Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Harun Zain, Setelah Sitiung

Wawancara Tempo dengan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi, Harun Zain tentang transmigrasi "pola sitiung" dan transmigrasi pada umumnya. (ds)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI celah kesibukannya dan sempitnya waktu di bulan puasa, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harun Zain menerima Ed Zoelverdi dari TEMPO. Menjelang tengah malam akhir pekan lalu, di selang-seling cicipan es tape ketan hitam, di kediamannya di Jl. Galuh Kebayoran Baru, berlangsung tanya jawab berikut: Apa itu sebenarnya yang disebut pola Sitiung? Apakah itu berarti ada pola baru dalam penataan masalah transmigrasi sekarang? Di bidang transmigrasi, kalau bicara soal pola, saya agak hati-hati. Sebab masalah yang saya rasakan sekarang dibanding dengan yang terjadi sebelumnya, orang condong melihat yang dianggapnya baik adalah apa yang dikenal sebagai 'pola Sitiung'. Nah, di waktu yang lampau, sebelum ada Sitiung, orang sering tidak mengingat akan kemampuan pemerintah. Tapi sekarang perhatian memang makin besar setelah ada perkembangan pembangunan daerah Sitiung. Dana-dana dan kemampuan yang diberikan jauh lebih banyak. Sebagai bekas gubernur, anda tentu punya pengalaman di bidang itu. Apa yang di Sitiung itu sudah benar dan bisa dicontoh untuk rencana transmigrasi yang akan datang? Kalau kita ingin transmigrasi berhasil, insya Allah, saya harapkan adanya pemikiran tentang transmigrasi. Pertama, dikaitkan dengan pola pembangunan daerah penerima transmigran. Hingga pemerintah daerah merasa langsung berkepentingan. Kedua, selama ini transmigran terdiri dari petani dan orang-orang kurang mampu. Ini kurang menjamin pertumbuhan yang cepat. Kalau ingin melihat daerah transmigrasi tumbuh, harus dimasukkan pula dana, teknologi, orangorang. Tukang kayu, guru, dokter dan sebagainya. Jadi yang kita pindahkan adalah sebuah masyarakat yang mengandung unsur-unsur pertumbuhan. Ketiga, lokasinya jangan terlalu jauh dari jalan besar, sebab kita melihatnya sebagai potensi pembangunan. Selain itu tiap kelompok, misalnya 500 KK, letaknya jangan terlalu jauh. Lagi pula kalau misalnya yang 500 KK itu menghasilkan kelebihan beras, pedagang dari Padang dan Jambi tak tertarik mendatanginya. Tapi kalau kelebihan itu berasal dari 5.000 KK, tentu wajar didekati -- dijadikan usaha bisnis. Dan kaum industrialis pun mau pula datang. Sebab siapa yang mau mendatangi daerah kecil? Tapi proyek yang besar tentu biayanya juga besar. Di satu pihak proyek itu musti besar, di lain pihak harus menjamin keberhasilan. Karena itu Presiden lalu memutuskan agar transmigrasi jangan ditangani satu Departemen saja, tapi bersama Departemen lain secara fungsionil. Dalam pelaksanaan diharapkan sebanyak mungkin ikut sertanya Departemen-Departemen teknis. Sekarang misalnya sudah ada satu direktorat yaitu Direktorat Pembukaan Tanah yang kegiatannya dipindahkan ke PU. Mengenai Sitiung, sudah banyak kritik. Antaranya dari ketua Bappeda Sumatera Barat sendiri, Thamrin Nurdin. Ia menyebut pembukaan hutan secara mekanis menghasilkan tanah yang kurus. Harus dibedakan antara polanya dan hasil fisiknya. Untuk mengejar waktu, dalam gerak cepat membuka tanah dengan alat-alat besar itu memang terbawa top soil yang berharga sekali. Kelak, yang kita mintakan perhatian ialah bila membuka tanah kita minta alat-alat lain, bukan bulldozer. Ini urusan Departemen Pertanian yang dalam rapat Badan Koordinasi bisa menasihatkan Menteri Nakertrans tentang alat-alat yang layak dipakai. Nah, dalam hal ini PU tentu menerima. Bagaimana kerusakan permukaan tanah di Sitiung itu bisa terjadi? Itu kan logis. Karena mengejar waktu. Biasanya soal transmigrasi ini diberitahukan kepada Gubernur 3 tahun sebelumnya. Paling lambat setahunlah. Kecuali ada bencana alam atau apa. Dalam kasus Sitiung, hanya 2 bulan sebelumnya. Semua jadi kepepet. Rencapa semula kan Rimbo Bujang, tapi ternyata di sana belum siap. Lalu PU melihat tak jauh dari perbatasan ada Sitiung. Maka diputuskan: bisa. Ini cras program. Keadaan tergesa kan selalu menimbulkan efekforce majeur. Selama Pelita II, di mana anda belun terlibat langsung, bagaimana anda melihat transmigrasi? Berhasil atau tidak? Ada dua hal yang harus hati-hati kita bicarakan. Dari bahan yang saya pelajari, apa yang dilakukan di masa pak Broto saya kira berhasil. Pertama, dalam Pelita I yang dipindahkan sekitar 25.000 KK. Selama kita merdeka sampai Pelita I, hanya mencapai 50.000 KK. Masuk Pelita II ada gambaran boom minyak. Maka dibayangkan tentunya bisa mencapai 50.000 KK. Ini target cita-cita lho, bukan target anggaran. Dan menurut target anggaran Bappenas yang saya lihat, tercapai. Yaitu sekitar 51.000 KK, dua kali dari Pelita I.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus