Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI celah kesibukannya dan sempitnya waktu di bulan puasa,
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harun Zain menerima Ed
Zoelverdi dari TEMPO. Menjelang tengah malam akhir pekan lalu,
di selang-seling cicipan es tape ketan hitam, di kediamannya di
Jl. Galuh Kebayoran Baru, berlangsung tanya jawab berikut:
Apa itu sebenarnya yang disebut pola Sitiung? Apakah itu berarti
ada pola baru dalam penataan masalah transmigrasi sekarang?
Di bidang transmigrasi, kalau bicara soal pola, saya agak
hati-hati. Sebab masalah yang saya rasakan sekarang dibanding
dengan yang terjadi sebelumnya, orang condong melihat yang
dianggapnya baik adalah apa yang dikenal sebagai 'pola
Sitiung'. Nah, di waktu yang lampau, sebelum ada Sitiung, orang
sering tidak mengingat akan kemampuan pemerintah. Tapi sekarang
perhatian memang makin besar setelah ada perkembangan
pembangunan daerah Sitiung. Dana-dana dan kemampuan yang
diberikan jauh lebih banyak. Sebagai bekas gubernur, anda tentu
punya pengalaman di bidang itu. Apa yang di Sitiung itu sudah
benar dan bisa dicontoh untuk rencana transmigrasi yang akan
datang?
Kalau kita ingin transmigrasi berhasil, insya Allah, saya
harapkan adanya pemikiran tentang transmigrasi. Pertama,
dikaitkan dengan pola pembangunan daerah penerima transmigran.
Hingga pemerintah daerah merasa langsung berkepentingan.
Kedua, selama ini transmigran terdiri dari petani dan
orang-orang kurang mampu. Ini kurang menjamin pertumbuhan yang
cepat. Kalau ingin melihat daerah transmigrasi tumbuh, harus
dimasukkan pula dana, teknologi, orangorang. Tukang kayu, guru,
dokter dan sebagainya. Jadi yang kita pindahkan adalah sebuah
masyarakat yang mengandung unsur-unsur pertumbuhan.
Ketiga, lokasinya jangan terlalu jauh dari jalan besar, sebab
kita melihatnya sebagai potensi pembangunan. Selain itu tiap
kelompok, misalnya 500 KK, letaknya jangan terlalu jauh. Lagi
pula kalau misalnya yang 500 KK itu menghasilkan kelebihan
beras, pedagang dari Padang dan Jambi tak tertarik
mendatanginya. Tapi kalau kelebihan itu berasal dari 5.000 KK,
tentu wajar didekati -- dijadikan usaha bisnis. Dan kaum
industrialis pun mau pula datang. Sebab siapa yang mau
mendatangi daerah kecil?
Tapi proyek yang besar tentu biayanya juga besar. Di satu pihak
proyek itu musti besar, di lain pihak harus menjamin
keberhasilan. Karena itu Presiden lalu memutuskan agar
transmigrasi jangan ditangani satu Departemen saja, tapi
bersama Departemen lain secara fungsionil. Dalam pelaksanaan
diharapkan sebanyak mungkin ikut sertanya Departemen-Departemen
teknis. Sekarang misalnya sudah ada satu direktorat yaitu
Direktorat Pembukaan Tanah yang kegiatannya dipindahkan ke PU.
Mengenai Sitiung, sudah banyak kritik. Antaranya dari ketua
Bappeda Sumatera Barat sendiri, Thamrin Nurdin. Ia menyebut
pembukaan hutan secara mekanis menghasilkan tanah yang kurus.
Harus dibedakan antara polanya dan hasil fisiknya. Untuk
mengejar waktu, dalam gerak cepat membuka tanah dengan alat-alat
besar itu memang terbawa top soil yang berharga sekali. Kelak,
yang kita mintakan perhatian ialah bila membuka tanah kita
minta alat-alat lain, bukan bulldozer. Ini urusan Departemen
Pertanian yang dalam rapat Badan Koordinasi bisa menasihatkan
Menteri Nakertrans tentang alat-alat yang layak dipakai. Nah,
dalam hal ini PU tentu menerima.
Bagaimana kerusakan permukaan tanah di Sitiung itu bisa terjadi?
Itu kan logis. Karena mengejar waktu. Biasanya soal transmigrasi
ini diberitahukan kepada Gubernur 3 tahun sebelumnya. Paling
lambat setahunlah. Kecuali ada bencana alam atau apa. Dalam
kasus Sitiung, hanya 2 bulan sebelumnya. Semua jadi kepepet.
Rencapa semula kan Rimbo Bujang, tapi ternyata di sana belum
siap. Lalu PU melihat tak jauh dari perbatasan ada Sitiung. Maka
diputuskan: bisa. Ini cras program. Keadaan tergesa kan selalu
menimbulkan efekforce majeur.
Selama Pelita II, di mana anda belun terlibat langsung,
bagaimana anda melihat transmigrasi? Berhasil atau tidak?
Ada dua hal yang harus hati-hati kita bicarakan. Dari bahan yang
saya pelajari, apa yang dilakukan di masa pak Broto saya kira
berhasil. Pertama, dalam Pelita I yang dipindahkan sekitar
25.000 KK. Selama kita merdeka sampai Pelita I, hanya mencapai
50.000 KK. Masuk Pelita II ada gambaran boom minyak. Maka
dibayangkan tentunya bisa mencapai 50.000 KK. Ini target
cita-cita lho, bukan target anggaran. Dan menurut target
anggaran Bappenas yang saya lihat, tercapai. Yaitu sekitar
51.000 KK, dua kali dari Pelita I.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo