Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAPAN kayu persegi panjang menjadi penanda makam Albertus Slamet Sugihardi di Tempat Pemakaman Umum Jambon, Rukun Warga 13, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta, Kamis pekan lalu. Tertulis di situ nama laki-laki 63 tahun yang meninggal pada Senin dua pekan lalu tersebut, lengkap dengan tanggal lahir dan kematiannya.
Semula papan itu berbentuk salib karena Slamet beragama Katolik. Tapi penduduk sekitar menggergaji bagian atas salib sehingga menjadi berbentuk “T” persis sebelum jenazah Slamet dikuburkan. “Saya meminta salib itu dipotong. Di makam itu tidak ada yang kristiani,” kata tokoh masyarakat yang juga bekas Ketua RW 13, Bedjo Mulyono, saat ditemui Tempo.
Bedjo juga meminta tak ada ibadat apa pun dalam pemakaman Slamet. Dia juga melarang keluarga Slamet menggelar doa dari rumah hingga permakaman, yang berjarak sekitar 500 meter. Maka, setelah jenazah diberkati di rumah oleh Pastor Sunarto dari Paroki Santo Paulus, Pringgolayan, Bantul, tak jauh dari Kotagede, tak ada lagi pembacaan doa atau nyanyian hingga peti mati masuk kubur. Malam harinya, ibadat untuk mendoakan Slamet urung digelar di rumahnya. “Ternyata dilarang juga. Akhirnya doa dipindah ke gereja,” kata anggota Paroki Pringgolayan, Agustinus Sunarto.
Pemotongan salib dan pelarangan doa menjadi pembicaraan di media sosial. Sehari setelah pemakaman, rumah Slamet didatangi Bedjo, ketua rukun tetangga dan rukun warga setempat, serta personel Komando Rayon Militer Kotagede dan Kepolisian Sektor Kotagede. Mereka meminta Maria Sutris Winarni, istri Slamet, menandatangani surat pernyataan bermeterai. Isinya, Maria tidak mempersoalkan pemotongan salib. Bedjo mengatakan surat tersebut dikonsep oleh dia serta pengurus kampung dan diketik petugas Koramil Kotagede.
Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) Kevikepan Yogyakarta, Sumaryoto, sudah bertemu dengan Maria untuk menanyakan peristiwa yang dialaminya. “Dalam suasana berduka dan terpojok, Maria menandatangani surat itu,” ujar Sumaryoto.
Seseorang yang dekat dengan perempuan 63 tahun itu mengatakan Maria sampai mengungsi ke rumah kerabatnya karena merasa terintimidasi. Ibadat tujuh hari untuk mendoakan arwah Slamet pun digelar di rumah kerabat tersebut. Baru sepekan setelah pemakaman, Maria berziarah ke kubur Slamet. Tempo yang ada di taman permakaman itu menyaksikan Maria tak sampai sepuluh menit di sana. Selesai berdoa, dia buru-buru meninggalkan tempat itu.
Ditemui Tempo pada Ahad pekan lalu, Maria membeberkan peristiwa yang dialaminya. Tapi dia menolak keterangannya ditulis. Tinggal di Kelurahan Purbayan selama lebih dari 30 tahun, keluarga Albertus Slamet Sugihardi merupakan satu dari tiga keluarga Katolik di wilayah itu. Dua keluarga lain adalah kakak dan adik Maria, yaitu Sutris Winarto dan Sutris Widarto. Tinggal berdekatan, mereka menempati rumah warisan orang tuanya.
Kakak Maria, Sutris Winarto, mengatakan adiknya kebingungan mencari makam setelah Slamet berpulang pagi itu karena tersedak makanan. Dia meninggal saat dilarikan ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Menurut Winarto, adiknya tak mampu membiayai penguburan di permakaman khusus kristiani di Bantul seharga Rp 4 juta.
Adik Maria, Sutris Widarto; dan anggota Paroki Pringgolayan, Agustinus Sunarto, kemudian menemui Bedjo Mulyono. Setelah itu, Bedjo mendatangi Maria di rumah sakit dan menawarkan penguburan di TPU Jambon. Tapi Bedjo melarang simbol kristiani dan menyatakan makam Slamet tidak boleh berada di tengah TPU.
Bedjo membenarkan memasang syarat tersebut. Menurut dia, warga Kelurahan Purbayan sudah cukup toleran dengan mengizinkan Slamet dikuburkan di sana. Bahkan warga setempat juga membantu menggali lubang kubur. Bedjo mengakui pemotongan salib itu salah. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 menyebutkan tempat pemakaman umum disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan. “Tapi itu berdasarkan kesepakatan dengan warga,” ujarnya.
Makam Jambon di Kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta, 18 Desember 2018. TEMPO/Pribadi Wicaksono,
Berbeda dengan keterangan Bedjo, penjaga TPU Jambon, Sumarjono Slamet, mengatakan ada satu makam kristiani di situ. Sumarjono lalu menunjukkan makam dengan kijing tersebut kepada Tempo. Tapi, seperti seratusan makam lain di TPU seluas 800 meter persegi itu, tak ada simbol kristiani di nisannya.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta maaf atas peristiwa pemotongan salib. “Saya selaku pimpinan wilayah memohon maaf kepada Bu Slamet dan seluruh keluarga, juga Kevikepan DIY serta pihak Paroki Gereja Kotagede, yang terganggu atas peristiwa itu,” kata Sultan.
Nyatanya, keluarga Slamet yang lebih dari 30 tahun tinggal di wilayah itu beberapa kali mengalami kejadian intoleransi. Seorang kerabat Maria bercerita, rumah Slamet didatangi massa yang membawa jeriken dan pedang saat berlangsung pembacaan doa di sana sekitar enam tahun lalu. Saat itu, massa sempat melempari rumah Maria dengan batu.
Tak lama setelah kejadian itu, digelar latihan kor di rumah Slamet. Kakak Maria, Sutris Winarto, mengingat saat itu bulan Ramadan. Massa tak dikenal kembali datang. Menurut Winarto, gerombolan itu melempari rumah dengan batu, masuk, dan menurunkan salib di dinding rumah sambil berteriak-teriak. Latihan kor untuk lomba paduan suara di gereja pun kocar-kacir. Lalu mereka mengancam Slamet supaya tak ada lagi aktivitas berbau agama di tempat itu.
Menurut Winarto, polisi sempat datang dan menahan seseorang yang diduga sebagai pelaku. Tapi, dua hari setelah perusakan itu, tokoh masyarakat mendatangi rumah Slamet dan meminta kasus itu tidak diteruskan. “Karena kami minoritas, ya, damai saja,” ujarnya. Di waktu lain, keluarga Slamet menerima undangan halalbihalal seusai Lebaran beberapa tahun lalu. Kerabat Slamet bercerita, satu jam sebelum halalbihalal, seorang tokoh masyarakat datang memberikan makanan dan meminta keluarga itu tak hadir.
Ketua RT 53—tempat Slamet tinggal—Soleh Rahmad Hidayat, enggan bercerita tentang peristiwa yang dialami keluarga Slamet. Begitu juga tokoh masyarakat Purbayan, Bedjo Mulyono. “Enggak usah dibahas,” ujar Bedjo.
Aksi intoleransi juga terjadi saat Gereja Katolik Santo Paulus, sekitar satu kilometer dari rumah Slamet, membagikan paket bahan kebutuhan pokok di rumah Kasmijo, Kepala Dusun Jaranan, Bantul, akhir Januari lalu. Sekitar 50 orang dari sejumlah organisasi, antara lain Front Jihad Islam (FJI), datang dan membubarkan acara sambil menuding pembagian bahan pokok itu sebagai kristenisasi. Komandan FJI Abdurrahman saat itu membenarkan kabar bahwa organisasinya membubarkan acara. “Kami hanya menjalankan amar ma’ruf nahi munkar,” katanya.
Shinta Maharani, Pribadi Wicaksono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo