Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ACARA televisi Ujung Pandang tiba-tiba dihentikan. Sebuah
pengumuman penting muncul: Nyonya Ahmad Lamo akan segera
berangkat ke Jakarta -- suaminya akan memangku jabatan wakil
ketua MPR -- hingga perpisahan dengan kaum wanita di Ujung
Pandang dibatalkan. Hal itu terjadi beberapa pekan silam, tak
lama setelah Ahmad Lamo menyerahkan kursi gubernur kepada
penggantinya, Kolonel Andi Oddang.
Mengingat bahwa sidang-sidang MPR sudah selesai berita
keberangkatan Lamo secara mendadak ke Jakarta itu sudah tentu
menarik perhatian masyarakat Sulawesi Selatan. Tapi lebih
menarik lagi adalah kebijaksanaan Ahmad Lamo menjelang hari-hari
terakhir jabatannya.
Kisahnya bermula pada kegiatan mondar-mandir Lamo ke Jakarta
untuk mengurusi pencalonan gubernur. Tidak pernah diketahui
dengan pasti siapa di antara para calon gubernur yang mendapat
dukungan serta diperjuangkan oleh Lamo.
Tapi jelas diketahui dengan luas -- bahkan lewat surat-surat
kabar -- adalah berita mengenai rencana pengunduran diri ketua
DPRD Sulsel, A. Latif. Alasan Latif adalah: ia tidak setuju pada
cara kerja Lamo yang berorientasi ke atas (Pusat) dalam hal
menentukan gubernur. Latif sendiri kabarnya yakin bahwa lewat
DPRD (yang dikuasai Golkar) segala rencana pihak penguasa bisa
dijalankan secara demokratis.
16 Penjabat Dipindah
Hanya karena campur tangan Korps Hasanuddin maka Latif berhasil
dibujuk untuk tidak mengundurkan diri. Tapi Korps Hasanuddin
ternyata tidak berhasil mencegah Lamo melakukan sejumlah mutasi
dan penggantian penjabat di hari-hari terakhir tugasnya itu.
Laporan wartawan TEMPO, Sinansari Ecip, dari Ujung Pandang
menyebutkan bahwa menjelang tanggal 22 Juni-hari serah terima
jabatan dari gubernur lama ke yang baru -- Lamo secara amat
dramatis melakukan mutasi besar-besaran di kantor gubernur.
Enam belas orang penjabat dipindah ke pos baru. Kabarnya
pemindahan itu tidak semuanya menuruti jenjang kepangkatan,
sehingga terjadi ada penjabat yunior yang mendadak menjadi
atasan bagi seniornya. Semua ini telah menjadi bahan
pergunjingan cukup ramai di kantor tersebut.
Lamo ternyata tidak cuma sibuk di kantornya, ia juga memberi
perhatian kepada para kepala daerah tingkat dua (bupati).
Sejumlah bupati -- meski masa jabatan mereka belum berakhir --
diganti secara mendadak. Yang lebih menarik lagi, dari kantor
gubernur tiga orang mendapat promosi menjadi bupati. Salah
seorang di antara mereka adalah Mayor Polisi Abdullah Dollar,
bekas ajudan Lamo selama menjadi gubernur.
Kebijaksanaan Ahmad Lamo ini telah menimbulkan reaksi luas di
Sulawesi Selatan. Di Pangkajene Sidenreng, bupati yang diangkat
Lamo disambut dengan pamplet gelap. Dari pamplet itu diketahui
bahwa Opu Sidik, bupati baru tersebut, adalah orang yang
mempunyai reputasi buruk di Pangkajene pada zaman revolusi dulu.
Ketika reaksi-reaksi itu masih belum juga reda, tersiar pula
berita yang bersumber dari salah satu fraksi dalam DPRD Sul-Sel,
bahwa Lamo telah memesankan penggantinya agar mengangkat seorang
wakil gubernur dan seorang sekwilda baru.
Bapak Pilek
Soal ini ternyata tidak kurang menarik. Sumber TEMPO di DPRD itu
menyebut nama drs Daud Nompo (sekwilda sekarang) sebagai orang
yang dicalonkan Lamo untuk jabatan wagub itu. Untuk sekwilda
disebut nama drs Umar Lakunu. Kedua tokoh ini dikenal di kantor
gubernur sebagai orang-orang terdekat dan kepercayaan Lamo
selama bertahun-tahun.
Apa sebenarnya maksud Lamo? "Tanyakan saja langsung pada Pak
Lamo," kata seorang tokoh masyarakat Sul-Sel yang pekan silam
kebetulan berada di Jakarta. Kolonel Andi Odang sendiri cuma
menjelaskan "Pak Lamo tentu bermaksud baik dengan
tindakan-tindakan itu." Membantah bahwa dirinya mendapat
pesan-pesan khusus dari orang yang digantikannya (lihat box)
Oddang juga tidak bisa memberikan keterangan mengenai persoalan
uang reboisasi sejumlah Rp 3 milyar yang kabarnya belum selesai
dipertanggungjawabkan Lamo.
Tapi apa kata Ahmad Lamo sendiri? Wartawan TEMPO, Slamet
Djabarudi berkali-kali berusaha menjumpainya di rumahnya di
Jalan Kaji -- bekas Mess Pemda Sul-Sel -- maupun di kantor MPR.
Gagal. "Bapak sibuk," kata seorang pembantu di kantor. "Bapak
tidak mau diganggu, lagi pilek," kata seorang pembantu di rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo