Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bulat di Jaksa Agung Setelah Tarik-Ulur

Sempat tarik-ulur, pengelola aset kejahatan dalam RUU Perampasan Aset akhirnya adalah Jaksa Agung. Frasa "pejabat publik" hilang.

12 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tugas dan wewenang pengelolaan aset sangat luas sehingga berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

  • Diduga ada kepentingan tertentu di balik penghilangan frasa “pejabat publik” dalam draf RUU Perampasan Aset teranyar.

  • Dalam RUU Perampasan Aset perlu juga diatur soal keadilan bagi korban.

JAKARTA – Tiga lembaga pemerintah sempat tarik-ulur mengenai pengelola aset hasil rampasan yang diakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Ketiga lembaga itu adalah Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yunus Husein, tim perumus naskah akademik RUU Perampasan Aset, mengatakan tarik-ulur soal pengelola aset ini memang mengemuka sejak awal pembahasan pada 2015. Perdebatan itu terus mengerucut hingga memasuki tahap finalisasi draf di tingkat pemerintah, April lalu.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Perdebatan soal pengelola aset ini memang sudah terjadi sejak pembahasan draf awal," kata Yunus, Sabtu, 10 Juni 2023.

Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini mengatakan ketiga lembaga sama-sama mengklaim memiliki kemampuan dan sumber daya sebagai pengelola aset. Misalnya, Kementerian Hukum dan HAM memiliki Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), Kementerian Keuangan mempunyai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, serta Kejaksaan Agung memiliki Pusat Pemulihan Aset yang berada di bawah Jaksa Agung Muda Pembinaan. 

"Ada juga opsi membentuk lembaga pengelola aset," ujar Yunus.

Dalam rapat finalisasi draf RUU, kata Yunus, Kementerian Hukum dan HAM mengalah. Alasannya, personel dan anggaran Rupbasan terbatas. Selanjutnya, pemerintah menyepakati pengelola aset diserahkan ke Kejaksaan Agung. 

"Kejaksaan ditunjuk karena mereka punya jaksa pengacara negara. Kemenkeu terima-terima saja," ujar Yunus. Meski begitu, Yunus khawatir keputusan tersebut akan menimbulkan masalah ketika kejaksaan mengelola aset dari proses awal hingga akhir.

Hasil finalisasi itulah yang diserahkan Presiden Joko Widodo ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 4 Mei lalu. Setelah menerima surat presiden, DPR hingga kini belum mengagendakan pembahasannya. Padahal pemerintah awalnya menargetkan RUU itu bisa disahkan menjadi undang-undang pada Juni tahun ini.

Barang bukti 1 unit mobil Rubicon dengan plat palsu yang dikendarai Mario Dandy Satrio saat menganiaya David disita Polres Jakarta Selatan, 24 Februari 2023. Tempo/Febri Angga Palguna

Sesuai dengan draf RUU Perampasan Aset versi April 2023, tugas dan wewenang pengelolaan aset meliputi penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, dan pengembalian aset tindak pidana.

Yunus berpendapat, tugas dan wewenang pengelolaan aset memang sangat luas serta berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan. "Bukan hanya soal sita, nanti dikelola. Kalau ingin dijual, bisa dijual," ujarnya. Ia berharap ada kontrol dari lembaga negara terhadap pengelolaan aset ini.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, mengakui pihaknya memang mengusulkan sebagai pengelola aset. Ia berharap, setelah RUU Perampasan Aset disahkan, Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung naik status menjadi Badan Pemulihan Aset. Pendirian badan ini dianggap sejalan dengan Undang-Undang Kejaksaan. 

"Jadi, kewenangan yang ada pada undang-undang nanti dapat diakselerasi dan diakomodasi," kata Ketut, kemarin.

Kepala Bagian Humas Kementerian Hukum dan HAM, Tubagus Erif Faturahman, belum membalas permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Adapun Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mengaku belum mengetahui isi draf terbaru tersebut. Meski begitu, Kementerian Keuangan mendukung pelaksanaan undang-undang tersebut nantinya. 

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan, menganggap penunjukan kejaksaan sebagai pengelola aset tidak tepat karena fungsi utamanya adalah penegak hukum. Ia khawatir sikap pemerintah ini akan menuai polemik dan perdebatan. 

"Jika mengacu pada rezim pengelolaan aset negara, Kementerian Keuangan yang sebetulnya punya kewenangan untuk mengelola barang milik negara," kata Yuris.

Menghapus Frasa 'Pejabat Publik'

Draf RUU Perampasan Aset yang dibuat pada 2015 masih memuat frasa "pejabat publik" dalam Pasal 2 huruf k. Pasal ini mengatur bahwa aset tindak pidana yang dapat dirampas adalah aset pejabat publik yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat dibuktikan asal-usul perolehannya secara sah.

Namun, dalam draf RUU Perampasan Aset versi 2022 ataupun April 2023, frasa "pejabat publik" dihapus. Lalu pada bagian akhir ditambahkan “dan diduga terkait dengan aset tindak pidana".

Yunus Husein mengatakan frasa "pejabat publik" memang sengaja dihapus agar jangkauannya lebih luas. Sebab, pelaku tidak hanya berasal dari pejabat publik, tapi juga pihak swasta.

"Kami akan gunakan untuk semua tindak pidana. Maka, kami hapuskan kata 'pejabat publik'," ujarnya.

Menurut Yunus, undang-undang ini nantinya diharapkan dapat merampas aset meski pelaku belum dihukum bersalah, dengan catatan cukup bukti. Lalu negara juga bisa merampas kekayaan tidak wajar, padahal pekerjaan pelaku biasa saja. "Seperti kasus Rafael Alun (pejabat Direktorat Jenderal Pajak)," katanya.

Selain menghilangkan frasa tersebut, draf akhir RUU Perampasan Aset menghapus beberapa pasal substansi. Misalnya, Pasal 2 ayat 1 huruf g dan h. Pasal 2 ayat 1 huruf g mengatur bahwa aset tindak pidana yang dapat dirampas adalah aset tersangka atau terdakwa yang meninggal, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya saat penyidikan atau peradilan, yang diperoleh dari tindak pidana atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Lalu huruf h mengatur soal aset yang terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan, tapi asetnya digunakan untuk kejahatan. Kedua ketentuan tersebut tidak ada dalam draf RUU versi 2022 dan April 2023. 

Praktisi hukum Febri Diansyah menduga ada kepentingan tertentu di balik penghilangan frasa "pejabat publik" dan penghapusan beberapa pasal dalam draf RUU Perampasan Aset versi 2015. Padahal versi itu sejalan dengan semangat Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi.

Febri juga menyarankan agar Undang-Undang Perampasan Aset nantinya mengatur keadilan bagi korban. Ia melihat draf versi teranyar tak memisahkan secara jelas hak penerima aset dari perampasan aset tersebut. "Seharusnya ditegaskan, hasil perampasan asetnya untuk negara atau dikembalikan kepada korban," kata dia.

Adapun Yuris Rezha Kurniawan berharap pemerintah dan DPR membuka draf final RUU Perampasan Aset tersebut. Meski RUU ini mendapat dukungan publik untuk segera disahkan, kata Yuris, prinsip partisipasi publik tetap tidak boleh ditinggalkan. 

"Memang sudah ada draf RUU Perampasan Aset yang beredar di publik, tapi publik tidak mendapat kepastian apakah itu draf yang sama dengan yang sedang diajukan ke DPR," ujar Yuris.

HENDRIK YAPUTRA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus