Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Indonesia Di Tiga Negara

Laporan kunjungan kenegaraan presiden soeharto. di inggris kunjungan berhasil. di sri lanka terjadi penandatanganan perjanjian kerjasama teknik antara ri-sri lanka. di bangladesh disambut meriah. (nas)

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAPAT dikatakan kunjungan ini telah berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan," ujar Menteri Sekretaris Negara Sudharmono dalam pesawat terbang sebelum rombongan mendarat kembali di Jakarta pekan lalu. Dan sasaran itu adalah meningkatkan persahabatan dan membuka pintu bagi kerjasama yang lebih erat terutama di bidang ekonomi dan perdagangan. Persahabatan dan kerjasama memang bukan sesuatu yang begitu saja bisa diciptakan, tapi harus ditumbuhkan, dikembangkan dan memakan waktu. Dari keseluruhan impor Indonesia, Inggris hanya memperoleh bagian 4%. Pada 1978, ekspor Indonesia ke Inggris -- semuanya bahan mentah seperti kopi, teh, karet dan kayu -- bernilai œ 33,4 juta. Sedang impor yang berupa barang logam dan mesin-mesin mencapai œ 83,6 juta. Inggris, secara tradisional mempunyai hubungan yang lebih erat dengan negara anggota Persemakmuran seperti Malaysia dan Singapura. "Namun belakangan ini dengan makin mantapnya Asean, mulai tumbuh kesadaran akan besarnya potensi Indonesia dengan 140 juta rakyatnya," kata seorang wartawan Inggris mengomentari kunjungan Presiden Soeharto. Potensi Indonesia sebagai pasar inilah yang tampaknya dilirik Inggris. Harapan ini yang agaknya membuat koran terkemuka Inggris The Times menduga tentang bakal terbukanya Indonesia sebagai pasaran industri persenjataan Inggris setelah ekspornya ke Iran mandek. Masih Asing Kunjungan Presiden Soeharto ke Inggris ini merupakan kunjungan kenegaraan dan merupakan balasan dari kunjungan Ratu Elizabeth ke Indonesia pada 1974. Hanya dua kali dalam setahun - Juni dan November -- Inggris menerima kunjungan kenegaraan yang acaranya umumnya lebih bersifat seremonial. Namun kali ini pihak Indonesia sedikit banyak telah berhasil memasukkan beberapa acara non-seremonial, seperti pembicaraan antara Presiden dan PM Thatcher, yang menghasilkan dikeluarkannya pernyataan bersama singkat. Buat sebagian besar rakyat Inggris, Indonesia memang masih merupakan suatu negara yang jauh dan asing. Perundingan tentang masalah Zimbabwe dan pemilihan Miss World yang pada waktu bersamaan berlangsung di London lebih menarik perhatian pers Inggris. Menlu Mochtar Kusumaatmadja secara bergurau menganggap kurangnya pemberitaan pers Inggris pada kunjungan Presiden Soeharto ini sebagai sesuatu yang, "malah baik, karena itu berarti tidak ada persoalan di antara kedua negara." Namun tampaknya usaha penerangan Indonesia di luar negeri sangat perlu ditingkatkan, terutama untuk mengimbangi pemberitaan sepihak yang merugikan Indonesia. Contohnya: Komite Internasional dari Partai Buruh Inggris sebelum kunjungan Presiden Soeharto secara bulat mengesahkan resolusi menyerukan semua anggotanya untuk "mengutuk dan memboikot" kunjungan ini. Alasannya: "Presiden Soeharto memimpin pemerintahan militer yang represif dan telah menahan ratusan ribu tahanan politik dan telah menduduki Timor Timur pada 1975." Bekas PM Callaghan, pemimpin partai Buruh, nyatanya tetap menghadiri Jamuan Kenegaraan yang diselenggarakan Ratu untuk menghormati Presiden Soeharto. London juga pusat beberapa organisasi anti-lndonesia. Demonstrasi sekitar 200 orang -- sebagian juga orang Indonesia -- di depan Guildhall pada 14 November lalu yang diatur organisasi Tapol, Liberation dan BCIET (British Campaign for an Independent East Timor) yang secara seenaknya menuduh adanya pembunuhan massal di Indonesia menunjukkan perlu digalakkannya ofensif penerangan luar negeri. Terdengarnya teriakan "Hidup PKI" dari para demonstran menunjukkan adanya permainan komunis dalam organisasi itu. Masalah tahanan G30S/PKI dan Timor Timur memang merupakan hal yang peka dan selalu dijadikan sasaran empuk bagi golongan anti Indonesia. Tiga perempat dari pertanyaan yang diajukan dalam konperensi pers Menlu Mochtar di London berkisar pada masalah ini. Simpang siur pernyataan yang di masa lalu terkadang diberikan para pejabat Indonesia lebih menyulitkan keadaan. Satu hasil sampingan yang positif dari kunjungan ke Inggris ini adalah pertemuan Menlu Mochtar dengan Sekjen Amnesty International Martin Ennals. Indonesia tampaknya telah bisa menerima bahwa organisasi yang didirikan kelompok ahli hukum ini memang murni organisasi pembela hak asasi manusia dan bukan "telah disusupi komunis" seperti pernah dituduhkan. Martin Ennals mengatakan, Menlu Mochtar telah memberi jaminan bahwa semua tahanan G30S/PKI golongan B, termasuk sastrawan Pramudya Ananta Toer, akan dibebaskan sebelum akhir tahun ini. Ini mungkin bisa menjadi ganjalan. Dalam keterangannya pekan lalu, Kepala Staf Kopkamtib/Kepala Bakin Jenderal Yoga Sugama mengatakan ada 41 tahanan golongan B yang belum dibebaskan karena belum memenuhi persyaratan. Mereka ini dipindahkan penahannya dari Buru ke Jawa dan kabarnya telah diturunkan di Surabaya sekitar 2 pekan lalu. Bagaimana meyakinkan dunia luar bahwa masalah ini merupakan masalah keamanan dalam negeri, terutama setelah adanya jaminan Menlu Mochtar, adalah hal yang perlu segera diselesaikan. Yang bisa disimpulkan: keberhasilan kunjungan Presiden Soeharto itu tampaknya harus disusul dengan usaha memberi isi konkrit hubungan kedua negara, termasuk dari kalangan swasta. "Perusahaan asuransi saya telah beberapa tahun berusaha di Indonesia. Baru setelah kunjungan Presiden Soeharto ini saya tertarik ingin mengunjungi Indonesia," kata seorang usahawan Inggris dalam jamuan makan malam di Guildhall. Sri Lanka Mengunjungi Sri Lanka dan Bangladesh bisa membuat kita sadar, betapa beruntungnya Indonesia yang cukup kaya dengan minyak bumi. Di Sri Lanka, usaha perubahan radikal pemerintah Ny. Sirimavo Bandaranaike di bidang sosial dan ekonomi terpukul oleh krisis minyak internasional. Hal itu yang terutama membuat kemenangan Partai Persatuan Nasional pada pemilihan 1977 yang memunculkan J. R. Jayewardene sebaai pimpinan nasional baru. Gebrakan Jayewardene cukup meyakinkan. Suatu Undang-undang Dasar baru dibuat yang mengubah negeri ini menjadi Republik Demokrasi Sosialis Sri Lanka. Sistim pemerintahan diubah menjadi kabinet presidensiil yang menimbulkan kritik kaum oposisi menuduh Jayewardene memerintah secara otoriter. Toh usaha pembangunan di bidang ekonomi menunjukkan kemajuan. Teh, karet dan kelapa merupakan sumber penerimaan devisa yang utama, disusul pariwisata. Tapi impor minyak yang sebesar hampir 25% dari keseluruhan impor menyedot banyak devisa yang sangat diperlukan itu. Terjaminnya suplai minyak bagi Sri Lanka merupakan hal yang dianggap sangat penting. Sebelum kedatangan Presiden Soeharto, telah diberitakan di Kolombo bahwa Indonesia bersedia menjual 360.000 ton minyak tahun depan pada Sri Lanka. "Berita itu tidak berdasar," bantah seorang pejabat Indonesia kemudian. Sebagian besar produksi minyak Indonesia telah terikat pemasarannya. Pada beberapa negara Asean pun Indonesia hanya bisa menjual sampai 5000 barrel/hari. Hingga ditaksir Indonesia hanya bisa menjual sekitar 2000 barrel/hari pada Sri Lanka. "Saya mendapat teguran dari atasan karena mengecam Ayatullah Khomeini," cerita seorang wartawan Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka mengkhawatirkan, kritik itu bisa menggusarkan pemerintah Iran hingga suplai minyak buat Sri Lanka bisa terganggu. Cerita itu melukiskan betapa susahnya kedudukan Sri Lanka sebagai suatu negara yang tak menghasilkan minyak. Tapi ada sesuatu yang menyegarkan di Sri Lanka. Sepintas memang bisa timbul kesan itu sebuah ncgara miskin. Taksi-taksi Austin tua yang berseliweran, antrian yang panjang dan tertib menunggu bis kota dan tubuh-tubuh hitam dibungkus sarung tanpa baju. Tapi terpancar kesederhanaan yang menyolok. Negeri ini belum jatuh pada pola kehidupan konsumtif yang berlebihan. Siaran televisi misalnya baru dimulai tahun ini. Mungkin "keaslian" ini yang mengundang banyaknya wisatawan asing ke Sri Lanka. Selain 2,6 juta suku Tamil dari keseluruhan 14 juta penduduk Sri Lanka, terdapat sekitar 50 ribu keturunan Jawa/Melayu. Di samping ikatan solidaritas non-blok yang ada sejak 1954 (saat diselenggarakannya konperensi Kolombo menjelang konperensi Asia-Afrika 1955 di Bandung), kehadiran keturunan Melayu inilah yang mempererat hubungan kedua negara. Ditandatanganinya perjanjian kerjasama teknik antara RI - Sri Lanka bisa dianggap titik tolak keinginan meningkatkan kerjasama. Indonesia telah mengekspor semen, kayu dan asbes semen ke Sri Lanka. Yang menarik Sri Lanka mengharapkan Indonesia bersedia menandm modal di daerah perdagangan bebas Sri Lanka berupa tempat pembungkusan semen. Semennya sendiri didatangkan secara curahan. Pihak Indonesia menurut Menlu Mochtar menganggap tawaran ini usul konkrit yang baru yang akan dipelajari dulu. Bangladesh Cara Republik Rakyat Bangladesh menyambut kunjungan Presiden Soeharto mengingatkan Indonesia pada 1960-an. Puluhan ribu pelajar dan masyarakat, bendera serta hiasan lain memenuhi hampir 10 km ja]an dari bandar udara Tejgaon, Dakka sampai Istana Kepresidenan Bangabhaban. Konon ini merupakan sambutan paling meriah yang pernah diberikan pada tamu asing. "Bangladesh mirip Indonesia di awal tahun 1950-an," cerita seorang agronomis Indonesia yang bertugas di negeri ini sejak 1976. Sekitar 85% dari 86,7 juta penduduk beragama Islam dan 91,2% di antaranya tinggal di pedesaan. Ekspor utama (68,79%) dari negara yang lahir pada 1971 ini adalah jute dan sebagian besar devisa digunakan untuk mengimpor beras yang tahun ini mencapai hampir 3 juta ton. Di bidang politik, usaha stabilisasi dan penataan kembali Presiden Ziaur Rahman yang memerintah sejak 1977 tampak berhasil. Partainya, Bangladesh Nationalist Party menguasai Parlemen secara mutlak. Masalah pangan adalah yang paling peka hingga politik yang menguasai negeri ini adalah "politik pangan". Peningkatan produksi pangan sekaligus pembangunan pedesaan merupakan rencana utama. Pelita I Bangladesh berakhir pada 1977. Menjelang Pelita II yang dimulai pada 1980, diadakan masa transisi berupa Rencana Dua Tahun. Presiden Ziaur Rahman saat ini sibuk mengunjungi segenap pelosok negerinya sambil mencanangkan "Revolusi"nya: membangun pedesaan. Tampaknya tujuan utamanya adalah membangkitkan semangat rakyat yang apatis dan memberi motivasi baru bagi gerakan pembangunan. Rencana Bangladesh memang ambisius. Walau sering dilanda bencana banjir dan kekeringan, produksi pangan yang sekarang mencapai hampir 13 juta ton diharapkan akan bisa surplus dan mengekspor beras mulai 1982. Gas alam memang cukup, tapi tiadanya minyak bumi tampaknya masih tetap akan menyulitkan negara ini. Yang lebih sulit, 70% kehidupan ekonomi tergantung bantuan asing. Betapapun kemajuan ekonomi masih tampak. Antara 1977-1978 pertumbuhan ekonomi mencapai 8% dibanding 1,7% pada tahun sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus