Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hari-Hari Perpisahan Seorang...

Gubernur mohammad noer berhasil menaikkan pendapatan per kapita penduduk jawa timur. Masalah pertambahan penduduk & penanggulangan banjir bengawan solo masih tertinggal. sektor industri meningkat.(dh)

13 Desember 1975 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMBUT Mohammad Noer semakin rata memutih. Kalau berjalan, langkahnya pun terlihat semakin berat. Kata orang Gubernur Jawa Timur ini semakin tua. Dan memang. Kata orang dia sekarang kurang gesit. Mungkin juga demikian. Tetapi suaranya tetap lantang. Hari-harinya semakin banyak dia habiskan menyelusuri pelosok-pelosok Jawa Timur. Mungkin karena sadar benar, masih terlalu banyak yang harus diperbuatnya bagi propinsi ini dalam keterbatasannya sebagai seorang pejabat, sebagai manusia. Mungkin pula karena hari-hari belakangan ini adalah saat-saat terakhir masa jabatannya, sehingga dia juga ingin melihat kembali apa yang telah dilakukan selama ini. Jawa Timur adalah propinsi yang pertama kali mendapat penghargaan Para Samya Purna Karya Nugraha, sebuah lambang suksesnya pembangunan. Jawa Timur sebuah propinsi yang sering dinilai sebagai daerah paling cepat membangunkan penduduknya dari kekusutan sosial ekonomi, tetapi juga paling akhir menyimpan pengacauan sisa-sisa PKI. Di sini berpusat pesantren-pesantren terkenal dan masyarakat Muslim yang kuat, tapi di sini pula kaum komunis pernah mencoba bergerilya. Dan propinsi ini cukup sering mengundang pertanyaan: ada apa sebenarnya. Tak ada yang aneh di Jawa Timur. Bengawan Solo dan Ki Brantas tetap mengirimkan banjir secara rutin setiap tahun. Kerusakan-kerusakan yang diakibatkannya hampir tak mendelikkan mata pembaca surat-surat kabar lagi. Manusiakah itu, padi yang sedang menguning, kambing atau langgar. Gunung Kelud masih tetap menggoda dalam mimpi setiap penduduk sekitarnya: kapan meletup lagi dan memuntahkan sekian juta m3 lahar maupun pasir di kawasannya--lalu mendangkalkan Kali Brantas. Tetapi jumlah penduduk yang 27,4 juta di propinsi ini tetap merupakan angka yang kurang sedap. Bahkan makin mencemaskan dari tahun ke tahun. "Semua problem yang ada di sini selalu berkaitan dengan jumlah penduduk yang padat", tutur Mohammad Noer dan Trimaryono SH (Sekretaris Daerah Jawa Timur) dalam kalimat yang hampir persis bersamaan. Kecemasan itu bukan saja lantaran pertambahan jiwa tadi mencapai angka ~2,48~% setahun -dan menjadi 1,7% setahun jika Keluarga Berencana sudah merata -- namun juga karena wilaya~h propinsi ini yang 48 ribu kmÿFD itu ternyata jauh berbeda dengan telor dadar. Tak dapat dilebar-lebarkan lagi menurut si empunya mau. Apa boleh buat. Tetapi apapun agaknya harus diperbuat apabila dihitung-hitung lagi bahwa sebagian besar -- sekitar 80% di antara sekian juta penduduk itu berada di pedesaan. Alias sebagai petani atau buruh tani. Bertani di atas tanahnya sendiri atau tersuruk-suruk dan menjadi hitam legam tersembur sinar matahari di tanah orang lain, hanya untuk mendapatkan upah. Hanya di sini benang kusut sesungguhnya belum terlihat. Sekarang begini. Dari angka-angka tadi akan mulai tampak bahwa seorang petani - dengan seorang isteri dan 3 anak-- rata-rata hanya memiliki 1/4 atau 1/3 hektar tanah belaka. Apakah artinya ini? Tentu para petani tak mampu memberi jawaban. Namun yang pasti mereka merasakan: bahwa belum lagi keringat mengucur benar, pekerjaan di sawah atau di ladang telah rampung. "Hanya 30% waktu para petani dipergunakan untuk aktifitas pertanian", kata Mohammad Noer. Makna lebih penting lagi dari ini tentulah: dengan areal sesempit itu keluarga pak tani belum dapat mengenyam hasil yang memadai. Tentu mudah ditebak akibatnya. "Tak sedikit anak petani yang terpaksa putus sekolah", ucap Mohammad Noer pula. Dalam keadaan ketika orang sibuk mengejar target produksi, dan tidak langsung memperhatikan kepentingan produsennya, nasib buruh petani itu tak selamanya diingat. Apalagi seperti dikatakan Noer: "Jawa Timur mampu mengadakan minimal 50% beras untuk persediaan (stock) nasional di samping secara langsung mensuplai daerah-daerah luar Jawa". Dan rupanya Gubernur Jawa Timur ini memang benar. Karena di samping BUUD-BUUD di kawasan propinsi ini cukup gigih mengumpulkan gabah --meskipun pernah menghebohkan itu -- rupanya faktor komposisi pangan di wilayah ini banyak memberi sumbangan bagi persediaan beras secara nasional. Seperti diungkapkan Mohammad Noer--yang sering dipanggil penduduk dengan cak Noer saja - di Jawa Timur terdapat 35 penduduk yang memamah jagung dan sekitar 15% yang memakan gaplek. Adapun mereka ini juga terdiri dari petani-petani yang menanam padi dengan maksud semata-mata untuk menjualnya. Beruntung bahwa dalam tahun-tahun belakangan ini sebagian petani sudah mampu memanfaatkan waktu mereka dari 30% untuk bertani tadi--dalam bentuk penggalakan industri kerajinan rumah tangga. Dan macam-macam hasilnya. Baik yang bernama bambu maupun kayu jati tersebar di pasar-pasar. Bahkan pokok-pokok pohon kelapa dari Banyuwangi dengan anehnya telah berubah ujud menjadi kursi-kursi tamu di rumah-rumah mewah kota Surabaya. Selain itu, sistim pertanian tumpang sari akhir-akhir ini mulai menyebar di beberapa wilayah sebagai salah satu upaya untuk memadatkan isi periuk para petani. "Tetapi semua itu hanya usaha temporer untuk mengurangi kepadatan penduduk", ujar Gubernur Mohammad Noer. Dengan kalimat ini tampaknya dia hendak menjelaskan, bahwa bagaimana pun juga transmigrasi merupakan pemecahan utama untuk itu. Tetapi dengan sangat menyesal diakuinya, bahwa pelaksanaan transmigrasi di propinsinya selama ini masih berjalan jauh dari harapan. Dicontohkannya: "pertambahan penduduk Jawa Timur 500 ribu rata-rata setahun, tetapi transmigrasi yang dapat dilaksanakan hanya 25 ribu rata-rata setiap tahun". Agaknya kesulitannya masih terletak pada keengganan penduduk kawasan ini untuk berpindah. "Dan dengan segala usaha saya sudah membujuk-bujuk mereka, sedikit yang berhasil", ungkap cak Noer, "sedang kalau mereka dipaksa akan beerakibat lebih parah". Masalah kebanjiran penduduk ini agaknya memang menyita hampir seluruh fikiran Mohammad Noer. Hampir pada setiap kesempatan ia mengingatkan hal ini kepada bawahannya untuk mencari akal pemecahan. Dan kepada penduduk di pelosok-pelosok seperti tak jemu dianjurkannya agar bertransmigrasi. Sebab katanya, Jer Besuki Mawa Bea" kalimat yang tertera di bawah lambang Jawa Timur itu--yang berarti: Kebahagiaan dan keselamatan memenuhi. pengorbanan. "Tetapi mereka masih lebih senang berdesak-desakan di Jawa Timur ini, menjadi buruh di sawah tetangganya pun jadi". keluhnya. Nomor Dua Menarik tenaga kerja sebanyak itu ke dalam sektor-sektor industri agaknya juga tidak sepesat harapan Mohammad Noer. Di luar kepala dia hafal jumlah industri kecil, industri sedang dan besar berikut buruh masing-masing. Dari semuanya tercatat jumlah 14.076 buah dengan buruh kurang dari 400 ribu. Ini tentu masih belum sepadan dengan pendapat para usahawan bahwa Jawa Timur (terutama Surabaya) akan menjadi daerah industri nomor dua setelah Jakarta. Menurut Mohammad Noer dalam bidang ini ketinggalan Surabaya dari Jakarta terutama karena Ibukota Negara iui mempunyai fasilitas administratif belaka. "Lebih dari itu sebenarnya Jawa Timur menang katanya dengan bangga. "Di sini kita punya pelabuhan, Surabaya, fasilitas yang serba cukup, buruh dan harga tanah relatif masih jauh lebih murah". Secara terang-terangan Gubernur Jawa Timur ini menantang para pengusaha untuk berniaga di wilayah nya. "Pasti untung, sebab pasaran Indonesia bagian timur cukup luas", tambahnya sambil tertawa. Sebegitu jauh tampaknya penggalakan industri--terutama yang banyak memakai tenaga kerja, seperti diharapkan cak Noer - merupakan langkah dekat untuk keluar dari kemubaziran penduduk ini. Tetapi upaya untuk lepas dari kesulitan yang kait berkait ini cukup melahirkan renungan-renungan ke dalam kepalanya. Misalnya dia juga selalu berfikir untuk menyetop banjir yang berasal dari Bengawan Solo maupun kali Brantas. "Coba bayangkan berapa ratus juta setiap tahunnya kerugian karena banjir ini". keluhnya. lebih-lebih, lagi tanah jawa Timur yang memang tak luas itu, semakin dipersempit lagi oleh genangan-genangan air sehingga tak mungkin dimanfaatkan. Bagi Mohammad Noer hal itu sesungguhnya dapat menolong sekian ribu petani yang tak punya tanah. Dengan mata yang tercenung, Gubernur berambut putih ini menyebut kawasan Kabupaten Bojonegoro yang terkenal selalu parah ditimpa banjir dan minus. "Kalau masalah banjir ini dapat diatasi, Bojonegoro akan berobah wajah dengan cepat", katanya, "akan menjadi aerah yang punya hari depan amat cerah". Bahkan tak lama lagi di sini akan berdiri pabrik gula di samping kemungkinan adanya pabrik semen. "Tetapi semuanya masih terhalang oleh gangguan banjir", tambahnya. Memang diakuinya tak mudah menghindari bahaya itu, "bahkan Daendles ketika membuat jalan dari Anyer ke Banyuwangi tak mampu mendirikan jembatan melintas Bengawan Solo, baru sekarang ada jembatan setelah kita mulai ada usaha mengendalikan banjir". Yang dikehendaki Mohammad Noer ialah bagaimana agar proses pencegahan banjir itu dipercepat, disamping usaha-usaha yang sudah ada tepi belum memadai selama ini. "Saya ingin agar dam-dam cepat dapat didirikan, agar benar-banar dapat mengatur air baik dimusim hujan maupun kemarau. Sekarang coba lihat Bengawan Solo. Seperti kata nyanyian di musim kemarau kita dapat main bal-balan (sepak bola). Tetapi di musim penghujan jangan coba-coba dekat. Ini yang membuat saya tak sabar agar cepat-cepat diatasi". Kabarnya masalah banjir-di samping soal penduduk--bakal memakan- makanan yang tak sedikit dari Memoar yang sedang disusun Mohammad Noer. Tidak saja karena keduanya amat erat berpautan, juga karena dengan menguasai urusan-urusan ini akan Sama halnya dengan lepas dari masalah pokok yang masih mengganjel hidup penduduk propinsi ini. Namun sebaliknya, meninggalkan kedua soal itu di akhir masa jabatannya tampaknya tak cukup alasan bagi Haji Mohammad Noer untuk merasa tercela -- seperti yang dikhawatirkannya (lihat box). Teramat sulit untuk menilai apa-apa yang telah berhasil dia lakukan selama masa jabatannya sebagai Kepala Daerah. Namun dengan mudah dapat diakui bahwa dia telah cukup banyak berbuat agar rakyat Jawa Timur lebih banyak bertindak. Atau kalau rajin merenungi angka-angka, dengan kenaikan pendapatan perkapita penduduk Jawa Timur dari Rp 18.600 pada saat memasuki Pelita I menjadi Rp 33.000 di akhir Pelita I, tak sulit untuk dikatakan bahwa penduduk di sini sudah dibawa ke jenjang hidup lebih ke atas dari sebelunmya. Tentu saja masalah meratanya hasil pembangunan belum terlihat di situ, apalagi dengan kenyataan begitu banyak petani yang tanpa tanah. Tapi mungkin benar kata-kata seorang tokoh Jawa Timur di Jakarta: "Mohammad Noer telah menuntun rakyat Jawa Timur ke arah jalanan, menuju jer besuki mawa bea". Dan ini tentu terlepas dari sisa-sisa masalah yang masih tertinggal -- dan diakui Mohammad Noer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus