Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Gelegar Gitar van Mojokerto

Sentra industri rumahan ini memproduksi ribuan unit gitar. Konsumennya band profesional lokal hingga mancanegara.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu hari pada November 2006, Ashadi, penduduk Mojokerto, menerima pesanan sebuah gitar akustik dari kakak iparnya. Pria 39 tahun ini menyanggupi permintaan sang kakak yang punya sekolah musik di Jakarta, meski dia sendiri tak punya pengalaman membuat gitar.

Alumnus Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya ini tak kehabisan akal. Dia punya beberapa tetangga perajin gitar yang sedang menganggur akibat diberhentikan dari sebuah pabrik gitar di Mojokerto. Dua pekan kemudian pesanan dikirimkan. Tak dinyana, Ashadi mendapat pujian dari kakaknya.

Seketika pria yang semula menjalankan usaha warung telekomunikasi itu berniat banting setir: menerima pesanan gitar. "Pesanan semakin banyak. Akhirnya saya memproduksi sendiri," ujarnya di bengkel gitarnya yang jembar di Kelurahan Pulorejo, Prajuritkulon, Kota Mojokerto, Senin pekan lalu.

Pada April 2007, Ashadi mulai membuka industri rumahan gitar meski hanya bermodal beberapa puluh juta rupiah. Setahun kemudian pesanan sudah menyodok angka 200 buah per bulan. Sayang, pada 2010 produksinya anjlok akibat serbuan gitar Cina. Di Indonesia, rata-rata harga gitar Cina Rp 450 ribu per buah, sedangkan buatan bengkel Ashadi minimal Rp 600 ribu. Untungnya, Ashadi berhasil mempertahankan bengkelnya dengan lebih memperbanyak penjualan gitar listrik.

Lain lagi kisah Abdul Malik. "Berkah" dari kehilangan pekerjaan dari pabrik gitar adalah dorongan membuka usaha sendiri. Pria 41 tahun yang diberhentikan dari pekerjaannya pada 2009 itu kini berkibar sebagai produsen gitar asal Desa Sumberwaru, Kecamatan Ngoro, Mojokerto. Pesangon Rp 30 juta dipakai sebagai modal awal.

Dia disokong kakaknya, Sutrisno, 49 tahun, yang berteman baik dengan pemilik sebuah pabrik gitar. Maka pasokan sebagian bahan bisa diperoleh Malik dengan lebih mudah. Selain itu, Sutrisno mempekerjakan beberapa pembuat gitar yang ada di Mojokerto.

Seperti Ashadi, Malik lebih banyak memproduksi gitar listrik. Namun dia juga punya kiat lain, yaitu menjual gitar menurut pesanan (custom). Untuk memuaskan pelanggan, Malik tak ragu memesan kayu sampai ke Kanada, yaitu kayu maple, yang harganya US$ 270 per lembar.

Tiap bulan Malik melepas 60-70 neck (pegangan gitar) dan 5-6 gitar menurut pesanan dengan harga Rp 1,7-12 juta—bandingkan, di Eropa, harga gitar custom bisa tembus US$ 2.000 (Rp 20 juta). Di bawah bendera perusahaan Java Guitar Custom Shop, Malik menjual alat musik petik produksinya itu melalui agennya di Malaysia ke Amerika Serikat dan Eropa. Sedangkan Ashadi mengklaim gitar buatannya menjangkau Prancis.

Menurut Jainul Arifin, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Mojokerto, jumlah pabrik dan industri rumahan gitar di wilayahnya lumayan banyak. "Volume produksinya bisa mencapai ribuan unit per bulan," katanya.

Sayangnya—paling tidak menurut Ashadi dan Malik—usaha skala rumahan itu sulit mendapat kucuran modal dari bank, juga rumit memperoleh hak paten. Padahal bisnis ini berprospek jangka panjang, yang menurut Malik membutuhkan pemasaran profesional. Bayangkan, di tangan agen penjual atau tangan kedua, dari harga Rp 5 juta bisa melonjak ke Rp 25 juta per gitar di luar negeri.

Seorang guru musik di Mojokerto menyebutkan pasar gitar pesanan juga semakin besar karena banyak musikus jalur independen—tidak masuk industri—yang ingin memiliki alat musik, termasuk gitar, sesuai dengan karakter mereka. Bahkan, menurut Malik, seorang pemain gitar pengiring Rihanna menggunakan gitar made in Malik.

Nah, angin surga datang dari Harlistyati, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Kota Mojokerto. Dia memastikan pemerintah sangat mendukung industri rumahan gitar. Pemerintah sudah membantu dengan memberikan pinjaman modal Rp 10 juta tanpa bunga dan jaminan. Pinjaman bisa dikembalikan dengan mencicil enam kali.

Pemerintah juga mengadakan aneka pameran berskala lokal hingga nasional. Tapi, kata Harlistyati, karena perajin memproduksi menurut pesanan, persediaan gitar yang dipajang dalam pameran terbatas.

Dwi Arjanto, Agita Sukma Listyanti (Mojokerto)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus