Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAYANGKAN: tanggal 14 Maret mendatang, sore hari, di silang Monas, Jakarta, ratusan ribu orang mengadakan sembahyangan bersama. Dan persis ketika matahari tenggelam, sesajen dionggokkan persis di tengah perempatan: kerbau, ayam, itik, dan sebangsanya, yang sudah dimasak, jemaat besar itu kemudian bubar setelah pendeta membagi-bagikan 'air suci' untuk dipercikkan di rumah masing-masing. Dan esoknya, 15 Maret, Jakarta 100% kota mati. Tak ada orang nampak di jalan -- kecuali polisi atau petugas adat. Tak ada listrik, bahkan api, sejak tengah malam sebelumnya -- baik di rumah penduduk, di jalan, di mana-mana. Dan kecuali di rumah sakit hotel dan lapangan terbang, tak ada aktivitas sama sekali. Mati, mandek total. Penduduk Ibukota, yang boleh dibilang semuanya Hindu, sedang nyepi, puasa amati geni, merenung dan mawas diri. Mereka memasuki tahun baru Icaka 1905. Tidak, tentu saja. Hari Nyepi, yang dengan SK Presiden 19 Januari kemarin ditetapkan sebagai hari libur nasional (bersama Hari Waisak milik umat Budha), tidak akan membawa perubahan untuk Jakarta -- berbeda dengan Bali tentu. Kecuali, yah, libur -- untuk semua kantor pemerintah, semua sekolah dan perguruan tinggi Departemen P & K maupun Departemen Agama. Kecuali swasta yang sama sekali lepas dari kedua instansi itu, tergantung mau mereka sendiri. Memang bisa terasa "mubazir" -- dari segi produksi. Umat Hindu 'kan hanya di Bali? Padahal tidak. Walau entah berapa ribu atau ratus, atau orang-seorang, penduduk kelahiran Bali yang menetap di daerah-daerah non-Hindu (terbanyak misalnya di Lampung) memang mengalami kesukaran dengan tidak diliburkannya Hari Nyepi. Mereka yang bekerja di satu perusahaan, misalnya, kadang kurang dimengerti bila minta izin tidak masuk untuk melaksanakan amati geni itu. Setidaknya begitulah yang dituturkan drg. Willy Pradnyasurya, Sekditjen Hindu-Budha Departemen Agama. Bahkan banyak dari orang Hindu sendiri yang lupa dan waktu teringat, sudah terlambat, seperti dituturkan Tjokorda Rai Sudharta MA, anggota DPR dari F-KP. Toh arti penting sebuah hari libur pertama kali agaknya lamban. Natal, misalnya, tak dihayati umat-umat lain yang jauh lebih besar jumlahnya. Toh libur semua. Karena itu, seperti dikatakan Willy: "Jumlah umat Hindu dan Katolik itu hampir sama." Hindu 4.988.461, Katolik 4.335.575 -- sensus nasional terakhir. "Mengapa Hindu tak punya hari libur?", tanyanya. Memang, Natal juga milik Kristen Protestan (8.505.696 orang). Tapi bukankah umat Kristus itu masih memiliki dua libur lagi: Wafat Isa Almasih, dan Paskah? Sementara itu Islam (128.462.176) punya libur dua hari untuk Idulfitri, dan masing-masing sehari untuk Idul Adha, Tahun Baru Hijri, dan Maulud Nabi. Dan kini Budha pula (1.131.991). Yah, betapapun, menurut Senosoenoto, Sekjen Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi), dengan SK Presiden No. 3/ 1983 itu "kelima agama sudah memiliki kesamaan hak." Barangkali memang itu soalnya. Dan hak besar bagi agama sebenarnya tercermin dalam penentuan hari libur yang selama ini kita pakai. Dari jumlah 12 hari tak kerja itu, ternyata hanya dua yang bukan merupakan pemenuhan 'hak' agama. Yakni Hari Proklamasi dan Tahun Baru Masehi. Adakah ini bukti bangsa Indonesia religius? Atau konsekuensi Pancasila? Setidaknya 'wibawa' agama memang kelihatan dari situ. Pertama kali wibawa Islam, dengan sendirinya. Kemudian Kristen dan Katolil. Tetapi, bila hari libur untuk dua yang terakhir itu sudah ada sejak sebelum Kemerdekaan, yang benar-benar khas sebagai 'hadiah Pancasila' memang liburan Nyepi dan Waisak itu. Setidaknya liburan Nyepi misalnya baru diusulkan di zaman Orde Lama, seperti dikatakan Willy yang juga salah seorang ketua Parisadha Hindu Dharma (PHD) Pusat -- sementara liburan Islam sudah ditetapkan sejak Kemerdekaan. Waisak sendiri, sebagai upacara, malah baru mulai diadakan di tanah air sejak 1952, oleh Perkumpulan Theosofi Indonesia dan Sam Ko. "Waktu itu umat Budha masih bercerai-berai dan tak ada organisasinya," kata Drs. Oka Diputhera, Direktur Agama Budha Departemen Agama. Di zaman penjajahan agama itu cenderung dianggap sudah tak ada atau paling-paling disangka hanya salah satu "aliran Cina". Kebangkitan Budhisme sebagai agama memang boleh dibilang baru tahun 1955: dinobatkannya biksu pertama, The Boan An, menjadi Bikkhu Ashin Jinarakkhita Thera. Dan setahun kemudian dimulailah usaha menjadikan Waisak hari libur, lewat beberapa resolusi -- terakhir 1979. Dan mereka berhasil. Tak heran bila mereka, bersama umat Hindu Dharma berterima kasih kepada pemerintah: Presiden dan Menteri Agama. "Meskipun kami minoritas, terasa sekali arah pembinaan agama yang tidak pilih-pilih," kata Soemantri M.S., Ketua Umum Walubi. Patut dirayakan, memang. Apalagi, untuk umat Budha, dengan selesainya pemugaran Borobudur -- yang menurut angan-angan Oka Diputhera "mungkin akan menjadi Mekahnya agama Budha." Perayaan Waisak (hari kelahiran Siddharta, hari penerangannya menjadi Budha dan hari wafatnya) tahun ini juga akan dipusatkan di sana -- 27 Mei pukul 01.49, saat purnama membulat sempurna. Dan bagaimana dengan Nyepi? Masih belum pasti, kata mereka. Barangkali upacara yadnya (sesaji) dan sembahyangan akan tetap dilakukan pinggiran Pura Aditya Jaya, Rawamangun -- untuk daerah Jakarta -- seperti selama ini. Pernah memang, di tahun 1981, pihak PHD mengajukau usul kepada Pemda DKI untuk dibolehkan mengadakan sembahyangan itu di perempatan Monas. Tapi Kodak Metro keberatan, mengingat gangguan kelancaran lalu-lintas. Dan mereka pun rela, tentunya. Lalu menyepi sendiri. Maklum, di luar mereka dunia memang tak sepi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo