Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAMBUT Mohammad Noer semakin rata memutih. Kalau berjalan,
langkahnya pun terlihat semakin berat. Kata orang Gubernur Jawa
Timur ini semakin tua. Dan memang. Kata orang dia sekarang
kurang gesit. Mungkin juga demikian. Tetapi suaranya tetap
lantang. Hari-harinya semakin banyak dia habiskan menyelusuri
pelosok-pelosok Jawa Timur. Mungkin karena sadar benar, masih
terlalu banyak yang harus diperbuatnya bagi propinsi ini dalam
keterbatasannya sebagai seorang pejabat, sebagai manusia.
Mungkin pula karena hari-hari belakangan ini adalah saat-saat
terakhir masa jabatannya, sehingga dia juga ingin melihat
kembali apa yang telah dilakukan selama ini. Jawa Timur adalah
propinsi yang pertama kali mendapat penghargaan Para Samya Purna
Karya Nugraha, sebuah lambang suksesnya pembangunan. Jawa Timur
sebuah propinsi yang sering dinilai sebagai daerah paling cepat
membangunkan penduduknya dari kekusutan sosial ekonomi, tetapi
juga paling akhir menyimpan pengacauan sisa-sisa PKI. Di sini
berpusat pesantren-pesantren terkenal dan masyarakat Muslim yang
kuat, tapi di sini pula kaum komunis pernah mencoba
bergerilya. Dan propinsi ini cukup sering mengundang
pertanyaan: ada apa sebenarnya.
Tak ada yang aneh di Jawa Timur. Bengawan Solo dan Ki Brantas
tetap mengirimkan banjir secara rutin setiap tahun.
Kerusakan-kerusakan yang diakibatkannya hampir tak mendelikkan
mata pembaca surat-surat kabar lagi. Manusiakah itu, padi yang
sedang menguning, kambing atau langgar. Gunung Kelud masih tetap
menggoda dalam mimpi setiap penduduk sekitarnya: kapan meletup
lagi dan memuntahkan sekian juta m3 lahar maupun pasir di
kawasannya--lalu mendangkalkan Kali Brantas. Tetapi jumlah
penduduk yang 27,4 juta di propinsi ini tetap merupakan angka
yang kurang sedap. Bahkan makin mencemaskan dari tahun ke tahun.
"Semua problem yang ada di sini selalu berkaitan dengan jumlah
penduduk yang padat", tutur Mohammad Noer dan Trimaryono SH
(Sekretaris Daerah Jawa Timur) dalam kalimat yang hampir persis
bersamaan.
Kecemasan itu bukan saja lantaran pertambahan jiwa tadi mencapai
angka ~2,48~% setahun -dan menjadi 1,7% setahun jika Keluarga
Berencana sudah merata -- namun juga karena wilaya~h propinsi ini
yang 48 ribu kmÿFD itu ternyata jauh berbeda dengan telor dadar.
Tak dapat dilebar-lebarkan lagi menurut si empunya mau. Apa boleh
buat. Tetapi apapun agaknya harus diperbuat apabila
dihitung-hitung lagi bahwa sebagian besar -- sekitar 80% di
antara sekian juta penduduk itu berada di pedesaan. Alias sebagai
petani atau buruh tani. Bertani di atas tanahnya sendiri atau
tersuruk-suruk dan menjadi hitam legam tersembur sinar matahari
di tanah orang lain, hanya untuk mendapatkan upah.
Hanya di sini benang kusut sesungguhnya belum terlihat. Sekarang
begini. Dari angka-angka tadi akan mulai tampak bahwa seorang
petani - dengan seorang isteri dan 3 anak-- rata-rata hanya
memiliki 1/4 atau 1/3 hektar tanah belaka. Apakah artinya ini?
Tentu para petani tak mampu memberi jawaban. Namun yang pasti
mereka merasakan: bahwa belum lagi keringat mengucur benar,
pekerjaan di sawah atau di ladang telah rampung. "Hanya 30%
waktu para petani dipergunakan untuk aktifitas pertanian", kata
Mohammad Noer. Makna lebih penting lagi dari ini tentulah:
dengan areal sesempit itu keluarga pak tani belum dapat
mengenyam hasil yang memadai.
Tentu mudah ditebak akibatnya. "Tak sedikit anak petani yang
terpaksa putus sekolah", ucap Mohammad Noer pula. Dalam keadaan
ketika orang sibuk mengejar target produksi, dan tidak langsung
memperhatikan kepentingan produsennya, nasib buruh petani itu
tak selamanya diingat. Apalagi seperti dikatakan Noer: "Jawa
Timur mampu mengadakan minimal 50% beras untuk persediaan
(stock) nasional di samping secara langsung mensuplai
daerah-daerah luar Jawa". Dan rupanya Gubernur Jawa Timur ini
memang benar. Karena di samping BUUD-BUUD di kawasan propinsi
ini cukup gigih mengumpulkan gabah --meskipun pernah
menghebohkan itu -- rupanya faktor komposisi pangan di wilayah
ini banyak memberi sumbangan bagi persediaan beras secara
nasional. Seperti diungkapkan Mohammad Noer--yang sering
dipanggil penduduk dengan cak Noer saja - di Jawa Timur terdapat
35 penduduk yang memamah jagung dan sekitar 15% yang memakan
gaplek. Adapun mereka ini juga terdiri dari petani-petani yang
menanam padi dengan maksud semata-mata untuk menjualnya.
Beruntung bahwa dalam tahun-tahun belakangan ini sebagian petani
sudah mampu memanfaatkan waktu mereka dari 30% untuk bertani
tadi--dalam bentuk penggalakan industri kerajinan rumah tangga.
Dan macam-macam hasilnya. Baik yang bernama bambu maupun kayu
jati tersebar di pasar-pasar. Bahkan pokok-pokok pohon kelapa
dari Banyuwangi dengan anehnya telah berubah ujud menjadi
kursi-kursi tamu di rumah-rumah mewah kota Surabaya. Selain itu,
sistim pertanian tumpang sari akhir-akhir ini mulai menyebar di
beberapa wilayah sebagai salah satu upaya untuk memadatkan isi
periuk para petani.
"Tetapi semua itu hanya usaha temporer untuk mengurangi
kepadatan penduduk", ujar Gubernur Mohammad Noer. Dengan kalimat
ini tampaknya dia hendak menjelaskan, bahwa bagaimana pun juga
transmigrasi merupakan pemecahan utama untuk itu. Tetapi dengan
sangat menyesal diakuinya, bahwa pelaksanaan transmigrasi di
propinsinya selama ini masih berjalan jauh dari harapan.
Dicontohkannya: "pertambahan penduduk Jawa Timur 500 ribu
rata-rata setahun, tetapi transmigrasi yang dapat dilaksanakan
hanya 25 ribu rata-rata setiap tahun". Agaknya kesulitannya
masih terletak pada keengganan penduduk kawasan ini untuk
berpindah. "Dan dengan segala usaha saya sudah membujuk-bujuk
mereka, sedikit yang berhasil", ungkap cak Noer, "sedang kalau
mereka dipaksa akan beerakibat lebih parah".
Masalah kebanjiran penduduk ini agaknya memang menyita hampir
seluruh fikiran Mohammad Noer. Hampir pada setiap kesempatan ia
mengingatkan hal ini kepada bawahannya untuk mencari akal
pemecahan. Dan kepada penduduk di pelosok-pelosok seperti tak
jemu dianjurkannya agar bertransmigrasi. Sebab katanya, Jer
Besuki Mawa Bea" kalimat yang tertera di bawah lambang Jawa
Timur itu--yang berarti: Kebahagiaan dan keselamatan memenuhi.
pengorbanan. "Tetapi mereka masih lebih senang berdesak-desakan
di Jawa Timur ini, menjadi buruh di sawah tetangganya pun jadi".
keluhnya.
Nomor Dua
Menarik tenaga kerja sebanyak itu ke dalam sektor-sektor
industri agaknya juga tidak sepesat harapan Mohammad Noer. Di
luar kepala dia hafal jumlah industri kecil, industri sedang
dan besar berikut buruh masing-masing. Dari semuanya tercatat
jumlah 14.076 buah dengan buruh kurang dari 400 ribu. Ini tentu
masih belum sepadan dengan pendapat para usahawan bahwa Jawa
Timur (terutama Surabaya) akan menjadi daerah industri nomor dua
setelah Jakarta. Menurut Mohammad Noer dalam bidang ini
ketinggalan Surabaya dari Jakarta terutama karena Ibukota Negara
iui mempunyai fasilitas administratif belaka. "Lebih dari itu
sebenarnya Jawa Timur menang katanya dengan bangga. "Di sini
kita punya pelabuhan, Surabaya, fasilitas yang serba cukup,
buruh dan harga tanah relatif masih jauh lebih murah". Secara
terang-terangan Gubernur Jawa Timur ini menantang para pengusaha
untuk berniaga di wilayah nya. "Pasti untung, sebab pasaran
Indonesia bagian timur cukup luas", tambahnya sambil tertawa.
Sebegitu jauh tampaknya penggalakan industri--terutama yang
banyak memakai tenaga kerja, seperti diharapkan cak Noer -
merupakan langkah dekat untuk keluar dari kemubaziran penduduk
ini. Tetapi upaya untuk lepas dari kesulitan yang kait berkait
ini cukup melahirkan renungan-renungan ke dalam kepalanya.
Misalnya dia juga selalu berfikir untuk menyetop banjir yang
berasal dari Bengawan Solo maupun kali Brantas. "Coba bayangkan
berapa ratus juta setiap tahunnya kerugian karena banjir ini".
keluhnya. lebih-lebih, lagi tanah jawa Timur yang memang tak
luas itu, semakin dipersempit lagi oleh genangan-genangan air
sehingga tak mungkin dimanfaatkan. Bagi Mohammad Noer hal itu
sesungguhnya dapat menolong sekian ribu petani yang tak punya
tanah. Dengan mata yang tercenung, Gubernur berambut putih ini
menyebut kawasan Kabupaten Bojonegoro yang terkenal selalu parah
ditimpa banjir dan minus. "Kalau masalah banjir ini dapat
diatasi, Bojonegoro akan berobah wajah dengan cepat", katanya,
"akan menjadi aerah yang punya hari depan amat cerah". Bahkan
tak lama lagi di sini akan berdiri pabrik gula di samping
kemungkinan adanya pabrik semen.
"Tetapi semuanya masih terhalang oleh gangguan banjir",
tambahnya. Memang diakuinya tak mudah menghindari bahaya
itu, "bahkan Daendles ketika membuat jalan dari Anyer ke
Banyuwangi tak mampu mendirikan jembatan melintas Bengawan Solo,
baru sekarang ada jembatan setelah kita mulai ada usaha
mengendalikan banjir". Yang dikehendaki Mohammad Noer ialah
bagaimana agar proses pencegahan banjir itu dipercepat,
disamping usaha-usaha yang sudah ada tepi belum memadai selama
ini. "Saya ingin agar dam-dam cepat dapat didirikan, agar
benar-banar dapat mengatur air baik dimusim hujan maupun
kemarau. Sekarang coba lihat Bengawan Solo. Seperti kata
nyanyian di musim kemarau kita dapat main bal-balan (sepak
bola). Tetapi di musim penghujan jangan coba-coba dekat. Ini
yang membuat saya tak sabar agar cepat-cepat diatasi".
Kabarnya masalah banjir-di samping soal penduduk--bakal memakan-
makanan yang tak sedikit dari Memoar yang sedang disusun
Mohammad Noer. Tidak saja karena keduanya amat erat berpautan,
juga karena dengan menguasai urusan-urusan ini akan Sama halnya
dengan lepas dari masalah pokok yang masih mengganjel hidup
penduduk propinsi ini. Namun sebaliknya, meninggalkan kedua
soal itu di akhir masa jabatannya tampaknya tak cukup alasan
bagi Haji Mohammad Noer untuk merasa tercela -- seperti yang
dikhawatirkannya (lihat box). Teramat sulit untuk menilai
apa-apa yang telah berhasil dia lakukan selama masa jabatannya
sebagai Kepala Daerah. Namun dengan mudah dapat diakui bahwa dia
telah cukup banyak berbuat agar rakyat Jawa Timur lebih banyak
bertindak. Atau kalau rajin merenungi angka-angka, dengan
kenaikan pendapatan perkapita penduduk Jawa Timur dari Rp 18.600
pada saat memasuki Pelita I menjadi Rp 33.000 di akhir Pelita I,
tak sulit untuk dikatakan bahwa penduduk di sini sudah dibawa ke
jenjang hidup lebih ke atas dari sebelunmya. Tentu saja masalah
meratanya hasil pembangunan belum terlihat di situ, apalagi
dengan kenyataan begitu banyak petani yang tanpa tanah. Tapi
mungkin benar kata-kata seorang tokoh Jawa Timur di Jakarta:
"Mohammad Noer telah menuntun rakyat Jawa Timur ke arah
jalanan, menuju jer besuki mawa bea". Dan ini tentu terlepas
dari sisa-sisa masalah yang masih tertinggal -- dan diakui
Mohammad Noer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo