Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dilahirkan di Jombang, Jawa Timur 7 September 1940. Sebelum memakai nama Gus Dur dan Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia ke-4 ini lebih dulu menggunakan nama Abdurrahman Ad-Dakhil yang artinya sang penakluk. Lantaran nama tersebut asing dilingkungannya, akhirnya nama tersebut diganti menjadi nama Abdurrahman Wahid. Sedangakan panggilan Gus—yang artinya abang atau “mas”—ia dapatkan di lingkungan pesantren.
Abdurrahman Wahid merupakan Presiden RI yang cukup terkenal dengan keputusan-keputusannya. Gus Dur dikenal sebagai seorang presiden yang memiliki dedikasi tinggi terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembela kaum minoritas di Indonesia.
Sebelum menjadi presiden, Gus Dur lebih dulu menjabat sebagai ketua umum PBNU. Ia menduduki jabatan tersebut setelah dipilih secara aklamasi oleh tim ahl hall wa al-`aqdi yang dipimpin oleh KH As`ad Syamsul Arifin pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan ini diterima Gus Dur selama tiga kali setelah muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung, Jawa Barat (1994).
Setelah reformasi, Juli 1998, Gus Dur menanggapi pendukungnya untuk membuat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia menyadari bahwa partai politik merupakan satu-satunya cara untuk berjuang di dunia politik (pemerintahan). Kala itu Gus Dur menjabat sebagai Dewan Penasehat.
Sejak awal 1999 PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat calon presiden Indonesia. Ketika itu PKB berkoalisi dengan PDIP. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Gus Dur kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara. Ia unggul 60 suara dari Megawati.
Ketika menjadi presiden, selain keputusan-keputasannya yang kontroversial dan banyak bertentangan dengan lawan politiknya serta masyarakat, hal yang paling diingat oleh masyarakat Indonesia adalah pelengseran Gus Dur melalui Sidang Istimewa (SI) MPR RI pada 23 Juli 2001.
Sebelum SI MPR RI pada 23 Juli 2001, Gus Dur telah mengeluarkan dekrit presiden yang tidak sepakat terhadap langkah parlemen yang menurutnya inkonstitusional. Berdasarkan nu.or.id, Perlawanan tersebut bukan untuk mempertahankan jabatannya sebagai presiden, melainkan seperti hal yang disebut sebelumnya.
Sidang Istimewa MPR yang dipimpin Amien Rais menjadi puncak perseteruan antara petinggi partai politik saat itu dengan Gus Dur. Salah satu tudingan parlemen kala itu adalah dugaan korupsi yang dilakukan oleh Gus Dur.
Selain itu, isu Buloggate dan Bruneigate yang terjadi pada Mei 2000 dimana Badan Urusan Logistik atau Bulog menyampaikan bahwa kas persediaan Bulog hilang US$4 juta. Gus Dur juga sempat mengeluarkan dekrit tentang pembubaran DPR/MPR dan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat Pemilihan Umum (Pemilu) selama satu tahun. Namun, Mahkamah Agung (MA) menilai keputusan Gus Dur saat itu bertentangan dengan hukum.
Bahkan sebelum Sidang Istimewa tersebut, ratusan moncong panser dan tank yang dikerahkan TNI sudah mengarah ke depan Istana. Kendaraan-kendaraan tempur TNI juga sudah melakukan apel beberapa jam sebelum sidang MPR tersebut dilaksanakan.
Dalam SI tersebut Gus Dur dinilai menyalahi haluan negara. Senin 23 Juli 2001, sore itu Megawati resmi dilantik dan diambil sumpahnya menjadi Presiden Indonesia ke-5 menggantikan Gus Dur hal ini tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2001. Masa jabatan Megawati terhitung sejak tanggal ia dilantik hingga 2004.
Malam dan masih di hari yang sama, Gus Dur memerintahkan massanya untuk tidak melakukan tindakan yang bersifat menimbulkan kerusuhan terkait pencopotan statusnya sebagai Presiden Indonesia. Seperti yang diketahui, ketika ia dilengserkan banyak kalangan kiai maupun santri yang akan berunjuk rasa untuk memprotes keputusan MPR tersebut.
Seperti yang tertuang dalam nu.or.id, Gus Dur berpesan agar ulama tidak terpancing amarahnya atas nama solidaritas umat Muslim. Menurutnya, ulama seharusnya tidak terlalu larut dalam politik. Dengan tegas, Gus Dur meminta ulama, kiai, dan santri di lingkungan NU untuk tidak pergi berunjuk rasa dan membuat kegaduhan di Jakarta. Sebaliknya, ia meminta agar segenap pendukungnya tetap meyakini kapabilitas pemerintah dalam menuntaskan persoalan politik.
Selain peralihan kekuasan kepada Megawati oleh MPR, hal yang paling diingat dari mundurnya Gus Dur adalah ketika ia keluar dari istana dengan menggunakan celana pendek untuk menyapa pendukungnya. Kepala Protokoler Istana era Presiden Gus Dur, Wahyu Muryadi mengatakan bahwa ketika ia dilengserkan, pendukungnya di luar istana semakin banyak. Para pendukungnya itu sudah berkumpul sejak beberapa hari sebelum ia dilengserkan.
Ketika itu, suasana pendukung semakin ramai dan berteriak untuk memberikan dukungan kepada Gus Dur. Ketika sedang makan malam, Wahyu mengatakan, Gus Dur yang cukup santai dengan menggunakan kaos oblong dan celana pendek itu berniat untuk menemui dan menyapa para pendukungnya.
Terkait pakaian yang digunakan Gus Dur tersebut ada kesalahan komunikasi antara Gus Dur dan ajudannya, Kolonel Sukirno. Sukirno yang segan bertanya kepada Gus Dur hendak ke mana, ia langsung menuntun Gus Dur keluar untuk menyapa pendukungnya.
Orang terdekat Gus Dur seperti putrinya Alissa Qotrunnada Wahid dan Yenny Wahid juga sudah mengingatkannya untuk mengganti pakaian terlebih dahulu sebelum bertemu para pendukungnya. Namun, Gus Dur mengatakan tidak perlu lantaran ia hanya ingin bertemu pendukungnya.
Keluarnya Gus Dur untuk menyapa pendukungnya ini dinilai melecehkan istana—lantaran menggunakan kaos oblong dan celana pendek. Namun, dengan keluarnya Gus Dur dari istana mampu meredam massanya yang begitu massive dan sehingga tidak terjadi kerusuhan pasca ia dilengserkan.
Setelah ia dilengserkan dari jabatan presiden, Gus Dur tidak langsung meninggalkan istana ke kediaman pribadinya di Ciganjur. Ia menetap di istana hingga 25 Juli 2001 untuk pergi ke Amerika Serikat. Ia pergi ke negeri Paman Sam untuk melakukan pengobatan terhadap penyakit yang di deritanya.
Selama menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur menjadi seorang presiden yang banyak dicintai oleh masyarakat. Walaupun memiliki background Nahdlatul Ulama (NU), ia tetap dicintai tokoh lintas agama dan golongan. Bahkan ia pernah membolehkan masyarakat Papua untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora asalkan tidak lebih tinggi dari Bendera Indonesia.
GERIN RIO PRANATA
Baca: Gus Dur Pernah Bernama Abdurrahman ad-Dakhil yang Artinya Sang Penakluk
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini