Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLITIK di Riau bagaikan Sungai Siak yang membelah Kota Pekanbaru. Permukaannya tenang, tapi arus di bawah sangat deras. Kali ini arus politik itu terasa dalam proses pemilihan gubernur, yang berlangsung awal pekan ini. Peristiwa ini jadi penting karena inilah gambaran, yang tegang, tentang bagaimana sebuah provinsi di Indonesia sekali lagi berusaha memilih gubernurnya sendiri -- dengan atau tanpa ditentukan oleh Jakarta. Pada sidang istimewa DPRD Senin pekan ini, Soeripto, seorang mayor jenderal pensiunan yang kini gubernur, sudah diramalkan akan menang kembali. Ia dipersaingkan dengan Rivaie Rachman -- Ketua Golkar Riau -- dan Ibrahim Arsyad yang kini Inspektur Wilayah Provinsi. Kata ''dipersaingkan'' memang harus dipakai karena sebenarnya calon-calon tersebut masing-masing tidak bersaing seperti layaknya dalam pemilihan. Semua orang tahu, jalan Soeripto rapi dan mudah. Sebagian besar anggota sudah berpadu-suara untuk memilihnya. Tak berarti bahwa semuanya beres. Soalnya di Riau ini sudah pernah ada peristiwa yang mengejutkan, dan sampai kini diingat orang sebagai tindakan keberanian. Itu terjadi pada tahun 1985. Pada pemilihan Gubernur Riau delapan tahun lalu itu seorang calon yang tak diduga-duga, Ismail Suko, berhasil mengalahkan calon yang sudah direstui dari atas, Imam Munandar. Ini, kata pelbagai sumber, berkat adanya kesepakatan rahasia di antara anggota dewan untuk membelot. Ismail Suko memang kemudian didesak mundur. Imam Munandar, yang kemudian dimenangkan, tak sampai merampungkan masa jabatannya. Ia sakit dan meninggal. Bila hal seperti itu terjadi pada pemilihan Gubernur Riau kali ini, dan Rivaie Rachman, Ketua Golkar Riau itu, mengalahkan Soeripto, ini bisa diduga karena suara yang menentang Soeripto berhasil menggerilya DPRD setempat. Suara penentang itu, menurut sebuah sumber, terdiri dari orang-orang yang bersimpati kepada dua putra daerah yang sebelumnya gagal masuk daftar calon gubernur, yakni Brigjen Syarwan Hamid (kini Kepala Pusat Penerangan ABRI) dan Firdaus Malik (kini wakil gubernur). Pendukung Syarwan dan Firdaus cukup aktif, setidaknya bila dilihat dari surat yang masuk ke DPRD. Dari 565 pucuk surat, 270 menghendaki Syarwan Hamid menjadi gubernur. Firdaus Malik memperoleh 149 surat, dan Soeripto mendapatkan 136 surat. Surat semacam itu tentu saja tak punya kekuatan politik ataupun hukum. Dalam sidang DPRD September lalu, Syarwan Hamid tak termasuk lima bakal calon yang diajukan ke Menteri Dalam Negeri. Juga, dari tiga calon yang disetujui Jakarta 6 November lalu, tak ada nama Firdaus Malik. Tentu saja kelompok pendukung Syarwan dan Firdaus penasaran. DPRD dianggap tak mewakili aspirasi daerah. ''Putusan DPRD itu inkonstitusional, harus dibatalkan,'' kata Fauzi, seorang dosen Universitas Riau. Demonstrasi pun mulai bermunculan. Sejumlah mahasiswa mendatangi kantor DPRD Riau dan DPR di Jakarta. Bahkan, Rabu pekan lalu, dengan menggunakan protes terhadap SDSB sebagai perisai, di depan kantor gubernur beberapa ratus demonstran berteriak mengecam DPRD. Kaum demonstran juga menuntut agar nama Soeripto digusur. Tak jelas adakah kelompok pendukung Syarwan dan Firdaus berada di balik itu. Yang diketahui, setelah jago mereka terpental, mereka menghendaki agar Rivaie Rachman-lah yang dipilih menjadi gubernur. Itulah sebabnya mereka disebut ''ABS'' alias ''Asal Bukan Soeripto''. Dan sebuah sumber menyebutkan, kalau perlu mereka akan melakukan aksi demonstrasi lagi, dengan cara memasuki gedung DPRD pada acara pemilihan gubernur. Sementara upaya mengerahkan massa dilakukan, sekelompok tokoh masyarakat Riau bersama tokoh-tokoh Riau di Jakarta juga mempersiapkan sebuah gugatan. Melalui LBH Jakarta mereka coba menyeret DPRD Riau ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tapi rupanya LBH kurang tertarik. Meskipun demikian, masih ada pengacara LBH yang secara pribadi bersedia membantu, yakni Sukardjo Adidjojo. Terhadap hal ini, Ketua DPRD Riau, Darwis Rida, menyatakan siap kalau digugat. Sebab, baginya, keputusan yang dilakukan dewan dalam hal penentuan calon sudah dilakukan menurut prosedur. Bahwa Syarwan tak tampil, itu ada sebabnya. ''Itu karena izin dari Pangab (atasan Syarwan Hamid) tidak muncul,'' kata Darwis lagi. Sebenarnya semua fraksi sudah menjagokan Syarwan Hamid, seperti dikatakan Kolonel Chaeruddin Musthafa, anggota DPRD dari Fraksi ABRI. Tapi karena tak ada restu, makanya tak muncul dalam lima besar. Chaeruddin mengaku telah berkonsultasi ke atasan. Tapi ibaratnya Syarwan dilamar, orangtuanya tidak berkenan. Dan dalam ABRI tentu saja tak ada perbuatan kawin lari. Makanya pilihan pun jatuh ke Soeripto. Apalagi Rivaie Rachman sendiri tak berniat bertanding. Ia sudah meminta fraksi Golkar agar pandai membaca ''tanda-tanda zaman''. Maksudnya, kurang- lebih, orang harus bisa menebak -- dan jangan menampik -- gelagat ke mana jatuhnya restu dari Jakarta. ''Kalau tanda-tanda zaman sudah begitu, lalu mereka memilih saya, berarti itu me- ngorbankan saya,'' kata Rivaie terus terang. Walhasil, tampaknya hampir semua pihak ingat akan peristiwa Ismail Suko dan tak ingin mengulangi peristiwa itu. ''Kalau terulang, ya, namanya mempermalukan diri sendiri,'' kata Kolonel Chaeruddin Musthafa. Tapi tentu ada orang yang berpendapat justru sebaliknya: peristiwa Ismail Suko delapan tahun yang lalu itu malah membuat bangga orang Riau. Meskipun merepotkan. Sarluhut Napitupulu (Pekanbaru) dan Agus Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo