah, semula Tri Handoko tidak ingin menggugat ke PTUN karena menunggu pemindahan posisi. Namun, hingga 90 hari, tak ada tanda-tanda ia akan mendapat jabatan baru. “Pak Seto masih menerima gaji pokok, tapi dia enggak ada tugas, enggak punya kursi di kantor,” kata Nengah.
Tri Handoko telah berupaya meminta penjelasan, dari ke staf ahli menteri, sekretariat kementerian, hingga Menteri Yaqut secara langsung, tapi tak mendapat jawaban. “Karena komunikasi tersumbat, kami menempuh mekanisme pengadilan,” ujar Nengah.
Gugatan dilayangkan ke PTUN pada 4 Maret lalu. Nengah mengatakan Keppres No. 172/2021 bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Dalam gugatannya, Tri Handoko menuntut Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan Menteri Agama ihwal pencopotannya. Tri juga meminta hakim memerintahkan Presiden Jokowi menerbitkan keputusan tentang pengangkatannya sebagai pimpinan tinggi madya di Kementerian Agama dalam jabatan setingkat.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memecat Tri Handoko berbarengan dengan tiga direktur jenderal non-Islam lain. Mereka adalah Yohanes Bayu Samodro (Katolik), Thomas Pentury (Kristen), dan Caliadi (Buddha). Menteri Yaqut juga memecat dua pejabat eselon I lainnya, yakni Inspektur Jenderal Deni Suardini serta Kepala Badan Penelitian dan Pendidikan, Achmad Gunaryo.
Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Nizar Ali, mengatakan keempat pejabat tersebut telah dipindahkan ke jabatan fungsional. Menurut dia, mutasi dan rotasi ini merupakan bagian dari upaya penyegaran serta peningkatan kinerja. “Harus dimaknai dari sudut pandang kepentingan kementerian, bukan kepentingan orang per orang, apalagi pejabat yang bersangkutan,” ujar Nizar.
Sembari menyatakan bahwa mutasi tersebut sesuai dengan peraturan, Nizar mempersilakan para pejabat itu menggugat keputusan pemberhentian mereka. “Pejabat pembina kepegawaian (Presiden) memiliki kewenangan untuk penempatan pegawai sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” katanya.
I Dewa Gede Palguna, hakim konstitusi periode 2003-2008 dan 2015-2020, mengatakan Tri Handoko menggugat ke PTUN sebagai langkah terakhir untuk mendapatkan penjelasan soal pemecatannya.
Sebagai anggota tim seleksi yang memilih Tri Handoko sebagai Dirjen Bimas Hindu pada 2020, Palguna merasa ikut bertanggung jawab. Setelah mengetahui ihwal pemberhentian Tri Handoko, Palguna melayangkan surat kepada Presiden Jokowi untuk meminta penjelasan. “Kalau tidak, saya dihakimi. Kenapa Dirjen yang saya pilih diberhentikan dalam waktu singkat?” ujar Palguna.
Menurut Palguna, Menteri Yaqut perlu menjelaskan alasan pemberhentian Tri Handoko. Sebab, selama seleksi, Tri Handoko mendapat nilai tertinggi. Kinerja selama menjabat sebagai dirjen pun, Palguna melanjutkan, cenderung bagus. Jika ada pelanggaran disiplin yang dilakukan Tri Handoko, kata Palguna, alasan pemberhentian itu bisa dimengerti. “Ini kan penjelasan dan alasan tidak jelas,” kata dia.
Meski demikian, Palguna menyarankan agar eks Dirjen Bimas Hindu itu membatasi gugatannya pada alasan pemberhentian, tidak perlu menuntut pembatalan pemecatan. “Kalau sudah dijelaskan secara terbuka dan ada penjelasan yang sah, ya sudah, karena sudah tidak nyaman lagi dia bekerja di sana,” ujar Palguna.
MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo