Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAPAT dikatakan kunjungan ini telah berhasil mencapai sasaran
yang ditetapkan," ujar Menteri Sekretaris Negara Sudharmono
dalam pesawat terbang sebelum rombongan mendarat kembali di
Jakarta pekan lalu. Dan sasaran itu adalah meningkatkan
persahabatan dan membuka pintu bagi kerjasama yang lebih erat
terutama di bidang ekonomi dan perdagangan.
Persahabatan dan kerjasama memang bukan sesuatu yang begitu saja
bisa diciptakan, tapi harus ditumbuhkan, dikembangkan dan
memakan waktu. Dari keseluruhan impor Indonesia, Inggris hanya
memperoleh bagian 4%. Pada 1978, ekspor Indonesia ke Inggris --
semuanya bahan mentah seperti kopi, teh, karet dan kayu --
bernilai œ 33,4 juta. Sedang impor yang berupa barang logam dan
mesin-mesin mencapai œ 83,6 juta.
Inggris, secara tradisional mempunyai hubungan yang lebih erat
dengan negara anggota Persemakmuran seperti Malaysia dan
Singapura. "Namun belakangan ini dengan makin mantapnya Asean,
mulai tumbuh kesadaran akan besarnya potensi Indonesia dengan
140 juta rakyatnya," kata seorang wartawan Inggris mengomentari
kunjungan Presiden Soeharto. Potensi Indonesia sebagai pasar
inilah yang tampaknya dilirik Inggris. Harapan ini yang agaknya
membuat koran terkemuka Inggris The Times menduga tentang bakal
terbukanya Indonesia sebagai pasaran industri persenjataan
Inggris setelah ekspornya ke Iran mandek.
Masih Asing
Kunjungan Presiden Soeharto ke Inggris ini merupakan kunjungan
kenegaraan dan merupakan balasan dari kunjungan Ratu Elizabeth
ke Indonesia pada 1974. Hanya dua kali dalam setahun - Juni dan
November -- Inggris menerima kunjungan kenegaraan yang acaranya
umumnya lebih bersifat seremonial. Namun kali ini pihak
Indonesia sedikit banyak telah berhasil memasukkan beberapa
acara non-seremonial, seperti pembicaraan antara Presiden dan PM
Thatcher, yang menghasilkan dikeluarkannya pernyataan bersama
singkat.
Buat sebagian besar rakyat Inggris, Indonesia memang masih
merupakan suatu negara yang jauh dan asing. Perundingan tentang
masalah Zimbabwe dan pemilihan Miss World yang pada waktu
bersamaan berlangsung di London lebih menarik perhatian pers
Inggris. Menlu Mochtar Kusumaatmadja secara bergurau menganggap
kurangnya pemberitaan pers Inggris pada kunjungan Presiden
Soeharto ini sebagai sesuatu yang, "malah baik, karena itu
berarti tidak ada persoalan di antara kedua negara." Namun
tampaknya usaha penerangan Indonesia di luar negeri sangat perlu
ditingkatkan, terutama untuk mengimbangi pemberitaan sepihak
yang merugikan Indonesia.
Contohnya: Komite Internasional dari Partai Buruh Inggris
sebelum kunjungan Presiden Soeharto secara bulat mengesahkan
resolusi menyerukan semua anggotanya untuk "mengutuk dan
memboikot" kunjungan ini. Alasannya: "Presiden Soeharto memimpin
pemerintahan militer yang represif dan telah menahan ratusan
ribu tahanan politik dan telah menduduki Timor Timur pada 1975."
Bekas PM Callaghan, pemimpin partai Buruh, nyatanya tetap
menghadiri Jamuan Kenegaraan yang diselenggarakan Ratu untuk
menghormati Presiden Soeharto.
London juga pusat beberapa organisasi anti-lndonesia.
Demonstrasi sekitar 200 orang -- sebagian juga orang Indonesia
-- di depan Guildhall pada 14 November lalu yang diatur
organisasi Tapol, Liberation dan BCIET (British Campaign for an
Independent East Timor) yang secara seenaknya menuduh adanya
pembunuhan massal di Indonesia menunjukkan perlu digalakkannya
ofensif penerangan luar negeri. Terdengarnya teriakan "Hidup
PKI" dari para demonstran menunjukkan adanya permainan komunis
dalam organisasi itu.
Masalah tahanan G30S/PKI dan Timor Timur memang merupakan hal
yang peka dan selalu dijadikan sasaran empuk bagi golongan anti
Indonesia. Tiga perempat dari pertanyaan yang diajukan dalam
konperensi pers Menlu Mochtar di London berkisar pada masalah
ini. Simpang siur pernyataan yang di masa lalu terkadang
diberikan para pejabat Indonesia lebih menyulitkan keadaan.
Satu hasil sampingan yang positif dari kunjungan ke Inggris ini
adalah pertemuan Menlu Mochtar dengan Sekjen Amnesty
International Martin Ennals. Indonesia tampaknya telah bisa
menerima bahwa organisasi yang didirikan kelompok ahli hukum ini
memang murni organisasi pembela hak asasi manusia dan bukan
"telah disusupi komunis" seperti pernah dituduhkan.
Martin Ennals mengatakan, Menlu Mochtar telah memberi jaminan
bahwa semua tahanan G30S/PKI golongan B, termasuk sastrawan
Pramudya Ananta Toer, akan dibebaskan sebelum akhir tahun ini.
Ini mungkin bisa menjadi ganjalan. Dalam keterangannya pekan
lalu, Kepala Staf Kopkamtib/Kepala Bakin Jenderal Yoga Sugama
mengatakan ada 41 tahanan golongan B yang belum dibebaskan
karena belum memenuhi persyaratan. Mereka ini dipindahkan
penahannya dari Buru ke Jawa dan kabarnya telah diturunkan di
Surabaya sekitar 2 pekan lalu. Bagaimana meyakinkan dunia luar
bahwa masalah ini merupakan masalah keamanan dalam negeri,
terutama setelah adanya jaminan Menlu Mochtar, adalah hal yang
perlu segera diselesaikan.
Yang bisa disimpulkan: keberhasilan kunjungan Presiden Soeharto
itu tampaknya harus disusul dengan usaha memberi isi konkrit
hubungan kedua negara, termasuk dari kalangan swasta.
"Perusahaan asuransi saya telah beberapa tahun berusaha di
Indonesia. Baru setelah kunjungan Presiden Soeharto ini saya
tertarik ingin mengunjungi Indonesia," kata seorang usahawan
Inggris dalam jamuan makan malam di Guildhall.
Sri Lanka
Mengunjungi Sri Lanka dan Bangladesh bisa membuat kita sadar,
betapa beruntungnya Indonesia yang cukup kaya dengan minyak
bumi. Di Sri Lanka, usaha perubahan radikal pemerintah Ny.
Sirimavo Bandaranaike di bidang sosial dan ekonomi terpukul oleh
krisis minyak internasional. Hal itu yang terutama membuat
kemenangan Partai Persatuan Nasional pada pemilihan 1977 yang
memunculkan J. R. Jayewardene sebaai pimpinan nasional baru.
Gebrakan Jayewardene cukup meyakinkan. Suatu Undang-undang Dasar
baru dibuat yang mengubah negeri ini menjadi Republik Demokrasi
Sosialis Sri Lanka. Sistim pemerintahan diubah menjadi kabinet
presidensiil yang menimbulkan kritik kaum oposisi menuduh
Jayewardene memerintah secara otoriter.
Toh usaha pembangunan di bidang ekonomi menunjukkan kemajuan.
Teh, karet dan kelapa merupakan sumber penerimaan devisa yang
utama, disusul pariwisata. Tapi impor minyak yang sebesar hampir
25% dari keseluruhan impor menyedot banyak devisa yang sangat
diperlukan itu. Terjaminnya suplai minyak bagi Sri Lanka
merupakan hal yang dianggap sangat penting. Sebelum kedatangan
Presiden Soeharto, telah diberitakan di Kolombo bahwa Indonesia
bersedia menjual 360.000 ton minyak tahun depan pada Sri Lanka.
"Berita itu tidak berdasar," bantah seorang pejabat Indonesia
kemudian. Sebagian besar produksi minyak Indonesia telah terikat
pemasarannya. Pada beberapa negara Asean pun Indonesia hanya
bisa menjual sampai 5000 barrel/hari. Hingga ditaksir Indonesia
hanya bisa menjual sekitar 2000 barrel/hari pada Sri Lanka.
"Saya mendapat teguran dari atasan karena mengecam Ayatullah
Khomeini," cerita seorang wartawan Sri Lanka. Pemerintah Sri
Lanka mengkhawatirkan, kritik itu bisa menggusarkan pemerintah
Iran hingga suplai minyak buat Sri Lanka bisa terganggu. Cerita
itu melukiskan betapa susahnya kedudukan Sri Lanka sebagai suatu
negara yang tak menghasilkan minyak.
Tapi ada sesuatu yang menyegarkan di Sri Lanka. Sepintas memang
bisa timbul kesan itu sebuah ncgara miskin. Taksi-taksi Austin
tua yang berseliweran, antrian yang panjang dan tertib menunggu
bis kota dan tubuh-tubuh hitam dibungkus sarung tanpa baju. Tapi
terpancar kesederhanaan yang menyolok. Negeri ini belum jatuh
pada pola kehidupan konsumtif yang berlebihan. Siaran televisi
misalnya baru dimulai tahun ini. Mungkin "keaslian" ini yang
mengundang banyaknya wisatawan asing ke Sri Lanka.
Selain 2,6 juta suku Tamil dari keseluruhan 14 juta penduduk Sri
Lanka, terdapat sekitar 50 ribu keturunan Jawa/Melayu. Di
samping ikatan solidaritas non-blok yang ada sejak 1954 (saat
diselenggarakannya konperensi Kolombo menjelang konperensi
Asia-Afrika 1955 di Bandung), kehadiran keturunan Melayu inilah
yang mempererat hubungan kedua negara.
Ditandatanganinya perjanjian kerjasama teknik antara RI - Sri
Lanka bisa dianggap titik tolak keinginan meningkatkan
kerjasama. Indonesia telah mengekspor semen, kayu dan asbes
semen ke Sri Lanka. Yang menarik Sri Lanka mengharapkan
Indonesia bersedia menandm modal di daerah perdagangan bebas
Sri Lanka berupa tempat pembungkusan semen. Semennya sendiri
didatangkan secara curahan. Pihak Indonesia menurut Menlu
Mochtar menganggap tawaran ini usul konkrit yang baru yang akan
dipelajari dulu.
Bangladesh
Cara Republik Rakyat Bangladesh menyambut kunjungan Presiden
Soeharto mengingatkan Indonesia pada 1960-an. Puluhan ribu
pelajar dan masyarakat, bendera serta hiasan lain memenuhi
hampir 10 km ja]an dari bandar udara Tejgaon, Dakka sampai
Istana Kepresidenan Bangabhaban. Konon ini merupakan sambutan
paling meriah yang pernah diberikan pada tamu asing.
"Bangladesh mirip Indonesia di awal tahun 1950-an," cerita
seorang agronomis Indonesia yang bertugas di negeri ini sejak
1976. Sekitar 85% dari 86,7 juta penduduk beragama Islam dan
91,2% di antaranya tinggal di pedesaan. Ekspor utama (68,79%)
dari negara yang lahir pada 1971 ini adalah jute dan sebagian
besar devisa digunakan untuk mengimpor beras yang tahun ini
mencapai hampir 3 juta ton.
Di bidang politik, usaha stabilisasi dan penataan kembali
Presiden Ziaur Rahman yang memerintah sejak 1977 tampak
berhasil. Partainya, Bangladesh Nationalist Party menguasai
Parlemen secara mutlak. Masalah pangan adalah yang paling peka
hingga politik yang menguasai negeri ini adalah "politik
pangan".
Peningkatan produksi pangan sekaligus pembangunan pedesaan
merupakan rencana utama. Pelita I Bangladesh berakhir pada 1977.
Menjelang Pelita II yang dimulai pada 1980, diadakan masa
transisi berupa Rencana Dua Tahun. Presiden Ziaur Rahman saat
ini sibuk mengunjungi segenap pelosok negerinya sambil
mencanangkan "Revolusi"nya: membangun pedesaan. Tampaknya
tujuan utamanya adalah membangkitkan semangat rakyat yang apatis
dan memberi motivasi baru bagi gerakan pembangunan.
Rencana Bangladesh memang ambisius. Walau sering dilanda bencana
banjir dan kekeringan, produksi pangan yang sekarang mencapai
hampir 13 juta ton diharapkan akan bisa surplus dan mengekspor
beras mulai 1982. Gas alam memang cukup, tapi tiadanya minyak
bumi tampaknya masih tetap akan menyulitkan negara ini. Yang
lebih sulit, 70% kehidupan ekonomi tergantung bantuan asing.
Betapapun kemajuan ekonomi masih tampak. Antara 1977-1978
pertumbuhan ekonomi mencapai 8% dibanding 1,7% pada tahun
sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo