Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTUMBUHAN ekonomi bukanlah sebuah jalan surga. Dari halamanhalaman terdahulu sudah kita ikuti apa saja yang diperkirakan akan timbul kelak, ketika Indonesia mengerahkan tenaganya untuk mencapai suatu tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai. Pelbagai masalah dan konflik tak akan dapat dielakkan. Untuk menghadapi itu, bagaimana seyogianya kehidupan politik dijalankan? Kita mulai dengan masalah dana. Dana dibutuhkan untuk membiayai pembangunan dan ikut menggerakkan mesin pertumbuhan. Dana pembangunan tak datang dari langit. Sumbangan minyak untuk anggaran belanja dipastikan melorot. Sepuluh tahun lalu, sumbangan minyak masih sekitar 70% dari APBN. Kini tinggal 30%. Sekitar 25 tahun mendatang, kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Saleh Afiff, Indonesia bahkan tak bisa lagi mengandalkan minyak. Sumber dana yang potensial (seperti yang sudah dikemukakan pada halaman 26) adalah pajak. Pajak bukanlah soal membayar secara patuh kepada kas negara. Umumnya diperkirakan, bertambahnya ketergantungan negara kepada pajak juga akan meningkatkan peran pembayar pajak dalam proses pengambilan keputusan politik. Walhasil, suatu "kekuatan baru" diperkirakan akan lahir kelak di Republik ini: golongan pembayar pajak. Benarkah? Harry Tjan Silalahi, ahli politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), termasuk orang yang punya dugaan demikian. Para pembayar pajak kelak akan makin cerewet, kenes, rewel, kritis, dan selalu ingin turut serta. Format politik yang kelak akan lahir kiranya akan lebih cocok untuk menampung kaum ceriwis tadi. Semboyan "dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat" akan lebih tampil ketimbang model pemerintahan "untuk rakyat" (dan tidak selamanya "dari rakyat") yang terjadi sekarang ini. Kemungkinan apa yang kemudian disebut Harry Tjan sebagai "demokratisasi" memang bisa terjadi. Tetapi sejauh mana "demokratisasi" itu berbeda dengan apa yang selama ini tampak, sulit dirumuskan. Kecemasan selama ini, terutama di kalangan kaum teknokrat dan militer, bukan tanpa alasan: "demokratisasi" akan melahirkan sistem yang terlampau mudah menampung desakan dari masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan yang diperlukan dalam pertumbuhan ekonomi bisa terhambat, khususnya bila kebijakan itu tidak "populer". Misalnya kebijakan pengurangan subsidi dan penghilangan proteksi untuk produk dalam negeri. Tapi setidaknya akan ada kompromi antara kepentingan pembayar pajak dan kebijaksanaan Pemerintah. Menteri Afiff sendiri melihat soal ini sebagai hal yang wajar, karena Pemerintah bisa saja menyesuaikan kebijaksanaannya. "Pengusaha mau membayar pajak kalau policy Pemerintah itu sesuai," katanya. Barangkali tak cuma itu. Para pembayar pajak akan lebih teliti mengamati ke mana larinya uang pajak yang dibayarkan. Yang akan muncul kemudian adalah soal kepercayaan. Pemerintah dituntut untuk lebih transparan dan bersih dalam memanfaatkan uang pajak rakyat itu. Tanpa itu, membayar pajak akan dianggap siasia. Tak ayal, ini butuh alat kontrol yang memadai. Tetapi kontrol dari pihak negara sendiri ke dalam aparaturnya selama ini tidak dianggap cukup. Kontrol bisa juga datang dari pers, dari Dewan Perwakilan Rakyat, atau lembaga pengadilan. Dan pengawasan ini bisa memadai kalau pers tidak ketakutan akan pisau bredel, kalau wakil rakyat bisa bersuara lantang, dan pengadilan jujur dan tak dicampuri Pemerintah. Untuk ke sana, banyak kepentingan akan terpaksa harus dikorbankan -- khususnya kepentingan kalangan birokrasi dan ABRI. Sulitnya, selama ini tak ada contoh di dalam sejarah Indonesia sendiri bagaimana hal itu bisa dilakukan dan dikelola. Contoh dari negerinegeri lain, misalnya di Korea Selatan, Taiwan, dan Muangthai, yang berkembang dari pemerintahan yang birokratisotoriter ke pemerintahan yang lebih menampung suara masyarakat, tidak cukup dipelajari. Yang juga bisa akan menentukan format politik di masa depan adalah mobilisasi dana pinjaman dari luar negeri. Dana pinjaman dari luar negeri di masa mendatang tampaknya masih akan penting. Tentu tak mudah lagi mencari utang dengan bunga lunak ala IGGI dulu dengan jangka pengembalian yang panjang. Soalnya, sumber dana pinjaman yang datang dari berbagai negara maju akan makin kecil jumlahnya. Berbareng dengan itu, dana yang masuk ke Indonesia penuh dengan berbagai syarat, misalnya dikaitkan dengan pelaksanaan hak asasi manusia atau pelestarian lingkungan. Bagaimana kelak syarat ini akan dihadapi? Dengan menolak sama sekali masuknya bantuan yang diikat dengan urusan hak asasi manusia? Atau dengan menyesuaikan diri? Pemerintah Indonesia selama ini tampaknya tak mau sertamerta mengikuti syarat semacam itu. "Kalau mau dipaksakan dengan syarat yang tidak sesuai, ya, kita tidak mau," seperti kata Menteri Afiff. Kalau perlu, Pemerintah akan memilih bantuan yang sifatnya lebih ketat. Sejauh mana hal itu bisa dilakukan kelak masih harus dilihat. Siapa tahu negerinegeri "kapitalis yang demokratis", yang selama ini punya banyak sumber dana untuk bantuan dan investasi, nanti tak akan lagi pakai syarat yang menyangkut hak asasi manusia. Dan mungkin sekali Indonesia tidak akan membutuhkan bantuan asing yang banyak. Tapi sebaliknya siapa tahu pula bahwa pilihan bagi Indonesia semakin terbatas, hingga desakan agar pemerintah di sini lebih memperhatikan hak asasi manusia dan pemeliharaan lingkungan hidup akan terpaksa dituruti. Yang jelas, gerak ke arah "globalisasi" di bidang perdagangan dan modal akan menimbulkan dampaknya tersendiri di negeri mana pun. Dalam "globalisasi" itu, kemampuan suatu pemerintah nasional untuk mengontrol gerak barang, modal, dan juga informasi akan semakin terbatas. Maka, format politik yang bagaimana yang sanggup menampung hal itu? Di satu pihak, ada tendensi kuat yang melintasi batasbatas nasional dan peran negara. Di lain pihak, ada tendensi yang juga mungkin akan tetap kuat untuk mempertahankan semangat "harga diri sebagai bangsa". Konflik kepentingan para pendukung kedua tendensi itu, bagaimanapun, harus dikelola. Bentuk pengelolaannya harus ditemukan. Yang ideal ialah bahwa bila keduanya mendapatkan kesempatan yang sama dalam menentukan kebijakan nasional. Para perumus dan pelaksana kebijakan nasional yang kurang tepat harus dengan mudah dapat diganti. Dengan kata lain, tak ada yang memegang monopoli terusmenerus, dan selalu ada alternatif. Persoalan penting lain di masa depan adalah kesenjangan regional yang masih menganga. Ini sudah dibahas di halaman 3133. Secara gampang, di sini bisa dikatakan: sekelompok buruh di pelosok Nusa Tenggara Timur masih hidup dengan US$ 1 atau kurang sehari, sementara kelompok pengusaha di Jakarta dengan mudah makan siang di Singapura dan kemudian makan malam di Tokyo. Masalahnya tentu bukan hanya dengan mendorong investasi ke suatu wilayah yang terkebelakang. Jelas, diperlukan konsep politik baru tentang desentralisasi dan pemberian otonomi pada daerah. Perlu diatur lagi, apa yang perlu ditangani pusat dan apa yang diserahkan pada daerah. Misalnya, perlukah memaksakan berdirinya sistem kelurahan yang tipikal Jawa di pelosok Timor Timur yang sudah berpuluh tahun hidup aman dipimpin seorang "liurai" atau tetua adat? Atau, perlukah seorang gubernur selalu ditunjuk melalui restu dari Jakarta? Dalam pada itu pula, sejauh mana kecenderungan ke arah desentralisasi itu tak menimbulkan kecemasan, bahwa ide "kesatuan" tak akan terancam? Gejala rontoknya beberapa negara nasional di Eropa Timur akhir-akhir ini menunjukkan, bahwa perlu ada peninjauan kembali apa makna "kesatuan" bagi Indonesia kelak. Cukupkah sekadar perbaikan administrasi dan lalulintas tidak diperlukankah simbolsimbol yang tetap relevan dan hidup untuk mempertahankan persatuan Indonesia yang selama ini dikenal? Dengan kata lain, tak cuma pendekatan birokratis? Di halaman 34-35 kita sudah ikuti,g kedua, ada 3,1 juta penganggur di negeri ini. Ini belum terhitung mereka yang bekerja di bawah jam kerja standar (underemployment) atau penganggur terselubung. Siapa pun yang akan memegang kepemimpinan, pemerintah Indonesia akan tetap dihadapkan pada soal penyediaan lapangan kerja. Tapi itu berarti sektor informal, yang menampung surplus besar tenaga kerja itu -- ditunjukkan dengan jelas oleh pedagang kakilima di kotakota -- harus dapat lebih didengar suaranya. Kalau tidak, pertumbuhan ekonomi yang telah mengakibatkan timbulnya lapisan "orang kaya baru" akan menghadapi ancaman laten: ledakan ketidakpuasan di lapisan yang kurang beruntung. Bentuknya tak selamanya revolusi. Bentuknya bisa kriminalitas yang meluas. Maka sebuah proses politik yang memberi kesempatan kepada suara di sektor informal diperlukan, terutama di tingkat daerah. Selama ini proses ini agak sulit terjadi. Proses politik tingkat daerah lebih bersifat birokratis dan berjalan dari kantor gubernur (atau bupati) ke rakyat banyak. Bukan sebaliknya. Ini terutama karena peran DPRD yang praktis masih jadi unsur dari pemerintahan setempat. Ini juga lantaran peran organisasi masyarakat yang lemah. Mungkinkah semua itu berubah nanti? Jika tak berjalan mulus, tampaknya suatu krisis sosial harus dilalui. Format politik yang ideal kelak ialah yang bisa menghindarkan krisis itu. Bukan dengan polisi dan tentara, melainkan dengan menghidupkan saluran dari dan ke kalangan sektor informal itu. Agaknya hidupnya organisasi masyarakat akan terpaksa diperlukan. Di halaman 39-40 kita sudah ikuti, bahwa revolusi teknologi komunikasi juga akan banyak mengubah wajah Indonesia. Kata Marwah Daud Ibrahim, doktor komunikasi yang kini bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT): setiap negeri kini seperti berada di rumah kaca -- yang bisa diintip dari berbagai penjuru. Berbagai hal akan diterobos revolusi ini. Penguasaan informasi penting, misalnya, kini tak lagi monopoli sekelompok orang. Kerahasiaan juga akan makin melemah. Segala bentuk informasi akan mengalir masuk ke negeri ini tanpa kenal waktu dan batasan alat: tak cuma faksimile, tapi juga radio, telepon, atau antena parabola untuk televisi. Maka, keterbukaan tak bisa dielakkan lagi. Terutama karena para pelaku pertumbuhan ekonomi memerlukan informasi yang akurat dari segala penjuru. Juga, hasil pertumbuhan eknomoni itu sendiri memperluas kemampuan memiliki alat informasi yang canggih di masyarakat. Ini bisa berarti, misalnya, yang bicara bukan bredel, ketika ada "serangan" kepada Pemerintah. Yang harus bicara adalah keterangan versi Pemerintah yang cukup meyakinkan melalui alat komunikasi itu sendiri. Kemampuan berargumentasi, kemampuan berbeda pendapat, dan kegesitan membujuk publik (dan tidak cuma memerintah atau menggertak) menjadi penting. Marwah Daud juga melihat satu perubahan besar akibat revolusi komunikasi ini, yaitu pergeseran dalam proses pengambilan keputusan. Di masa mendatang, dengan pemilikan informasi yang merata antara negara dan masyarakat, proses pengambilan keputusan tak bisa lagi hanya ditentukan oleh Pemerintah. Keputusan di masa mendatang adalah akumulasi dari keputusan masyarakat yang memiliki informasi dan pengetahuan yang sama. "Dan tidak bisa lagi hanya dari Istana," kata Marwah. Kalau toh Pemerintah memaksa, jelas kontrol akan sulit dilakukan. Walhasil, pertumbuhan ekonomi, perubahan dunia, memang bukan sebuah jalan surga. Soalnya: siapkah Indonesia? Toriq Hadad, Ardian T. Gesuri, Bina Bektiati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo