Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Gesper Hermes di Penjara Guntur

KPK menemukan bukti baru korupsi proyek simulator kemudi. Dasar penahanan Inspektur Jenderal Djoko Susilo.

9 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN suara tertahan, Inspektur Jenderal Djoko Susilo mengeluh, "Duh, kok di Guntur...." Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia ini, seperti ditirukan seorang saksi mata, baru saja mendapat kabar keputusan penyidik menahan dirinya. Ia telah dimintai keterangan sejak pukul 10.00, Senin pekan lalu.

Ketika jam di dinding lantai delapan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan pukul 17.00, penyidik benar-benar menyodorkan surat perintah penahanan. Menurut saksi tersebut, Djoko tampak pasrah. Tiga kuasa hukum yang mendampingi alumnus Akademi Kepolisian 1984 ini tidak banyak bicara dan membiarkan klien mereka membacakan surat penahanan itu.

Tak berpikir lama, tersangka perkara korupsi pengadaan simulator kemudi mobil dan motor Rp 196,8 miliar pada 2011 ini membubuhkan tanda tangan. Setelah kesehatannya diperiksa setengah jam di lantai satu gedung yang sama, mantan Gubernur Akademi Kepolisian ini diangkut ke rumah tahanan Polisi Militer Daerah Militer Jakarta Raya, Guntur, Pasar Rumput, Jakarta Selatan.

Keluar dari gedung, sebelum sampai mobil yang membawanya ke Guntur, Djoko menghentikan langkah. Kepada wartawan yang menunggu, dia berkata, "Hari ini saya melalui proses hukum, yaitu penahanan."

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan persetujuan pimpinan atas penahanan Djoko diputuskan pada Senin sore itu. Begitu satuan tugas penyidik perkara ini mengusulkan penahanan disertai argumentasi hukumnya, kata dia, "Semua pimpinan langsung setuju."

Diperiksa yang kedua kali sebagai tersangka, Djoko datang necis. Mengenakan celana hitam, kemeja biru muda, dan jaket cokelat trendi, pinggang jenderal bintang dua ini dililit gesper kulit hitam berkepala logo H—Hermes, merek mode dunia asal Paris. Di situsnya, harga satu ikat pinggang Rp 7,2-11 juta. Cincin berbatu cokelat muda dan jam tangan keren terlihat di tangan jenderal pertama yang menjadi tersangka KPK itu.

Surat panggilan pemeriksaan dilayangkan KPK pada Selasa pekan sebelumnya. Djoko ditemani tiga pengacara, yakni Hotma Sitompoel, Juniver Girsang, dan Tommy Sihotang. Rombongan ini datang dengan Toyota Alphard dan Land Cruiser Cygnus. Tommy Sihotang mengatakan tidak ada persiapan khusus sebelum berangkat. "Kami sudah berulang kali berunding soal ini," katanya. "Pak Djoko tidak perlu briefing."

Seorang yang hadir dalam pemeriksaan mengatakan penyidik mulai menanyakan hal-hal pokok yang berhubungan dengan proyek simulator kemudi, dari perencanaan hingga pelaksanaan. Djoko menjawab secara runtut dan terperinci, termasuk soal tanggung jawabnya sebagai kuasa pengguna anggaran. Proyek ini dibiayai dengan penerimaan negara bukan pajak di Korps Lalu Lintas.

Pada tengah hari, pemeriksaan dihentikan untuk makan siang dan salat. Tommy Sihotang, yang selalu menempel Djoko, menceritakan kejadian unik. Ketika hendak salat zuhur di musala lantai delapan, Djoko berpapasan dengan Komisaris Novel Baswedan, penyidik yang menangani perkara ini. "Dia yang lebih dulu melambaikan tangan," kata Tommy. "Mereka hanya saling menyapa."

Seorang saksi yang melihat peristiwa itu menceritakan versi lain, Djoko lebih dulu menghampiri Novel. Pada saat itu, kata dia, Djoko menyangkal terlibat insiden Jumat malam, 5 Oktober 2012. Ketika itu, beberapa perwira Kepolisian Daerah Bengkulu dan Kepolisian Daerah Metro Jaya datang ke gedung KPK beberapa jam setelah Djoko pertama kali diperiksa. Mereka membawa surat perintah penangkapan Novel, yang dijadikan tersangka kasus penganiayaan berat pada saat masih bertugas di Kepolisian Resor Bengkulu, delapan tahun silam. Ratusan polisi juga mengepung gedung KPK pada malam itu. "Saya tidak tahu apa-apa soal itu, Dik," kata Djoko kepada Novel, ditirukan saksi tersebut.

Belum sempat Novel menjawab, masih kata saksi itu, Djoko mengatakan, "Soal gugatan perdata Korps Lalu Lintas Polri kepada KPK, saya juga tidak tahu." Novel tak menjawab pernyataan itu. Mereka segera masuk musala untuk salat. Kepada dua penyidik yang memeriksanya setelah itu, Djoko mengulangi pembelaannya. Saksi itu menganalisis, sang Jenderal ingin membantah anggapan di balik dua peristiwa yang terkesan sebagai upaya menggagalkan pengusutan kasus simulator.

KPK menyidik perkara korupsi ini sejak akhir Juli, yang ditandai dengan penetapan Djoko sebagai tersangka dan penggeledahan kantor Korps Lalu Lintas Polri. Dugaan penggelembungan harga proyek ini oleh PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, perusahaan rekanan, dijadikan awal pengusutan. Citra Mandiri diduga membeli simulator dari perusahaan lain, Rp 42,8 juta per unit untuk roda dua dan Rp 77,79 juta per unit untuk roda empat. Korps Lalu Lintas membayar kepada Citra Mandiri jauh lebih mahal, Rp 80 juta untuk roda dua dan Rp 256,14 juta untuk roda empat. KPK memperkirakan, negara dirugikan hingga Rp 100 miliar dari penggelembungan ini.

KPK juga menetapkan Wakil Korps Lalu Lintas Brigadir Jenderal Didik Purnomo, Direktur Utama Citra Mandiri Budi Susanto, dan Direktur Utama Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang, sebagai tersangka. Selain menyita dokumen dalam penggeledahan kantor Korps Lalu Lintas dan dua perusahaan swasta, penyidik menemukan bukti lain di kantor PT Adora Integrasi Solusi, perusahaan teknologi informasi subkontraktor proyek: tagihan yang diduga palsu ke Korps Lalu Lintas. Dokumen itu dibuat belakangan untuk memperkecil kerugian negara. "Siapa yang membuat dan di mana dibuat sudah diketahui penyidik," kata sumber.

PT Adora berkantor Jalan Tebet Raya 35 D, Jakarta Selatan. Dalam situsnya, perusahaan ini mengaku sebagai penyedia solusi teknologi informasi. Fokusnya untuk industri-industri besar dan proyek multi­platform. Pertengahan November lalu, penyidik menggeledah kantor ini. Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., memastikan penggeledahan itu terkait dengan penyidikan perkara korupsi simulator kemudi.

Sepekan kemudian, KPK mengumumkan pencegahan terhadap dua anggota direksi Adora, yaitu Vendra Wasnury dan Muhammad Kripsiyanto. Menurut Johan, langkah itu diambil karena mereka akan dimintai keterangan sebagai saksi. "Jika dibutuhkan, jangan sampai mereka berada di luar negeri," katanya.

Selain dengan dokumen Adora, penyidik telah menyiapkan "amunisi" lain untuk menjerat Djoko. Menurut seorang penyidik, penelusuran sejumlah aset yang diduga dimiliki sang Jenderal sejak tiga bulan lalu sudah menemukan hasil. Ada beberapa aset berupa properti, mobil mewah, dan simpanan bank yang terlacak atas nama istri dan orang-orang dekat Djoko. "Ini menjadi dasar pengenaan pasal pencucian uang," kata sumber lain.

Bambang Widjojanto membenarkan penyidik melakukan penelusuran atas sejumlah harta kekayaan Djoko. Pengacara Juniver Girsang meminta KPK berfokus pada kasus korupsi simulator dan tidak merembet ke perkara lain.

Setri Yasra, Febriyan, Ananda Badudu, Muhammad Rizky

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus