Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tingkat polusi udara di Ibu Kota semakin memburuk setelah penanganan wabah Covid-19 berakhir.
Indeks kualitas udara di Jakarta tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Kebijakan penanganan pencemaran udara harus melibatkan daerah-daerah di sekitar Jakarta.
JAKARTA — Penularan wabah Covid-19 telah mereda. Namun Faisal Bahri, 24 tahun, memilih tetap menggunakan masker untuk beraktivitas di Ibu Kota meski pemerintah sudah tak mewajibkan lagi. “Saya pakai masker untuk menangkal polusi udara,” kata karyawan swasta yang tinggal di Jakarta Pusat ini, kemarin, 11 Agustus 2023. “Kalau enggak pakai masker, tenggorokan saya sering gatal."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Faisal, tingkat polusi udara di Jakarta semakin parah belakangan ini. Dia menduga pencemaran terjadi karena jumlah pengguna kendaraan bermotor terus bertambah. Pada jam-jam sibuk, antrean kendaraan terlihat hampir di seluruh jalan di Ibu Kota. “Ini sepertinya yang bikin polusi,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data situs IQAir—perusahaan teknologi kualitas udara Swiss— indeks kualitas udara di Jakarta mencapai angka 121, yang artinya tidak sehat bagi kelompok sensitif. Data ini terekam kemarin pada pukul 20.00. Pencemar udara utama yang ditemukan adalah partikel PM 2.5 dengan konsentrasi mencapai 43,7 mikrogram per meter kubik. Angka ini menempatkan Jakarta sebagai kota paling tercemar ketujuh di dunia.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia mengatakan, memang penderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) tahun ini menunjukkan tren peningkatan jika dibandingkan dengan tahun lalu. “Polanya kurang-lebih sama seperti pada era sebelum muncul pandemi Covid-19,” katanya. Sedangkan pada 2020/2021, tren peningkatan terjadi karena serangan wabah.
Gedung bertingkat terlihat samar akibat polusi udara di Jakarta, 11 Agustus 2023. TEMPO/ Hilman Fathurrahman W.
Plt Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Ardhasena Sopaheluwakan, mengatakan bahwa buruknya kualitas udara di Jakarta dipengaruhi siklus harian. Biasanya, polusi udara menjadi lebih pekat pada musim kemarau. "Pada saat lepas malam hingga dinihari, cenderung lebih tinggi daripada siang hingga sore," ujar Ardhasena di kantor KLHK, Jakarta Timur, kemarin.
Akibat siklus ini, permukaan langit terlihat berkabut karena adanya lapisan inversi. Lapisan inversi adalah lapisan atmosfer yang hangat, berada di atas lapisan atmosfer yang dingin. “Jadi, ketika pagi, di permukaan ini lebih dingin dibanding di lapisan atas,” katanya. Sehingga udara yang akan naik justru tertahan dan terdispersi. “Itu penjelasan mengapa udara Jakarta kelihatan keruh di bawah dibandingkan di atas.”
Penjelasan serupa disampaikan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto. Menurut dia, sepanjang 2023, kualitas udara Jakarta cukup fluktuatif. Salah satu penyebabnya adalah musim kemarau yang terjadi pada Juli-September. "Itu periode musim kemarau tertinggi, sehingga berakibat pada kondisi kualitas udara yang kurang baik," kata dia.
Untuk menangani kondisi itu, pemerintah Jakarta tengah menyusun regulasi melalui Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang pengendalian kualitas udara. Regulasi itu nanti mencakup tiga strategi, yaitu tata kelola pengendalian pencemaran udara melalui berbagai kebijakan dan regulasi serta pengurangan emisi pencemaran udara. “Nanti Dinas Perhubungan dilibatkan untuk penggunaan transportasi publik," ujarnya.
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Reliantoro, mengatakan bahwa sektor transportasi memang menjadi penyumbang emisi terbesar polusi udara di Ibu Kota, yakni sebesar 44 persen. "Sedangkan industri energi 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen," ujarnya.
Berdasarkan data itu, kata Sigit, memperbaiki kualitas udara di Jakarta akan difokuskan pada sektor transportasi. Langkah ini harus mencakup wilayah-wilayah lain di sekitar Ibu Kota. Salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah uji emisi bersama. “Pada 18 Juli, kami berkoordinasi dengan seluruh pemerintah di Jabodetabek untuk serentak melakukan uji emisi," katanya.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, guna mendukung perbaikan kualitas udara di Ibu Kota, pihaknya telah menyiapkan strategi jangka mendesak, pendek, menengah, dan panjang. Pada jangka mendesak, langkah yang disiapkan adalah mempercepat integrasi layanan angkutan umum. ”Kami mendorong mobilitas aktif pejalan kaki dengan menyediakan trotoar dan jalur sepeda yang berkesinambungan dan terintegrasi dengan semua angkutan umum di Jakarta,” kata Syafrin.
Dinas Perhubungan juga akan memberlakukan disinsentif tarif parkir di 11 kantong parkir. Dengan kebijakan itu, kendaraan yang tidak lolos uji emisi akan dikenai tarif parkir lebih tinggi.
Masalah Klasik Pencemaran Udara
Juru kampanye dan energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mengatakan bahwa pencemaran udara sudah menjadi masalah klasik di Jakarta. Sejak 2017, selalu terjadi peningkatan polutan PM 2.5 secara signifikan pada Juni, Juli, dan Agustus. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta juga mencatat, ada korelasi terbalik antara curah hujan dan PM 2.5. Pada saat curah hujan rendah, terjadi peningkatan PM 2.5. Sebaliknya, ketika saat curah hujan tinggi, tingkat PM 2.5 akan turun signifikan. "Sehingga pemerintah seharusnya sudah punya langkah antisipasi," ujar Bondan.
Greenpeace Indonesia sudah mengingatkan bahwa ada peningkatan polusi udara lintas batas di Banten, Jawa Barat, dan Jakarta. Artinya, sumber polutan dari luar Jakarta juga berkontribusi kepada Jakarta atau sebaliknya. Menurut Bondan, saat ini baru Jakarta saja yang mempublikasikan data mengendalikan sumber pencemaran udara. Data ini penting sebagai langkah-langkah mitigasi. Namun Jawa Barat dan Banten tidak membuka data itu.
Rencana pemerintah untuk menjalankan uji emisi serentak di Jabodebek, kata Bondan, belum berbasis pada data sains dan empiris. Sehingga ia sangsi langkah ini akan mampu secara signifikan menurunkan tingkat polusi udara. "Belum lagi data yang punya hanya Jakarta," ujarnya.
Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB)—lembaga pemerhati pencemaran udara di Indonesia—mencatat, pada 2019, sumber pencemaran udara 47 persen berasal dari kendaraan bermotor. Karena itu, KPBB sepakat, langkah awal penanganan emisi difokuskan pada kendaraan bermotor. "Setelah itu, baru razia emisi pabrik, power plant, pembakaran sampah, dan lain-lain," ujar Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin.
Direktur Walhi DKI Jakarta Suci Fitria Tanjung mengatakan, tahun ini merupakan tahun kedua kemenangan gugatan citizen lawsuit (CLS) atas pencemaran udara yang diputuskan di Pengadilan Negeri Jakarta pada 16 September 2021. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat pada 17 Oktober 2022. Namun, bukannya melaksanakan putusan pengadilan, Presiden Republik Indonesia serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan lebih memilih mengajukan kasasi pada awal Januari tahun ini.
Aktivis dari Koalisi Ibu Kota melakukan aksi dalam sidang pembacaan putusan gugatan terkait dengan polusi udara, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, 16 September 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Padahal kualitas udara Jakarta semakin mengkhawatirkan. Dalam dua bulan terakhir, Jakarta sempat menempati urutan pertama kota dengan kualitas udara terburuk di dunia versi data dari situs IQAir. Dari situs tersebut, diketahui bahwa indeks kualitas udara di Jakarta berada pada level 124 AQI US dengan polutan utama udara di Jakarta adalah PM 2.5 dengan konsentrasi 45 ug/m3 pada Selasa, 8 Agustus lalu. "Nilai ini sembilan kali lebih tinggi dari standar kualitas ideal WHO yang memiliki bobot konsentrasi PM 2.5 antara 0 sampai 5 mikrogram per meter kubik," ujarnya.
Dia menilai, pemerintah tidak memiliki keseriusan dalam upaya mengatasi perbaikan kualitas udara. Padahal paparan PM 2.5 dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit, bukan hanya kepada masyarakat secara umum, tapi juga masyarakat secara khusus yang rentan terhadap polusi udara.
Dalam putusan CLS Pencemaran Udara tingkat pertama, Menteri LHK telah lalai menjalankan kewajiban dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Menteri LHK diminta melakukan supervisi terhadap penjabat Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam melakukan inventarisasi emisi lintas batas provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK, Luckmi Purwandari, mengklaim bahwa pihaknya telah menjalankan perintah pengadilan atas gugatan citizen lawsuit yang diajukan Walhi tersebut. Kementerian juga menggandeng pemerintah daerah untuk menjalankan program "Langit Biru". Fokus utama program Langit Biru saat ini adalah mengendalikan pencemaran udara yang bersumber dari kendaraan. “Pemerintah daerah diberi rapor tiap tahun perihal penanganan kualitas udara di daerah masing-masing sejak 2021," ujarnya.
Adapun penilaian terhadap pemerintah daerah didasari tujuh kriteria. Di antaranya adalah adanya perencanaan penanganan kualitas udara, sumber daya, implementasi, dan inovasi. Kriteria berikutnya menyangkut pelibatan pemangku kepentingan, kondisi warga, dan publikasi.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo