Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, mengatakan lembaganya mendapat laporan ada guru honorer di DKI Jakarta yang diputus kontraknya secara sepihak dengan cleansing honor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sistem ini membuat guru honorer mengisi link pemecatannya sendiri yang dikirim berantai dari kepala sekolah. Kebijakan itu diduga berasal dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta.
“Secara mendadak kemarin anggota kami di DKI Jakarta di wilayah provinsi itu melaporkan tanggal 5 Juli diberitahu oleh kepala sekolahnya. Sejak hari itu sekolah tidak bisa lagi mempertahankan guru honorer di sekolah,” kata Iman, pada 14 Juli 2024.
Kejadian ini menambah daftar permasalahan yang dialami oleh guru honorer. Pasalnya, guru honorer sudah mengalami beragam permasalahan sebelum adanya sistem cleansing. Berikut adalah daftar permasalahan yang dialami guru honorer selain cleansing.
1. Kebutuhan Guru Belum Seimbang dengan Pemenuhan Optimal
Kebijakan rekrutmen guru ASN masih terpusat dengan frekuensi terbatas yang membuka peluang sekolah mengisi kekosongan dengan guru honorer. Biasanya, penerimaan guru honorer ditetapkan langsung oleh kepala sekolah sehingga jumlahnya tidak terkendali.
Menurut Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Ristek, Nunuk Suryani, pemenuhan guru dalam satuan pendidikan belum berjalan optimal. Pemerintah daerah dan satuan pendidikan merekrut guru honorer dengan kualifikasi akademik, kualitas, dan kompetensi yang belum terjamin dan gaji tidak terstandar.
2. Pendapatan Guru Honorer Tidak Sesuai Beban Kerja
Pendapatan guru honorer tidak sesuai dengan beban kerja dan status pekerjaan. Sebab, dalam kenyataan, guru honorer memiliki tugas dan tanggung jawab sama dengan guru ASN. Namun, gaji guru honorer dari dana BOS, DAU, atau sumbangan orang tua siswa sangat rendah daripada ASN. Bahkan, sebagian besar guru honorer menerima pendapatan di bawah upah minimum dengan pembayaran berdasarkan pencairan dana BOS selama tiga bulan sekali.
3. Sulit Mendapatkan Fasilitas dan Jenjang Karier
Status pekerjaan guru honorer memengaruhi fasilitas dan karier. Dengan status honorer, guru sulit mendapatkan jenjang atau peluang karier yang baik. Guru honorer juga tidak mendapatkan fasilitas kesehatan, jaminan hari tua, atau tunjangan pensiun dari pemerintah. Selain itu, guru honorer harus menanggung risiko dari pekerjaannya karena tidak mendapat bantuan hukum.
4. Distribusi Guru Tidak Merata
Ketidakmerataan pembagian guru di berbagai daerah Indonesia merupakan salah satu dampak otonomi daerah. Sekolah di perkotaan cenderung memiliki guru yang relatif banyak dan memiliki kemampuan di bidangnya. Sementara itu, di daerah pedalaman, guru yang mengajar hanya sedikit. Akibatnya, kebutuhan guru ASN di daerah terpencil akan diisi oleh guru honorer.
5. Mekanisme Pengangkatan dengan PPPK
Pengangkatan guru dengan skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) masih mengalami kendala. Pengangkatan PPPK merupakan kewenangan pemerintah pusat. Namun, data kebutuhan guru berasal dari daerah melalui dinas. Selama ini, ketika pengadaan ASN guru dibuka, pemerintah daerah belum mengajukan formasi sesuai kebutuhan sekolah sehingga guru honorer masih banyak dan belum teratasi dengan baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUSLIT.DPR.GO.ID | DESTY LUTHFIANI