Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMANDANGAN di tepi Laut Kaspia dalam tahun 1971. Di sebuah
pantai untuk umum, hanya kaum pria yang mengenakan celana renang
dan bersenang-senang di air laut yang segar. Kaum wanitanya
duduk-duduk di pasir, mengenakan pakaian semacam baju kurung
dengan tutup kepala dan cadar yang menutup muka. Wajah tidak
tampak, rambut pun tidak kelihatan. Tetapi di sebuah kompleks
khusus, seperti Yabt Club di Pantai Zandvoort-nya Tanjung Priok
dulu, kaum wanita dengan bikini yang sangat minim berenang atau
main ski.
Kontras antara cadar di pantai umum dan bikini di klub-klub
khusus menggambarkan secara tepat "kesenjangan budaya" antara
sektor elite dan golongan menengah di Iran. Di kalangan elite,
proses modernisasi telah mencapai laju sangat pesat,
menghasilkan ultra-modernisme -- yang bahkan jarang ada di
kalangan elite negara berkembang lainnya. Kekayaan berlimpah
yang dibawakan oleh petrodolar memungkinkan mereka menyekolahkan
anak di Eropah atau Amerika, membaca bacaan up to date dari
kedua benua itu dan berbelanja pakaian di Saville Row, Christian
Dior atau Yves St Laurent.
Kaum elite Iran mewarisi eksklusivisme mereka dari perkembangan
sejarah selama seabad setengah terakhir ini. Mereka didorong,
dipersiapkan dan dididik untuk berorientasi serba Eropah --
dengan akar historis masa lampau bangsa Iran sebelum Islam, masa
kejayaan Cyrus dan Darius. Orientasi kepada kebudayaan Eropah
menciptakan sikap hidup serba kosmopolitan. Dan kebanggaan masa
lampau tidak lagi dikaitkan dengan peninggalan sistim kehidupan
rohani Iran -- karena segi-segi yang rohani itu telah dicernakan
dan diserap oleh Islam menjadi sekian banyak karakteristik
penghayatan tasauf yan bersifat khas Persia.
Maka tanpa ikatan dengan warisan sistim kerohanian masa lampau
itu, melainkan hanya dengan kebesaran sejarahnya sepanjang
dimanifestasikan dalam peninggalan materiil berbentuk reruntuhan
istana dan candi-candi, sikap hidup kosmopolitan di atas lalu
memiliki perwatakan sangat sekularistis. Ikatan keagamaan hampir
tidak berlaku bagi mereka.
Berbeda dengan kelas elite di atas, golongan menengah memiliki
sikap hidup yang lain lagi. Umumnya, negara-negara Timur Tengah
tidak memiliki golongan menengah yang benar-benar pribumi.
Golongan menengah yang tcrdiri dari orang Yunani di Mesir, orang
Armenia di Libanon, orang Yahudi di Irak dan orang
Melayu-lndia-Sudan di Saudi Arabia, adalah bukti dari gejala
umum itu.
Tetapi di Iran, golongan menengah pribumi berkembang cukup
pesat. Maka kalau golongan menengah non-pribumi, di
negeri-negeri lain, harus menyesuaikan diri dengan kelas elite
dan meladeni kebutuhan mereka, di Iran sebaliknya terjadi
persaingan tajam antara golongan menengah dan elite -- yang
sama-sama pribumi.
Terhadap sikap hidup kosmopolitan (termasuk wawasan liberalistis
dalam pandangan politik) dari golongan elite, golongan menengah
menentangnya dengan nasionalisme militan yang bahkan menjurus
kepada xenophobia. Kalau kelas elite bersikap hidup sangat
sekuler, golongan menengah sebaliknya memelihara ikatan kuat
dengan aspirasi-aspirasi keagamaan.
Gejala terakhir itu diperkuat pula oleh adanya hirarki pimpman
agama-yang memiliki kohesi lebih besar dan kekuasaan politis
lebih nyata di kalangan Islam Syiah yang dipeluk bangsa Iran
bila dibanding lemahnya kohesi dan kepemimpinan di kalangan
sekte Sunni yang berkembang di negeri-negeri lain. Dengan
demikian relatif lebih mudah tercapai koalisi antara gerakan
keagamaan dan gerakan nasionalisme militan di kalangan menengah.
Datangnya masa "kaya mendadak" dalam bentuk petrodolar bukannya
memperkecil kontras itu -- bahkan mempertajamnya. Bentuk-bentuk
perujudan impian yang melambung sebagai akibat berkembangnya
kemampuan da ya beli secara drastis, akhirnya berbenturan antara
yang datang dari kelas elite dan yang dari golongan menengah.
Syah Iran sendiri, tidak mampu memberikan responsi yang sehat
kepada aspirasi golongan menengah itu.
Maka ditempuhnya strategi mengkonsolidir kekuatan kelas elite
--bersama dengan upaya merebut hati petani kecil melalui program
landreform Program tersebut, yang dijuluki "revolusi putih"
karena didahului oleh pelepasan tanah-tanah milik keluarga
Kerajaan sendiri, ternyaea tidak mampu "membeli" mayoritas
bangsa -- karena pada akhirnya toh mengganggu wewenang sekte
keagamaan yang mengelola tanahtanah wakaf di pedesaan. Terbukti
Kekuasaan riil para mullah ini tetap kuat, sehingga Syah gagal
mencari pendukung dari kelas bawah. Strateginya untuk
menciptakan kekuatan penyangga yang massif untuk menjadi
jembatan antara golongan elite dan menengah, tidak menemukan
jalan yang tepat.
Kenyataan di atas tercermin sepenuhnya dalam kemelut yang sudah
sepuluh bulan ini berlangsung. Tantangan terhadadap mahkota
Kerajaan yang ditampilkan oleh golongan menengah, akhirnya
memaksa Syah mengumumkan keadaan darurat. Kontras begitu tajam
antara kedua golongan akhirnya membawakan sebuah dilema tetap
pada strategi semula untuk mengkonsolidir kekuasaan golongan
elite dengan risiko kalah), atau memenuhi tuntutan golongan
menengah -- yang sebagian menghasilkan efek retrogresif dalam
kehidupan sosiokulturil, karena didiktekan oleh kebutuhan
kelompok nasionalis militan akan dukungan establishment
keagamaan Iran.
Kita belum lagi dapat meraba, apakah Syah yang bergelar
Shahinshah atau Raja Diraja memang mampu menyelesaikannya.
Kalaupun mampu, masih menjadi pertanyaan bisakah ia
menghilangkan kontras tajam di atas dalam waktu yang relatif
singkat. Kegagalan di bidang ini hanya akan membahayakan
mahkotanya.
Abdurrahman Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo