HARI itu dari dalam rumah-rumah panggung yang kebanyakan
berdinding bambu, beratap ijuk, lamat-lamat terdengar suara
orang membaca Quran ditingkahi sentak lagu jaipongan dari radio
kaset. Selebihnya sunyi: tak ada anak bermain di halaman, tak
ada kambing dan kerbau berkeliaran -- sebagaimana biasanya di
desa. Malah sawah dan kebun pun tanpa pekerja. "Setiap Rabu
memang begini. Kami tidak menerima turis atau penziarah, supaya
dapat beribadat dengan tenang," kata Abah Iri, 65 tahun, sesepuh
kampung itu.
Pada hari itu semua orang tekun di rumah belajar agama, antara
lain membaca Al Quran. Dan ketika matahari terbenam di balik
Situ Cangkuang, azan magrib terdengar, seisi kampung pun
berkumpul di sebuah masjid kecil untuk mendengarkan ceramah
agama dari tetua di sana, atau ulama yang sengaja didatangkan
dari luar.
Kampung Pulau Panjang, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles,
Kabupaten Garut (Ja-Bar) memang unik: penduduknya hidup
berdasarkan ajaran agama bercampur dengan legenda. Di dalam
berapa hal malah terlihat legenda lebih dominan.
Sesuai dengan namanya, Pulau Panjang memang sebuah pulau kecil,
seluas 3 ha, di tengah Situ Cangkuang, danau yang luasnya cuma
25 ha. Penghuni pulau ini pun sekarang 36 jiwa (6 kk). Jumlah
itu bertahan terus, meski kampung ini sudah ada sejak abad
ke-17.
Di situ dikenal 5 pamali (tabu). Yaitu, tak boleh bekerja di
hari Rabu, tak boleh memelihara binatang berkaki empat, tak
boleh memukul gong atau alat bunyi lainnya, atap rumah harus
memakai rabung satu (berbentuk prisma), dan jumlah kepala
keluarga di kampung itu tak boleh lebih dari enam.
Apabila ada warga kampung yang menikah, harus segera ke luar
dari sana, dan baru boleh kembali setelah kepala keluarganya
meninggal dunia. Itu pun kalau dia adalah putri sulung keluarga
itu, karena di sini kepala keluarga adalah wanita (matriarchat).
Karena itu, kata Cucu Suparman, pegawai P&K Garut, "keturunan
kampung ini lebih banyak berada di luar." Maksudnya di luar
pulau kecil itu.
Semua pamali itu berasal dari kisah Sembah Dalem Arif Muhamad,
yang kuburannya seperti dimuliakan di pulau ini. Dia konon
adalah salah seorang pimpinan lasykar Mataram yang ditugasi
Sultan Agung menyerang Batavia, di abad ke-17. Penyerangan itu
gagal, dan banyak tentara Mataram yang enggan pulang kampung, di
antaranya Arif Muhamad. Dia kemudian bermukim di pulau kecil 13
km di utara Garut itu, menyebarkan agama Islam. Konon kiai
inilah yang pertama membawa Islam ke daerah tersebut.
Entah sejak kapan, tapi setelah kiai ini meninggal berbagai
legenda di sekitar dirinya diambil dan ditafsirkan menjadi
hukum, berbaur dengan ajaran Islam yang diajarkannya pada para
pengikutnya. Itulah yang terhimpun sebagai 5 pamali tadi.
Tentang jumlah rumah yang enam, ini karena kiai tadi punya 6
anak dara dan 1 perjaka. Ini ditafsirkan para pengikutnya
kemudian bahwa di situ hanya boleh ada 6 rumah dengan 1 masjid.
Walaupun sebenarnya dalam kisah, si perjaka itu meninggal masih
muda, tentu saja penduduk tak mengartikannya bahwa masjid
sebagai lambang putra tunggal sembah dalem, harus pula
dirobohkan.
Ketika putra sembah dalem itu dikhitankan, dia diarak di atas
tandu (jampana) dengan berbagai macam bunyi-bunyian, di
antaranya sebuah gong besar. Naas, pesta besar itu tiba-tiba
diamuk topan, dan sang putra mati ditimpa tandunya. Dari sini
asal-muasal larangan membunyikan alat-alat musik -- meskipun
lagu jaipongan atau degung setiap saat terdengar lewat radio
atau kaset.
Tentang libur di hari Rabu karena dulunya sang kiai memberi
pelajaran agama sehari penuh pada hari itu. Penduduk tak
memelihara binatang berkaki empat, karena sembah dalem tak suka
memelihara binatang yang suka memakan daun pohonpohonan.
Untungnya, sekarang kampung itu rindang oleh pohon-pohon besar.
Sejak 1976 kampung ini memang jadi objek turis -- terutama turis
lokal yang berziarah di kuburan sembah dalem -- setelah di
teliti Drs. Uka Tjandrasasmita, ahli purbakala dari Jakarta, di
tahun 1966. Rupanya Uka membaca buku berjudul, Notulen
Bataviaachgenootchap yang dikarang seorang Belanda, Vorderman,
1893. Buku itu menyebutkan bahwa di Pulau Panjang ada sebuah
makam kuno dan sebuah arca. Makam kuno itu, 8 x 8,9 m berlapis
batu gunung, adalah kuburan Arif Muhamad, yang terletak 200 m
dari perkampungan. Tapi di dekatnya, Uka menemukan pula sebuah
candi Syiwa berukuran 4,5 x 5 m, tinggi 8,6 m. Inilah candi
Hindu satu-satunya yang pernah ditemukan di Jawa Barat.
Ternyata memang tak ada hubungan makam dengan candi -- yang
diduga berasal dari abad ke-8. Tapi sejak 1974 candi itu dipugar
oleh Departemen P&K, dan daerah itu pun dinyatakan sebagai cagar
budaya. Di situ juga didirikan museum kecil, untuk menyimpan
buku-buku kuno yang ditulis sembah dalem dengan huruf Arab
gundul, berisi berbagai pelajaran agama, tapi tak
meuyebut-nyebut tentang 5 pamali tadi. Isi museum lainnya, cuma
foto-foto ketika pemugaran candi.
Setiap bulan menurut catatan kantor desa, rata-rata 500 turis
datang ke sana, dan jumlah itu membengkak sampai 1.000 di bulan
maulid. Tapi umumnya mereka cuma mau menziarahi makam kuno itu
sembari membawa berbagai macam hajat dan keinginan. Mereka
berdatangan dari berbagai pelosok Ja-Bar. Ada juga dari Jakarta
atau kota lainnya.
Eye, 35 tahun, dari Leles misalnya, ziarah ke sana karena ingin
naik haji. Soalnya, dia sudah menjual 400 tumbak sawahnya Rp 2
juta, mendadak ONH naik menjadi Rp 3 juta. "Bagaimana mungkin
saya bisa pergi ke Mekah?" keluh calon haji itu. Maka petani ini
pun minta tolong ke makam sembah dalem. Itu sudah dilakukan Eye,
enam kali, "mudah-mudahan permintaan saya terkabul," katanya
lirih. Yang lalu-lalu, menurut Eye makam itu cukup manjur.
Misalnya, dia pernah minta diberi rumah, ternyata sekarang dia
memang sudah punya rumah.
Untuk berziarah ke sana, Eye harus naik rakit sejauh 300 m
menyeberangi Situ Cangkuang yang makin dangkal karena eceng
gondok. Atau terkadang dia harus berjalan 1 km melintasi suatu
tanah genting. Tak boleh naik kendaraan ke situ karena kata Abah
Iri, kuncen (juru kunci) di sana, "sembah dalem dulu tak
menyenangi kemewahan."
Kunjungan turis yang semakin banyak, mulai mempengaruhi sikap
orang kampung di sana. Misalnya tentang asas matriachat. Sampai
sekarang memang wanita tetap berstatus kepala keluarga, dan
menerima warisan yang sama dengan laki-laki. Asas ini muncul
karena sembah dalem cuma punya anak perempuan. Tapi menurut Ny.
Hadijah, 40 tahun, salah seorang kepala keluarga di situ, dalam
pelaksanaannya semua dikerjakan laki-laki: menentukan hari
mengkhitankan anak, atau jadi kuncen.
Sanksi konkrit untuk para pelanggar pamali tak pernah dikenal di
situ. Hanya menurut Cucu Suparman, pada 1979, pernah datang ke
sana seorang tukang cemen (semacam sirkus monyet) mengadakan
pertunjukan. Kuncen sebagai kuasa adat di situ, sudah memberi
penjelasan tentang 5 pamali, di antaranya memukul bunyi-bunyian.
Tapi yang datang itu membangkang. Pertunjukan pun berlangsung:
gong ditabuh, dan gendang dipalu. Tiba-tiba saja -- entah
kebetulan saja -- datang angin topan, dan pertunjukan itu
porak-poranda. "Anehnya rumah di sana tak diusik angin itu,"
kata Cucu. Orang pun kian percaya pada pamali itu.
Kuncen itu sebenarnya harus dijabat oleh wanita. Tapi Abah Iri,
kuncen di sana nyatanya seorang laki-laki. "Saya memang cuma
pelaksana, resminya ini pekerjaan istri saya," kata Abah Iri
memberi alasan.
Apalagi para ulama dari luar toh bebas jadi khatib salat Jumat
di masjid Pulau Panjang, tentu saja sedikit demi sedikit semua
bakal terkikis juga. "Yang penting orang bukan menyembah kuburan
itu. Ziarah buat apa dilarang, sebab sudah jadi kebiasaan di
sana," ujar Haji Mochtar, ketua Majelis Ulama Desa Cangkuang
kepada Hasm Syukur dari TEMPO.
Membakar kemenyan di makam juga tak ada salahnya, "anggap saja
itu untuk mengusir nyamuk. Di Arab juga orang membakar kemenyan
kok," lanjutnya. Dan segala macam pamali tadi pun, di mata Haji
Mochtar, tak lebih dari adat-istiadat orang pulau itu yang tak
perlu dilarang.
Yang jelas penduduk setempat sangat mudah menerima para
motivator KB. Soalnya, beberapa tahun yang lalu jumlah penduduk
pulau itu pernah sampai 43 jiwa (walau tetap 6 kk), padahal
jumlahnya tak boleh lebih 36 (mengikuti anak sembah dalem yang
hidup cuma 6 perempuan). Setelah beberapa tahun ikut KB di
Puskesmas setempat, sekarang penduduknya kembali 36 jiwa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini