Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hak Politik Perempuan Tergerus Regulasi KPU

Aturan KPU ihwal penghitungan afirmasi keterwakilan perempuan bakal menggerus hak politik perempuan. Mengapa?

17 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kajian koalisi untuk pendaftaran bakal caleg di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak ada satu pun partai yang bisa memenuhi afirmasi keterwakilan perempuan minimal 30 persen.

  • KPU menyelipkan regulasi penghitungan pembulatan ke bawah dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR dan DPRD.

  • Perempuan sepatutnya tersinggung dengan Peraturan KPU. 

JAKARTA – Kekhawatiran Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan perihal tidak terpenuhinya kuota perempuan sebagai calon legislator dalam pemilihan umum tampaknya terbukti. Aturan baru penghitungan afirmasi keterwakilan perempuan yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) ditengarai bakal menggerus hak politik kaum hawa maju sebagai bakal calon legislator atau caleg.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kajian Koalisi menemukan seluruh partai bakal tidak memenuhi syarat pencalonan jika penghitungan batas minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD tidak diubah. ”Dugaan kami dari awal terbukti bahwa aturan baru KPU ini dibuat dengan sengaja untuk menghilangkan hak konstitusional perempuan menjadi bakal caleg,” ujar anggota Koalisi, Hadar Nafis Gumay, pada Rabu, 16 Agustus 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Hadar, kajian Koalisi menemukan, untuk pendaftaran bakal caleg di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tidak ada satu partai pun yang bisa memenuhi afirmasi keterwakilan perempuan minimal 30 persen di seluruh daerah pemilihan (dapil). Padahal, merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, setiap dapil harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Kader PDI Perjuangan (PDIP) melakukan pawai menuju kantor Komisi Pemilihan Umum untuk menyerahkan daftar caleg di Jakarta, 11 Mei 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Merujuk pada laman Informasipemilu.go.id, kuota keterwakilan perempuan di 860 dapil untuk pemilihan caleg DPRD provinsi dan 8.821 dapil untuk DPRD kabupaten/kota kurang dari 30 persen. Kendati begitu, partai yang mendaftar dengan jumlah bakal caleg perempuan kurang dari 30 persen tetap bisa melenggang dalam Pemilu 2024.

Musababnya, KPU menyelipkan regulasi penghitungan pembulatan ke bawah dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Padahal aturan dalam dua pemilu sebelumnya menyebutkan penghitungan afirmasi keterwakilan perempuan itu menggunakan metode pembulatan ke atas, berapa pun pecahan desimal di belakang koma.

Akibatnya, peraturan baru itu membuat keterwakilan perempuan di dapil dengan alokasi kursi sebanyak 4, 7, 8, dan 11 bakal tergerus. Penghitungan kuota 30 persen di dapil dengan alokasi 8 kursi, misalnya, akan menghasilkan angka 2,4 kursi sehingga partai hanya dapat mendaftarkan dua caleg perempuan di dapil tersebut. Jumlah dua caleg perempuan sebetulnya hanya 20 persen dari alokasi 8 kursi. ”Dengan aturan baru KPU itu artinya calon perempuan telah kehilangan kesempatannya hanya karena ada pembatasan aturan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemilu,” ujar Hadar.

Hadar menuturkan, munculnya aturan tersebut juga janggal. Sebab, draf Rancangan Peraturan KPU tentang pencalonan yang dibahas dalam uji publik pada 8 Maret lalu masih memuat penghitungan pembulatan ke atas. Tapi, setelah regulasi baru itu ditetapkan pada April lalu, KPU menambah aturan penghitungan menjadi pembulatan ke bawah. Aturan penghitungan itu tertuang dalam Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023.

Setelah regulasi itu diterbitkan, para pegiat pemilu dan demokrasi mengajukan protes ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Mereka mendesak Bawaslu meminta KPU merevisi aturan baru tersebut karena dianggap merugikan hak politik perempuan di parlemen. Tiga penyelenggara pemilu akhirnya merespons desakan itu dengan menggelar rapat tripartit antara KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Pada 10 Mei lalu, tiga penyelenggara pemilu tersebut menggelar konferensi pers. Mereka menyampaikan secara terbuka bakal merevisi Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Tapi, sebelum merevisi regulasi tersebut, KPU akan menggelar rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR. Rencana untuk merevisi Pasal 8 Peraturan KPU tentang pencalonan anggota DPR dan DPRD itu buyar setelah penyelenggara pemilu rapat dengan Komisi Pemerintahan DPR tersebut.

Seluruh fraksi di Komisi II DPR kompak meminta KPU tidak merevisi regulasi soal penghitungan kuota perempuan yang baru. “Komisi II DPR meminta KPU tetap konsisten melaksanakan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023,” kata Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR, dalam rapat dengar pendapat itu.

Hadar menyesalkan sikap KPU yang tunduk pada kemauan partai sehingga membatalkan revisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang tidak memiliki keberpihakan terhadap kepentingan politik perempuan. Padahal, kata dia, dalam membuat keputusan atau menetapkan suatu peraturan, KPU telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar dan ditegaskan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016. “Kami menilai KPU tunduk pada permintaan partai,” ujarnya. “Padahal KPU mempunyai kewenangan membuat regulasi secara mandiri.”

Menurut Hadar, patut diduga KPU melanggar kode etik penyelenggara pemilu karena tidak bisa menjaga independensinya dalam membuat regulasi sehingga berpotensi merugikan hak politik perempuan. Atas dugaan pelanggaran tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil pada Selasa lalu mengadukan seluruh komisioner KPU ke DKPP. “Total ada lima pengadu, termasuk saya,” ujar komisioner KPU periode 2012-2017 itu.

Sejumlah kader Partai Gerinda mendatangi gedung Komisi Pemilihan Umum saat pendaftaranbacaleg DPR, Jakarta, 13 Mei 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna

Daerah yang Terimbas Regulasi KPU

Salah satu contoh daerah yang terimbas aturan tersebut ada di dapil IV di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dari 18 partai peserta pemilu, sebanyak 12 partai mendaftarkan caleg perempuan kurang dari 30 persen. Partai tersebut adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), NasDem, Gelora, Hanura, Partai Amanat Nasional (PAN), Persatuan Bulan Bintang (PBB), Demokrat, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Ummat. “Partai-partai itu hanya menempatkan dua bakal caleg perempuan, yang artinya hanya 28,6 persen,” ujar kuasa hukum Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan, Fadli Ramadhanil.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua PKB Kabupaten Bogor, Hendra Ningrat, menegaskan, partainya telah memenuhi syarat untuk mendaftarkan bakal caleg perempuan di dapil tersebut. KPU pun telah menyatakan PKB di Kabupaten Bogor memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu di dapil IV Bogor. “Kalau belum memenuhi syarat, tentu kami dinyatakan TMS atau tidak memenuhi syarat.”

Berbeda dengan Kabupaten Bogor. Di Depok hanya ada satu partai yang mendaftarkan bakal caleg perempuan kurang dari 30 persen, yakni Partai Demokrat di dapil V Depok yang memiliki alokasi 11 kursi. Di daerah pemilihan tersebut, Demokrat hanya menempatkan tiga bakal caleg perempuan dalam daftar pemilihan untuk wilayah Cilodong-Tapos itu.

Ketua Demokrat Depok, Edy Sitorus, mengatakan tidak mudah menjaring caleg perempuan untuk mau maju menjadi legislator. “Tapi secara akumulasi keterwakilan perempuan yang menjadi bakal caleg dari Partai Demokrat telah mencapai 36 persen di Depok,” ucapnya.

Perempuan Sepatutnya Tersinggung oleh Peraturan KPU 

Manajer Komunikasi International NGO Forum on Indonesian Development, Intan Bedisa, mengatakan perempuan di Indonesia sudah sepatutnya tersinggung oleh Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10/2023 itu. Sebab, Intan menilai peraturan tersebut mencerabut hak berpolitik perempuan Indonesia. ”Kita semua tahu bahwa ‘ongkos’ perempuan untuk berpolitik sudah mahal, bukan hanya materi, tapi juga segala dampak budaya patriarki yang mengungkung perempuan untuk berpolitik," ujarnya.

Kondisi tersebut kini diperparah oleh peraturan pencalonan yang tidak mengakomodasi, bahkan memangkas, hak politik perempuan untuk maju menjadi caleg. Intan mengatakan Undang-Undang Pemilu mensyaratkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan. Tapi, faktanya, hingga kini secara nasional keterpilihan dan keterwakilan perempuan tidak pernah mencapai 30 persen.

”Bagaimana bisa mencapai amanat Undang-Undang Pemilu jika proses pencalonannya saja sekarang memangkas hak perempuan untuk maju jadi caleg?” ujar Intan. ”Seluruh perempuan Indonesia sudah sepatutnya geram terhadap peraturan ini. Jangan-jangan mereka yang tidak geram terhadap regulasi ini sebetulnya tidak pernah tahu soal peraturan ini.”

Dihubungi secara terpisah, Ketua DKPP Heddy Lugito mengatakan telah menerima aduan dari Koalisi Masyarakat Sipil dan sedang memprosesnya. Menurut dia, DKPP memang telah menyarankan KPU untuk merevisi aturan tersebut karena berpotensi mengurangi hak politik perempuan. “DKPP bersurat kepada KPU dengan tembusan kepada Komisi II DPR. Isinya, mendukung KPU merevisi Peraturan KPU,” ucapnya.

Adapun Komisioner KPU, Idham Holik, mengatakan awalnya KPU akan merevisi regulasi yang dipermasalahkan itu. Namun, sebelum merevisi, KPU lebih dulu berkonsultasi dengan DPR, seperti yang diamanatkan Pasal 75 ayat 4 Undang-Undang Pemilu. Setelah berkonsultasi, kata Idham, KPU diminta tetap menggunakan pendekatan pembulatan matematika yang standar.

Aturan tersebut, kata dia, memberi kesempatan kepada KPU menggunakan math rounding method atau metode pembulatan matematis yang merupakan metode ilmiah. Adapun metode tersebut adalah, jika angka desimal di belakang koma nilainya di bawah 50, dibulatkan ke bawah. Sedangkan angka desimal di belakang koma di atas 50 dibulatkan ke atas.

Menunggu Putusan Uji Materi di Mahkamah Agung

Sebelum melaporkan ke DKPP, Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan uji materi terhadap Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung (MA). Permohonan uji materi itu telah diregistrasi MA dengan nomor perkara 24P/HUM/2023 pada 13 Juni 2023. Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan, Titi Anggraini, berharap MA bisa segera mengeluarkan putusan atas uji materi yang mereka ajukan. “Sebab, sudah semakin dekat dengan proses pelaksanaan tahapan pemilu yang semakin krusial untuk pendaftaran dan penetapan calon,” ujarnya. Pasal 76 ayat 4 Undang-Undang Pemilu, kata dia, menyebutkan MA mesti memutuskan uji materi atau sengketa terhadap Peraturan KPU paling lama 30 hari kerja sejak permohonan diterima. Koalisi berharap permohonan uji materi tersebut diputuskan sebelum penetapan daftar calon sementara pada 18 Agustus mendatang.

Menurut Titi, kepastian hukum atas putusan uji materi itu dibutuhkan agar ada pelindungan hukum yang nyata terhadap pencalonan keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024. Semakin cepat MA memutuskan, adaptasi sejumlah partai dan mereka yang terlibat dalam kontestasi Pemilu 2024 juga semakin cepat dalam merespons putusan tersebut. “Kalau waktunya mepet, KPU dan partai berpotensi mengabaikan putusan tersebut dengan alasan tidak bisa dilaksanakan secara teknis,” ujar dosen hukum kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Sementara itu, Idham Holik menyatakan menghormati proses hukum yang diajukan Koalisi di MA. Dia menjelaskan, jika ada peraturan teknis KPU yang diduga melanggar undang-undang, berlaku Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni melalui proses judicial review. “Mari kita hormati proses hukum tersebut dan kita nantikan MA membacakan putusannya,” ujarnya.

Dihubungi secara terpisah, juru bicara MA, Agung Suharto, mengatakan permohonan uji materi tersebut masih berproses. Penetapan dan pembacaan putusan masih menunggu jadwal dari majelis hakim di MA. “Informasinya, perkara itu belum putus. Nanti saya cek dulu melalui sistem informasi data,” ujarnya.

IMAM HAMDI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus