Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, menolak rencana penerapan kembali Ujian Nasional. Dia mempertanyakan pemberlakuan kembali UN yang telah dihapus sejak 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tujuannya untuk apa? Kalau seandainya UN tujuannya untuk pemetaan atau standar nasional pendidikan, itu bagus," katanya saat dihubungi Tempo, Sabtu, 2 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, Heru menolak jika UN hanya menjadi alat ukur di akhir jenjang pendidikan dan bahan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. "Tapi kalau UN semata tujuannya sebagai alat evaluasi akhir jenjang, kemudian dipergunakan hasil UN itu sebagai alat seleksi, akan menimbulkan berbagai dampak negatif."
Heru menjelaskan, dia bersama rekan-rekannya yang merupakan guru merasakan sendiri bagaimana kenyataan di lapangan. Betapa buruknya dampak jika hasil UN digunakan sebagai alat evaluasi atau alat ukur kelulusan.
Dia menyoroti adanya kecurangan yang mencoreng integritas pendidik dan peserta didik. Seperti misalnya ada tim dari oknum guru atau panitia UN agar siswa tertentu bisa lulus ujian.
"Ada tim sukses untuk memperoleh nilai seperti itu, kemudian ada upaya sekelompok siswa untuk mencari bocoran. Dalam pelaksanaannya (UN) itu, ada upaya untuk nyontek massal," kata Heru.
Selain itu, kata dia, ada pula upaya dari pihak sekolah untuk menggiring siswa agar wajib mengikuti pendalaman materi. Dari sana, muncul pembiayaan tambahan yang harus dikeluarkan.
Sementara dari sisi lain orang tua, mereka khawatir jika anaknya tidak dapat apa-apa. Pada akhirnya, anak dimasukkan ke lembaga kursus. "Nah, ini kan pemaksaan semua kalau sudah seperti itu."
Haru mengatakan jika anak yang tidak punya kemampuan serta minat belajar tinggi dipaksa seperti itu, akhirnya yang timbul adalah tekanan. Sedangkan bagi anak yang mempunyai kemampuan bagus dalam berpikir, maka mereka akan senang.
"Ketika anak mempunyai kemampuan atau potensinya bagus, dipoles sedikit, diajari, (akan) senang, kemudian bisa menghasilkan nilai UN yang bagus," tuturnya.
Ketika hasil UN dijadikan sebagai alat seleksi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), kata Heru, maka siswa yang rajin dan memperoleh nilai bagus akan berpeluang besar diterima di sekolah negeri. Sementara bagi yang tidak demikian, mereka akan merasa tersisih.
Akhirnya, siswa berupaya agar bisa diterima di sekolah negeri dengan cara mencari bocoran, mencontek massal, dan kecurangan lainnya. "Yang akhirnya dengan adanya UN itu menjadi banyak perbuatan yang sifatnya negatif di satuan pendidikan. Maka FSGI menentang habis dari 2013-2014 minta supaya UN dihapuskan," kata Heru.
Menurut dia, banyak masyarakat awam mendukung dikembalikannya UN karena berharap agar siswa tingkat akhir belajar dengan sungguh-sungguh. Pasanya, mereka akan menjalani ujian terhadap tiga tahun atau enam tahun masa belajar.
Jika siswa setiap hari belajar dengan sungguh-sungguh, maka kata Heru, UN bukan hambatan bagi mereka. Orang tua yang melihat anaknya setiap hari rajin belajar juga tidak akan resah.
Namun, menurut Heru, para guru punya perspektif berbeda. "Kacamata guru ketika UN ditiadakan, anak santai saja belajar. Tidak terpacu dengan hal-hal yang lainnya. Guru pun ngajarnya santai saja."
Sebelumnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti, menyebut akan fokus menyerap aspirasi dari berbagai pihak selama satu bulan awal masa jabatannya. Menurut dia, penting adanya masukan-masukan untuk jadi bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan mengenai pendidikan, termasuk soal UN.
“Saya belum ada pembahasan tentang ujian nasional. Saya masih akan banyak mendengar sebelum mengambil keputusan strategis,” kata Mu'ti saat ditemui di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 21 Oktober 2024.
Di sisi lain, Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, menilai kembalinya UN atau tidak harus dipertimbangkan dengan fungsi dan tujuannya. “UN itu mungkin kita harus pertimbangkan. Apakah menjadi penentu kelulusan atau sebagai data dan informasi bagaimana peta kondisi pendidikan secara nasional menyeluruh,” kata dia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa, 29 Oktober 2024.
Oyuk Ivani Siagian dan Anastasya Lavenia Y. berkontribusi dalam penulisan artikel ini.