Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hak anak muda pilih golput?

Hak pilih para calon pemilih dalam pemilu. kaum golput unjuk diri di yogyakarta. hasil observasi tempo tentang golput. beberapa pesantren yang menyatakan netral. program dari para kontestan.

30 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEGAP-GEMPITA kampanye pemilu semakin marak. Orang desa, tua-muda, tampak ceria dengan kaus seragam hijau, kuning, atau merah, ramai-ramai mendatangi lapangan kampanye. Mereka bisa ketawa melambaikan bendera dan mengacungkan jari sesuai dengan simbol kontestan yang didukungnya. Di kota-kota lebih semarak lagi. Anak-anak muda mempunyai kesempatan mejeng di atas mobil, truk atau sepeda motor. Mereka mempunyai kesempatan berhura-hura, menjalin setia kawan, tanpa ada batas-batas status sosial-ekonomi atau tembok rumah. Mereka menjadi sama karena seragam atribut partai politik atau Golkar yang mereka dukung. Kampanye, bagi masyarakat yang tak mau terlibat langsung, juga menjadi tontonan yang mengasyikkan di pinggir jalan. Kampanye telah menjadi "hiburan" nasional lima tahun sekali. Namun, di balik riang gembira itu semua, sebenarnya terkandung hal yang lebih mendasar dalam kehidupan bernegara. Kegembiraan merupakan modal dasar seseorang untuk memutuskan memberikan haknya kepada mereka yang dipercaya. Tanpa suasana terbuka dan gembira, kiranya sulit bagi masyarakat memutuskan kepada siapa mereka mesti memberikan kepercayaan. Kekhawatiran itulah yang tercermin dalam "Kejadian Yogya" pekan lalu. Lembaran kegembiraan yang baru dibuka beberapa hari tibatiba mesti ditutup dengan turunnya berbagai pembatasan untuk bisa menikmati kegembiraan dalam kampanye. Mereka tak boleh beraksi di jalan dengan sepeda motor, tak bebas lagi mengenakan atribut-atribut hijau-kuning-merah yang menjalin kesetiakawanan dan menjadi kebanggaannya. Mereka sempat "meratapi dan berduka" atas berakhirnya suasana kebebasan dan keterbukaan. Ini yang mereka simbolkan dengan keranda dan kematian "bayi demokrasi". Bahwa kemudian ada aksi golput, itu merupakan ungkapan sikap yang sebelumnya sudah lama terpendam. Kecuali, menurut sejumlah pengamat, ada rasa skeptis dan apatis terhadap situasi politik, "Kejadian Yogya" itu tampaknya memang menjadi pelatuk untuk memunculkan sikap golput yang sudah lama tersimpan. Berbagai alasan memang dikemukakan. Mulai dari tak puas dengan sistem pemilu, penampilan peserta pemilu, sampai ke sistem politik yang ada. Petunjuk bahwa di kalangan orang muda terpelajar di kota-kota besar sudah terpendam sikap untuk bergolput itu sebenarnya sudah kami coba untuk direkam beberapa hari sebelum kampanye dibuka. Kami mencoba memonitor enam kota besar dengan mewawancarai kelompok muda dan terpelajar itu sebelum mereka terhanyut oleh ingar-bingar kampanye. Di kalangan kaum muda kota dan terpelajar -- tentu saja ini belum sepenuhnya mencerminkan angka nasional kami temukan sekitar 16,8% yang berniat tak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti. Berbagai alasan memang mereka berikan. Sebagian besar menyatakan tak percaya untuk menyerahkan haknya kepada ketiga kontestan yang hanya menyapa mereka menjelang pemilu. Di samping itu, ada pula yang merasa bahwa tak memberikan suara merupakan hak bebas seseorang, sama seperti mereka yang menggunakan haknya. Sebenarnya, dalam pengalaman empat kali pemilu, angka golput atau suara yang tak sah rata-rata di bawah 10%, suatu angka yang sangat kecil dibadingkan dengan pemilu di negara maju yang sudah demokratis sekalipun. Dan dalam pemilu yang akan datang pun kiranya tak bakal bertaut jauh dengan angka pemilu sebelumnya. Sebab, dalam gerakan-gerakan golput seperti yang selama ini telah tercetus di berbagai tempat, termasuk di "Kejadian Yogya" itu, terkandung dua bentuk. Yang pertama adalah golput dalam pengertian tak akan memberikan suara. Ini yang akan berpengaruh pada persentase suara tak sah dalam perhitungan hasil pemilu nanti. Yang kedua adalah golput sebagai sekadar cerminan rasa tak puas dengan keadaan. Kelompok ini belum tentu enggan datang ke tempat pemungutan suara. Bisa jadi, kelompok ini tetap datang ke bilik pencoblosan dan memberikan suaranya. Itu sebabnya, soal golput kiranya sekadar menjadi bungabunga dalam pemilu seperti sebelumnya. Yang mungkin dipikirkan sebenarnya justru makna pemilu itu sendiri. Pemilu bukan cuma penggelaran massa dalam kampanye. Juga bukan hanya penghitungan suara yang diperoleh dari coblosan. Atau diumumkannya calon anggota legislatif yang mendapat jatah. Pemilu kiranya akan dirasakan menjadi milik seluruh rakyat bila segenap pemilih sadar dan tahu persis siapa yang akan mereka beri kepercayaan berupa hak-hak bernegara. Pemilu bukan semata kewajiban bagi rakyat untuk datang ke tempat pemungutan suara, tapi merupakan pemberian hak dalam kehidupan demokratis. Untuk itu, pemilih akan lebih srek dalam memberikan haknya bila tahu persis siapa yang dipilih untuk melaksanakan hak itu. Mereka bukan sekadar memilih simbol-simbolnya, tapi memilih apa yang disimbolkan. A. Margana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus