Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hari-hari Terakhir Ahmad Lamo

Gubernur Sulawesi Selatan, Ahmad Lamo, sebelum masa jabatannya berakhir, melakukan mutasi besar-besaran di kantor gubernur. Sejumlah bupati, diganti secara mendadak. Kebijaksanaan ini tidak jelas alasannya.(dh)

29 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ACARA televisi Ujung Pandang tiba-tiba dihentikan. Sebuah pengumuman penting muncul: Nyonya Ahmad Lamo akan segera berangkat ke Jakarta -- suaminya akan memangku jabatan wakil ketua MPR -- hingga perpisahan dengan kaum wanita di Ujung Pandang dibatalkan. Hal itu terjadi beberapa pekan silam, tak lama setelah Ahmad Lamo menyerahkan kursi gubernur kepada penggantinya, Kolonel Andi Oddang. Mengingat bahwa sidang-sidang MPR sudah selesai berita keberangkatan Lamo secara mendadak ke Jakarta itu sudah tentu menarik perhatian masyarakat Sulawesi Selatan. Tapi lebih menarik lagi adalah kebijaksanaan Ahmad Lamo menjelang hari-hari terakhir jabatannya. Kisahnya bermula pada kegiatan mondar-mandir Lamo ke Jakarta untuk mengurusi pencalonan gubernur. Tidak pernah diketahui dengan pasti siapa di antara para calon gubernur yang mendapat dukungan serta diperjuangkan oleh Lamo. Tapi jelas diketahui dengan luas -- bahkan lewat surat-surat kabar -- adalah berita mengenai rencana pengunduran diri ketua DPRD Sulsel, A. Latif. Alasan Latif adalah: ia tidak setuju pada cara kerja Lamo yang berorientasi ke atas (Pusat) dalam hal menentukan gubernur. Latif sendiri kabarnya yakin bahwa lewat DPRD (yang dikuasai Golkar) segala rencana pihak penguasa bisa dijalankan secara demokratis. 16 Penjabat Dipindah Hanya karena campur tangan Korps Hasanuddin maka Latif berhasil dibujuk untuk tidak mengundurkan diri. Tapi Korps Hasanuddin ternyata tidak berhasil mencegah Lamo melakukan sejumlah mutasi dan penggantian penjabat di hari-hari terakhir tugasnya itu. Laporan wartawan TEMPO, Sinansari Ecip, dari Ujung Pandang menyebutkan bahwa menjelang tanggal 22 Juni-hari serah terima jabatan dari gubernur lama ke yang baru -- Lamo secara amat dramatis melakukan mutasi besar-besaran di kantor gubernur. Enam belas orang penjabat dipindah ke pos baru. Kabarnya pemindahan itu tidak semuanya menuruti jenjang kepangkatan, sehingga terjadi ada penjabat yunior yang mendadak menjadi atasan bagi seniornya. Semua ini telah menjadi bahan pergunjingan cukup ramai di kantor tersebut. Lamo ternyata tidak cuma sibuk di kantornya, ia juga memberi perhatian kepada para kepala daerah tingkat dua (bupati). Sejumlah bupati -- meski masa jabatan mereka belum berakhir -- diganti secara mendadak. Yang lebih menarik lagi, dari kantor gubernur tiga orang mendapat promosi menjadi bupati. Salah seorang di antara mereka adalah Mayor Polisi Abdullah Dollar, bekas ajudan Lamo selama menjadi gubernur. Kebijaksanaan Ahmad Lamo ini telah menimbulkan reaksi luas di Sulawesi Selatan. Di Pangkajene Sidenreng, bupati yang diangkat Lamo disambut dengan pamplet gelap. Dari pamplet itu diketahui bahwa Opu Sidik, bupati baru tersebut, adalah orang yang mempunyai reputasi buruk di Pangkajene pada zaman revolusi dulu. Ketika reaksi-reaksi itu masih belum juga reda, tersiar pula berita yang bersumber dari salah satu fraksi dalam DPRD Sul-Sel, bahwa Lamo telah memesankan penggantinya agar mengangkat seorang wakil gubernur dan seorang sekwilda baru. Bapak Pilek Soal ini ternyata tidak kurang menarik. Sumber TEMPO di DPRD itu menyebut nama drs Daud Nompo (sekwilda sekarang) sebagai orang yang dicalonkan Lamo untuk jabatan wagub itu. Untuk sekwilda disebut nama drs Umar Lakunu. Kedua tokoh ini dikenal di kantor gubernur sebagai orang-orang terdekat dan kepercayaan Lamo selama bertahun-tahun. Apa sebenarnya maksud Lamo? "Tanyakan saja langsung pada Pak Lamo," kata seorang tokoh masyarakat Sul-Sel yang pekan silam kebetulan berada di Jakarta. Kolonel Andi Odang sendiri cuma menjelaskan "Pak Lamo tentu bermaksud baik dengan tindakan-tindakan itu." Membantah bahwa dirinya mendapat pesan-pesan khusus dari orang yang digantikannya (lihat box) Oddang juga tidak bisa memberikan keterangan mengenai persoalan uang reboisasi sejumlah Rp 3 milyar yang kabarnya belum selesai dipertanggungjawabkan Lamo. Tapi apa kata Ahmad Lamo sendiri? Wartawan TEMPO, Slamet Djabarudi berkali-kali berusaha menjumpainya di rumahnya di Jalan Kaji -- bekas Mess Pemda Sul-Sel -- maupun di kantor MPR. Gagal. "Bapak sibuk," kata seorang pembantu di kantor. "Bapak tidak mau diganggu, lagi pilek," kata seorang pembantu di rumah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus