Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 21 Mei 1998, tepat 23 tahun lalu, Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Lengsernya Presiden yang sudah menjabat selama 32 tahun ini tidak terlepas dari pergerakan mahasiswa serta elemen masyarakat yang melawan rezim orde baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bekas aktivis '98, Wahab Talaohu, menyebut para mahasiswa saat itu sudah terlalu jengah dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) oleh rezim Soeharto. Selain itu, mereka juga sudah muak dengan sistem politik yang tersentralisasi oleh Golkar dan ABRI, hingga kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dibungkam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami sepakat menginginkan reformasi dan rezim orde baru harus ditumbangkan," ujar Wahab kepada Tempo pada Kamis, 20 Mei 2021.
Para mahasiswa melalui gerakan bawah tanah terus melakukan konsolidasi. Dibuntuti, dipukuli, hingga ditangkap aparat sudah menjadi makanan para aktivis saat itu. Mereka harus diam-diam mengkonsolidasikan kekuatan mulai dari Jakarta hingga ke daerah-daerah.
"Kami mahasiswa pergerakan '98 sampai pada kesimpulan bahwa mahasiswa harus turun ke jalan bersama rakyat. Soeharto harus dilengserkan dengan people power," ujar Wahab.
Tumbangnya Soeharto tak lepas dari aksi-aksi maraton dari gerakan mahasiswa. Bahkan pada 12 Mei, mahasiswa Trisakti menggelar demonstrasi. Aksi yang awalnya berjalan kondusif berubah jadi peristiwa berdarah dengan tewasnya empat mahasiswa Trisakti. Aparat menembaki massa yang menuntut reformasi secara membabi buta, hingga saat ini kasus pertanggungjawaban tewasnya empat mahasiswa tersebut belum tuntas. Tragedi Trisakti menjadi pemicu puncak gerakan konsolidasi mahasiswa.
"Dengan pendekatan militeristik yang dilakukan Soeharto, gerakan mahasiswa menemukan momentum dan mendapatkan dukungan masif dari masyarakat. Setelah itu, para elite pro-perubahan pun mulai berani tampil," ujar salah satu pendiri Forkot ini.
Kalangan intelektual pada masa itu pun turut ambil suara. Budayawan asal Yogyakarta, Emha Ainun Nadjib, bahkan menggalang pertemuan dengan para tokoh. Salah satu pertemuan berlangsung di Hotel Wisata pada 17 Mei 1998. Nurcholis Madjid hadir dalam pertemuan ini. Pertemuan ini menjadi pembicaraan.
Bahkan Soeharto sempat berbicara dengan Nurcholish via telepon. "Saat itu juga saya langsung bicara dengan Pak Harto. Saya menceritakan apa adanya isi pertemuan itu," kata Nurcholish, dikutip dari laporan Majalah Tempo edisi Mei 2003.
Yang membuat Nurcholish terkejut adalah jawaban Soeharto, "Sudah, kalau begitu saya umumkan." Nurcholish lalu bertanya kepada Soeharto, "Kapan?" "Besok," jawab Soeharto. Nurcholish sama sekali tak menduga jawaban itu. "Saya kaget, kok cepat sekali. Eh, malah dia (Soeharto) yang menggugat saya. 'Lo, katanya tadi hitungannya detik'," kata Nurcholish. Soeharto berencana mengumumkan bersama tokoh-tokoh masyarakat. Ada sembilan nama tokoh masyarakat, nama-nama itu datang dari Nurcholish Madjid dan Soeharto.
Pada 21 Mei 1998 pukul 09.00, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Ia menggelar pidato kenegaraan terakhir di credential room Istana Negara: "Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998".