Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pihak Firli menyebutkan adanya kejanggalan proses penyidikan perkara korupsi yang menjerat mantan Ketua KPK itu.
Foto Firli dan Syahrul di GOR Bulu Tangkis diduga diambil tanpa seizin Firli.
Polda Metro Jaya akan menjawab gugatan Firli pada hari ini.
JAKARTA – Firli Bahuri menuding penetapan tersangka terhadap dirinya yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebab, ada sejumlah proses yang tidak dijalani oleh penyidik Polda Metro Jaya lebih dulu sebelum penetapan tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tudingan Firli tersebut tertuang dalam permohonan praperadilan penetapan tersangka dirinya yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin kemarin. “Proses penyidikan ini, menurut kami, banyak hal-hal yang dilanggar,” kata Ian Iskandar, kuasa hukum Firli Bahuri, setelah sidang pembacaan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 11 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ian mengatakan proses penyidikan kliennya di Polda Metro Jaya itu terkesan janggal. Kejanggalan itu terlihat dari laporan polisi dan surat perintah penyidikan terbit pada hari yang sama. Laporan polisi tersebut berupa laporan model A, yang artinya pelapornya adalah polisi, terbit pada 9 Oktober. Pada hari yang sama, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto juga menerbitkan surat perintah penyidikan kasus korupsi.
“Enggak ada tahapan penyelidikan, dasarnya (penetapan tersangka) adalah surat perintah penyidikan dan laporan polisi model A,” ujar Ian.
Ia melanjutkan, kliennya juga menepis tuduhan pernah memeras Syahrul Yasin Limpo saat Syahrul menjabat Menteri Pertanian. Ian berpendapat sebaliknya. Dia mengatakan laporan pengaduan masyarakat pihak Syahrul ke Polda Metro Jaya yang menuduh Firli telah memerasnya merupakan upaya untuk merintangi pengusutan perkara dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Laporan pengaduan masyarakat itu sampai ke Polda Metro Jaya pada 12 Agustus lalu. Saat itu, KPK dengan Firli Bahuri sebagai ketua, tengah menyelidiki dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian.
Ia juga mempertanyakan bukti foto pertemuan antara Firli dan Syahrul di gelanggang olahraga bulu tangkis, Jakarta, pada 2 Maret 2022. Ian menilai foto itu tidak bisa dijadikan alat bukti di persidangan karena diambil tanpa seizin dan sepengetahuan Firli. Foto tersebut, kata dia, hanya membuktikan terjadinya pertemuan dan tidak membuktikan adanya pemerasan.
Ketua KPK Firli Bahuri (kiri) bertemu Syahrul Yasin Limpo (tengah) di sebuah GOR Badminton, Jakarta, 2 Maret 2022. Istimewa
Pihak Firli juga menyangkal tudingan pernah menerima uang dari Syahrul melalui Kevin Egananta Joshua—ajudan Firli. Sebab, waktu pemberian uang dari pihak Syahrul, seperti yang dituduhkan ke Firli, terjadi saat Kevin terinfeksi Covid-19. Dengan demikian, ujar Ian, Kevin tidak mungkin berada di gedung bulu tangkis ketika itu.
Selain itu, menurut Ian, kliennya mempertanyakan bukti transaksi penukaran valuta asing atas nama Firli yang diperoleh penyidik dari tempat penukaran uang atau money changer. Ia menilai bukti penukaran uang tersebut tidak membuktikan kliennya telah memeras Syahrul. Kliennya juga tidak mengetahui sumber uang mata uang asing tersebut.
“Kami ditunjukkan penyidik berupa resi penukaran (valas). Kalau uangnya, kami enggak pernah ditunjukkan,” kata Ian.
Polda Metro Jaya menetapkan Firli sebagai tersangka perkara korupsi pada 22 November lalu. Mantan Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri ini disangka dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 12 huruf e, Pasal 12B, atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.
Peran Firli dalam perkara ini terungkap dari keterangan Direktur Alat Mesin Pertanian Kementerian Pertanian Muhammad Hatta kepada penyidik Polda. Sesuai dengan kopian dokumen penjelasan Hatta yang diperoleh Tempo, anak buah Syahrul itu mengungkap tiga kali pertemuan Firli dan Syahrul serta pemberian uang hingga Rp 3 miliar lebih.
Kronologi pemberian uang ini berawal dari komunikasi Kepala Polrestabes Semarang Komisaris Besar Irwan Anwar kepada Syahrul pada Juni 2022. Irwan merupakan kerabat Syahrul. Ia pernah menjadi anak buah Firli di Polda Nusa Tenggara Barat pada 2017.
Irwan menyampaikan ke Syahrul bahwa KPK tengah mengusut suatu dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian. Selanjutnya, Irwan dan Syahrul bertemu, lalu bersama-sama ke kediaman Firli, diduga ke rumah di Jalan Kertanegara Nomor 46, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Syahrul dan Firli juga bertemu di glenggang olahraga bulu tangkis, Mangga Besar, Jakarta Barat, pada Desember 2022. Saat itu Firli sedang bermain bulu tangkis.
Kepada Tempo, Irwan mengakui adanya pertemuan Firli dan Syahrul pada 2021, bukan 2022 seperti keterangan Hatta. Irwan juga membantah tudingan adanya pemberian uang ke Firli.
Di KPK, penanganan perkara korupsi Syahrul lebih dulu naik ke tahap penyidikan. KPK menetapkan Syahrul, Hatta, dan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono sebagai tersangka korupsi pada 26 September lalu. Mereka disangka melakukan pemerasan dan gratifikasi.
Kuasa hukum Syahrul, Djamaluddin Koedoeboen, belum merespons permintaan konfirmasi Tempo mengenai tudingan pihak Firli tersebut. Adapun Kepala Bidang Hukum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Putu Putera Sadana mengatakan pihaknya perlu waktu untuk menyiapkan jawaban atas petitum dari Firli tersebut.
Ia mengatakan pihak Polda akan membacakan jawaban pada Selasa siang ini. Putu juga berpendapat, penggugat semestinya tidak menyinggung materi pokok perkara dalam sidang praperadilan. Ia merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016. Pasal ini mengatur bahwa pemeriksaan praperadilan terhadap permohonan tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu mengenai kecukupan dua alat bukti yang sah dalam penetapan tersangka.
“Itu juga seharusnya tidak masuk ke materi pokok perkara,” kata Putu.
Ia juga menjelaskan, penyelidik dan penyidik Polri memiliki prosedur operasional baku penyelidikan yang tercantum dalam Peraturan Direktur Tindak Pidana Korupsi Polri Nomor 2 Tahun 2023. Berdasarkan prosedur dalam peraturan tersebut, kata Putu, penyelidik telah melakukan tahap penyelidikan sebelum laporan polisi terbit. “Ini yang akan kami siapkan jawabannya esok hari,” katanya.
Putu juga menegaskan bahwa pihak Polda Metro Jaya sudah menyiapkan strategi untuk menghadapi gugatan Firli. Namun ia enggan merinci strategi tersebut. “Besok akan terjawab dan terlihat dalam sidang,” katanya.
Kuasa hukum Ketua KPK Nonaktif Firli Bahuri, Ian Iskandar (kedua dari kanan), berdiskusi dengan kuasa hukum Kapolda Meto Jaya saat sidang perdana praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 11 Desember 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Adapun Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak membantah tuduhan kuasa hukum Firli yang menyebutkan penyidik melampaui tahapan KUHAP. Ia mengatakan semua tahapan penyidikan perkara pemerasan Firli dilakukan secara transparan, dari pengaduan masyarakat, penyelidikan, gelar perkara untuk penyidikan, penyidikan, hingga gelar perkara penetapan tersangka.
“Semuanya itu sudah kami jalankan serta pedomani sesuai dengan regulasi ataupun SOP yang berlaku,” kata Ade.
Ia juga membantah tuduhan bahwa Kepala Polda Metro Jaya mengarahkan Syahrul membuat laporan dumas perkara pemerasan Firli. Ade menegaskan, Syahrul bukan pihak yang membuat laporan dumas ke lembaganya. Meski begitu, Ade tetap merahasiakan identitas pelapor tersebut. “Itu diatur dalam regulasi yang berlaku,” katanya.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan penyidik Polda Metro Jaya telah melakukan proses penetapan tersangka sesuai dengan prosedur. Ia menjelaskan, memang ada pengertian yang samar antara penyelidikan dan penyidikan dalam proses pidana.
Penyelidikan, kata dia, untuk memastikan adanya peristiwa pidana berdasarkan laporan, pengaduan, tangkap tangan, atau pengembangan perkara. Dengan demikian pengumpulan alat bukti di tahap penyelidikan masih informal.
“Jadi penyelidikan itu belum pro justitia,” kata Fickar. “Karena itu, setiap pihak yang diminta keterangannya melalui undangan, bukan panggilan.”
Apabila sudah dipastikan peristiwa pidananya, menurut Fickar, penyidik mulai mengumpulkan alat bukti, seperti memeriksa saksi, calon tersangka, ahli, surat, dokumen, dan petunjuk lainnya. “Jika tindak pidananya terang benderang, barulah penyidik menetapkan tersangka,” ujarnya.
Ia juga membantah klaim kuasa hukum Firli yang mengatakan foto pertemuan Firli dan Syahrul tidak bisa dijadikan alat bukti karena diambil tanpa izin. Menurut Fickar, izin tidak diperlukan saat mengambil foto di ruang publik, kecuali untuk kepentingan komersial. “Foto apa pun, jika diletakkan dalam konteks pembuktian perkara pidana, tidak diperlukan izin,” katanya.
EKA YUDHA SAPUTRA | M. FAIZ ZAKI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo