Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Ini 6 Poin Krusial di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Versi Baleg DPR

Willy Aditya mengungkap enam poin yang substansial dan krusial yang ada dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sehingga perlu diskusi lebih mendalam

16 Maret 2021 | 19.33 WIB

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya ditemui di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Jumat, 21 Agustus 2020. TEMPO/Budiarti Utami Putri.
Perbesar
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya ditemui di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Jumat, 21 Agustus 2020. TEMPO/Budiarti Utami Putri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya mengungkap enam poin yang substansial dan krusial yang ada dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sehingga perlu diskusi lebih mendalam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Langkah diskusi itu penting agar di satu sisi fakta kekerasan seksual yang terus meningkat dan di sisi lain kita punya beberapa adab yang tidak bisa gebyah uyah," kata Willy dalam diskusi bertajuk "Urgensi Pengesahan RUU PKS" di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa 16 Maret 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menjelaskan, poin krusial pertama, terkait definisi hasrat seksual yang terdapat dalam Pasal 1 RUU PKS yang harus benar-benar didefinisikan secara lebih arif, bijaksana, dan tepat. Kedua menurut dia, dalam Pasal 12 terkait pelecehan fisik dan non-fisik, yang mengenai sweeping sehingga harus dibicarakan tentang mekanisme kontrol masyarakat.

"Selama ini kalau ketahuan berzina, seorang ditelanjangi, dibawa keliling kampung, apa itu bentuk yang lebih beradab? Perdebatan ini keras sekali, harus dicari jalan tengah sehingga saya mengusulkan pendekatan harus berbasis sosiokultural," ujarnya.

Ketiga menurut politisi Partai NasDem itu, Pasal 15 tentang pemaksaan aborsi, yang dianggap sebagai pintu masuk legalisasi aborsi, karena itu perlu didiskusikan bagaimana bentuknya. Willy menjelaskan poin krusial keempat adalah terkait pemaksaan perkawinan yang diatur dalam Pasal 17 RUU P-KS yang dikhawatirkan terjadi benturan pandangan di masyarakat.

"Kelima, dalam Pasal 18 terkait pemaksaan pelacuran, kalau anggota Baleg yang menolak mengatakan kalau ada pemaksaan pelacuran maka artinya sepakat dengan legalisasi prostitusi," katanya.

Poin keenam menurut Willy, dalam Pasal 19 tentang perbudakan seksual, yang terkait dengan relasi perkawinan sehingga harus meletakan-nya secara clear and clean, mana yang menjadi domain privat dan publik.

Dia mengatakan sejauh ini kekerasan seksual banyak terjadi dalam rumah tangga atau domain privat, namun harus jujur dikatakan bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi di rumah tangga bahkan di tempat-tempat yang dianggap sakral seperti di pesantren dan gereja.

"Kita tidak boleh menutup mata, kita harus definisikan dengan baik. Masa negara turut mengatur urusan ranjang, kan narasi yang berkembang di publik seperti itu, kita harus mampu mendefinisikan itu," tutur-nya.

Willy menegaskan bahwa Baleg DPR membuka diri seluas-luasnya menerima masukan publik dan kajian-kajian akademis Soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dilakukan masyarakat.

Baca: Baleg Sebut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Mendesak Disahkan

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus