Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH berlangsung 7 kali, pemilihan guru teladan nampaknya
akan berganti nama tahun depan. Terutama mengenai predikat
teladan yang kelihatan terlalu "tinggi" untuk suatu kegiatan
pemilihan yang dilakukan secara sepintas, kurang mendalam.
"Penyelenggaraannya akan tetap dilaksanakan tiap tahun. Tentang
nama akan diganti. Bukan teladan. Sekalipun lepas dari peristiwa
pemilihan tersebut pada hakikatnya guru adalan teladan. Sebab
tak banyak orang yang menyukai profesi ini," ulas Prof. Dardji
Darmodihardjo, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
yang mengetuai panitia pemiIihan guru teladan tahun 1978.
Diprakarsai oleh nyonya-nyonya menteri yang tergabung dalam "Ria
Pembangunan," pemilihan guru teladan itu bertujuan meningkatkan
penghargaan terhadap profesi guru. Bagi para pemenang selain
mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai acara di ibukota,
diberikan pula berbagai macam hadiah: terbang ke Jepang dan
percepatan naik pangkat.
Tapi predikat guru "teladan" itu akhirnya memang menimbulkan
perbincangan tertutup ataupun terbuka. Yang mengeritik gelar
"teladan" itu secara terus-terang ialah Moh. Said, tokoh Taman
Siswa yang terkenal itu.
Berikut ini wawancara TEMPO dengan Ketua Pini Sepuh Taman Siswa
itu:
Anda mengritik pemilihan guru teladan? Kenapa?
Untuk guru, mahasiswa atau pelajar, hendaknya hasil seleksi itu
jangan disebut teladan. Kata "teladan" terlampau bagus dan luhur
untuk digunakan begitu saja oleh suatu hasil seleksi yang
sifatnya sekilas. Para calon tidak diamat-amati secara ketat dan
cermat ketika di sekolah, di masyarakat ataupun dalam keluarga.
Guru yang baik bukan hanya guru di kelas, tapi dia adalah juga
anggota masyarakat dan keluarga. Untuk itu diperlukan pengamatan
bertahun-tahun. Yang teladan itu hendaknya dikenal sebagai orang
yang berdedikasi, tidak menyeleweng. Jadi mereka adalah orang
yang kelak bisa digugu dan ditiru.
Siapa saja yang pantas dipilih?
Saya kira hanya orang yang sudah sepuh memiliki perbendaharaan
banyak yang bisa dicatat. Sebab kalau menjadi guru baru 5-10
tahun belum cukup. Tapi kalau sudah jadi guru selama 40 tahun
orang yang demikian sebaiknya dikaji. Kalau toh P & K tetap
menyelenggarakan pemilihan saya lebih senang menyebutnya sebagai
Pemilihan Guru-Guru Yang Beruntung ke Jakarta. Itu saja. Saya
akan lebih tidak setuju lagi kalau para guru "teladan" yang
pernah dipilih itu lalu membentuk korp atau kelompok. Ini akan
mencerminkan sikap eksklusip dan merupakan kesombongan.
Apakah pemilihan guru teladan masih perlu diteruskan?
Boleh saja setiap tanggal 17 Agustus diselenggarakan pemilihan
seperti itu, tapi jangan pakai nama "teladan". Lebih baik
seperti yang saya katakan tadi, guru yang lulus tes dengan angka
baik dan guru yang beruntung pergi ke Jakarta.
Jadi bagaimana sebaiknya pemilihan guru teladan?
Pemilihan itu tidak perlu diselenggakan setiap tahun. Calon guru
teladan yang terpilih jangan banyak-banyak, sebab menjadi
teladan bukan hal gampang. Sebaiknya orang yang telah meninggal
yang dipilih, untuk mencegah kultus individu. Pemilihan guru
itupun hendaknya tidak diselenggarakan sperti memilih Lurah
Teladan. Sebab masih perlu dipertanyakan apakah Lurah yang
terpilih itu adalah Lurah yang bisa mengumpulkan duit banyak?
Sebab barangkali saja Lurah TeIadan itu terlalu kejam pada
rakyatnya.
Bagaimana tehnik pemilihannya saya kira pengalaman P&K cukup
banyak.
Bagaimana dengan kewibawaan guru sekarang?
Kewibawaan seorang guru menurut saya bukan hanya dibentuk oleh
kesejahteraan dan ditunjang oleh finansiil yang baik. Tahun 1950
saya pernah mengajar di PTIK hanya dengan celana pendek, toh
mahasiswa yang calon komisaris itu tetap menghargai saya.
Jadilah guru yang berpakaian pantas, tak usah berlebihan. Kalau
kiyai di pesantren hanya dengan sarung dan baju sederhana bisa
melahirkan santri yang ulet dan disegani, mengapa guru tidak
bisa.
Selama guru tidak mau menerima uang dari anak didiknya, si anak
tetap akan menghormati gurunya. Juga kalau guru tidak lagi
memberikan les kepada murid-muridnya dengan menarik bayaran
uang. Wibawa guru bukan seperti ini: kalau murid naik motor maka
gurunyapun harus naik motor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo