Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HASIL penghitungan suara terbata-bata, sedikit. Dan PDI dan PPP
tak puas. Tapi bagaimanapun juga, kenyataan yang terbayang dari
hasil sementara pemilu 1977 sampai awal pekan ini adalah: hanya
jumlah pencoblos partai-partai Islam, yang kini bergabung dalam
PPP. yang cenderung meningkat jumlahnya. Dibandingkan dengan
pemilu 1971 Golkar turun dan PDI merosot, sementara PPP mungkin
dapat tamballan kursi. Bahkan di DKI Jakarta. tempat yang
dinilai paling "bebas dan rahasia" untuk memilih PPP menang dan
Golkar kalah.
Dan harga PPP pun boleh dibilang naik. Di DPR nanti suara
terbanyak memang akan tetap berada di tangan Golkar dan ABRI,
seperti dalam DPR sebelumnya. Tapi siapa yang pandai membaca
yang tidak tersurat dalam pemilu 1977 ini akan faham: "golongan
Islam" di Indonesia kini menaunpakkan diri lebih tegas. "Hasil
sementara pemilu menunjukkan kemenangan mental dan politis bagi
PPP", komentar K.H. Syaifuddin Zuhri, tokoh NU dan bekas Menteri
Agama kepada TEMPO. "Itu menghilangkan image seakan PPP hanya
fatamorgana", tambahnya.
Ini sebenarnya sudah bisa dilihat selama kampanye. Menyadari
pentingnya suara para pemilih dari kalangan Islam sebagai calon
penusuk PPP, Golkar bersaing seru di situ. Hingga tersebutlah
sebuah lelucon: seorang bekas pendukung Masjumi ketika ditanya
apa yang akan dipilihnya dalam pemilu 1977. menjawab setengah
bergurau: "Golkar". Kenapa? "Habis, semboyan PPP memperjuangkan
Pancasila dan UUD 45, sedang semboyan Golkar memperjuangkan
Islam".
Bagaimana Golkar dengan berapi-api menyatakan diri
memperjuangkan umat Islam, setidaknya bisa didengar dari ucapan
Menteri Dalam Negeri Amirmachmud. "Karena sebagian terbesar
penduduk beragama Islam, dengan sendirinya perkembangan agama
Islamlah yang dititik-beratkan oleh pemerintah orde baru",
katanya di Cirebon. "Saya sendiri akan berjihad fisabilillah
demi kemajuan Islam", tambahnya.
Di Kalimantan Selatan, ketua umum DPP Golkar Amir Murtono tak
bicara soal jihad. Tapi ia disambut spanduk berbunyi "Golkar
Perjuangkan Pendidikan Islam". Di sana ia juga menyatakan,
Golkar banyak berjuang untuk kepentingan agama khususnya agama
Islam", katanya.
Tokoh Golkar dan Menteri Penerangan Mashuri pun di Ampenan
(Lombok) bicara soal Islam. Ia memberi alasan mengapa Golkar
menampilkan tandagambar Beringin. Dalam sejarah Islam, begitu
ceritanya, menjelang perjanjian Hudaibiyah, Nabi Mullal lad SAW
duduk di bawah sebatang pohon rindang. Umat Islam berkumpul di
sana, menyatakan janji setia. Mereka lantas disebut kaum
'syaja'- kaum yang bernaung di bawah pohon. Dan Muhammad
Alhabsyi, ulama dari Kwitang Jakarta itu, mengutip cerita
serupa.
Sementara di Malang selatan ditemukan gambar Beringin dalam
kaligrafi ayat-ayat Alqur'an, di alun-alun Demak berdiri patung
haji ukuran raksasa menusuk tandagambar Golkar. Sejalan dengan
itu harian Benta Yudha tampil dengan karikatur berbunyi: "Islam
Agamaku, Ka'bah Kiblatku, Golkar Pilihanku".
Semua ini nampaknya tak berbeda banyak dibanding pemihl 1971. Di
masa itu Guppi (Gabungan Usaha-Usaha Perbaikan Pendidikan Islam)
yang disokong Golkar juga berusaha keras mencari suara di
kalangan pesantren. Di Jawa Timur waktu itu bahkan ada poster:
"Nabi Muhammad SAW adalah karyawan agung".
Betapapun, kampanye pemilu 1977 dalam merebut hati umat Islam
menunjukkan ikhtiar yang lebih seru. Kali ini misalnya, kaum
penganut "Kepercayaan" dan masalah kebatinan tidak lagi nampak
dalam kampanye Golkar."Dalam pemilu sekarang", kata Arymurthy,
sekjen SKK (Sekretariat Kerjasama Kepercayaan), "kami tidak
meiarang anggota SKK yang jumlahnya 120 aliran membantu Golkar
atau kontestan lain". Sementara itu soal-soal yang bisa
menggetarkan umat Islam kali ini lebih terdengar. Bahaya ancaman
dari "Komando Jihad" dimaklumkan pemerintah dan terjadi
penangkapan di mana-mana satu hal yang oleh kalangan PPP
dianggap bisa mengurangi suara PPP, walaupun secara resmi partai
itu tidak dinyatakan terlihat. Di sanlping itu Berita Yudha juga
beberapa hari selama kampanye sempat memuat potret buah
keganasan DI/TII sekitar 25 tahun yang lalu, dan Amirmachmud
menyatakan ada kampanyewan PPP di Bogor yang bicara lagi soal
"Negara Islam". Dan di Jawa Timur, Menteri Dalam Negeri yang
giat ini menyatakan pula tekadnya: "Kalau ajaran Islam sampai
diselewengkan, saya akan berjihad".
Di lain pihak, kampanyewan Ka'bah Kasman Singodimedja, bekas
tokoh Masjumi. mengecaItl Golqur". Maksudnya ialah "Golongan
Quraisy", para pengua, sa Mekah yang merlindas Nabi dan kaum
Muslimin pertama. Tapi orang Golkar tak enak juga mcndengarnya.
Dan Kasman pun oleh Menteri Amirmachmud di Padang dituduh bekas
"pemberontak" - walaupun menurut catatan seorang peneliti
sejarah Mr. Kasman tidak pernah ikut dalam pemberontakan PRRI
atau apapun.
Kampanye memang panas. Tapi panas itu agak bisa membahayakan
bila soal "jihad" disebut-sebut, soal haram atau tak haram dalam
mencoblos tandagambar diumumkan, dan kata "Negara Islam"
dilontarkan kembali. Bukan saja itu semua bisa akan memercikkan
nyala baru dari api di sekam yang lama, tapi juga bisa
mempellgaruhi hubungan golongan Islam dengan yang bukan Islam di
Indonesia untuk masa mendatang.
Tak semua pesimistis dalam memandang hubungan yang penting tapi
peka itu, termasuk kalangan non-lslam yang tergabung dalam PDI.
Tapi nada penyesalan bukannya tidak ada. Menjawab pertanyaan
TEMPO bagaimana tanggapannya tentang banyaknya Islam
disebutsebut dalam kampanye yang lalu, Sekjen PDI Sabam Sirait
menjawab: "Pemerintah terlalu show dalam memberi bantuan
keagamaan, dan ini mengundang PPP untuk bicara pula soal agama".
Lanjut tokoh bekas Partai Kristen ini: "Celakanya Golkar juga
memakai tema agama".
Di pihak lain, pimpinan Golkar justru menganggap bahwa
parpol-lah yang mulai memakai isyu agama itu. "Baru setelah ada
parpol menggunakan isyu agama", kata Cosmas Batubara dari DPP
Golkar kepada TEMPO, "Golkar menampilkannya sebagai balasan -
juga untuk menjelaskan".
Bagi orang PPP sendiri, soal agama tentu saja wajar. "PPP tak
bisa dipisahkan dengan Islam, sebab azasnya adalah lslam", kata
}lusni Thamrin wakil sekjen DPP PPP. "Sangat bodohlah bila
PPP tidak menampilkan tema-tema agama", tambahnya.
Dalam kata-kata Nurcolish Madjid, bekas ketua umum HMI yang kini
bekerja di LEKNAS: "Massa PPP adalah rakyat beragama Islam, dan
dengan sendirinya pendekatan melalui tema agama, ikatan
primordial, sangat menarik", katanya. Barangkali dengan begitu,
meskipun secara strukturil partai hanya diperbolehkan terdiri
sampai daerah tingkat II - sesuai dengan undang-undang yang
berlaku - toh PPP mampu meneMbus apa yang disebut 'massa
mengambang' di kecamatan, kelurahan dan desa.
Apalagi menurut Ridwan Saidi, bekas ketua umum HMI yang menjadi
calon nomor dua PPP untuk DPR, pikiran tentang floating mass
ternyata keliru. Massa tidak mengambang tanpa BJ (berat jenis).
"Berat jenis massa tidak merosot, bahkan naik kesadaran politik
di kalangan mereka".
Mungkin memang demikian, mungkin juga tidak. Naiknya harga PPP
dalam Pemilu 1977, ditandai terutama dengan kemenangannya di
Jakarta, belum selesai dibahas. Yang pasti, kenaikan itu paling
mengenai Golkar. Setidaknya sudah dapat diraba bahwa dukungan
terhadap Golkar di kalangan generasi muda dan di kalangan
intelektuil tidak seperti dulu lagi. Beberapa hari sebelum
pemilu. pengumpulan pendapat umum di kalangan mahasiswa di
Bandung yang dilakukan oleh Lembaga Studi Kemasyarakatan ITB
menunjukkan bahwa PPP lebih banyak dipilih ketimbang Golkar.
Suara tokoh semacam Mochtar Lubis dan Adnan Buyung Nasution,
yang di tahun 1971 secara terbuka menyokong Golkar, kini tak
terdengar lagi -- tiga tahun setelah "intelektuil Orde Baru" itu
ditahan pemerintah Orde Baru dalam peristiwa 15 Januari.
Suara kaum cendekiawan itu memang tak banyak. Tapi bahwa itu
kini tak ada lagi, menunjukkan ada semacarn krisis pembenaran
dan Iegitimasi buat Golkar. Kini mungkin memang terdapat sejenis
"kejengkelan umum", seperti dikatakan Ridwan Saidi, terhadap
keadaan. Sebuah organisasi yang telah lama memerintah hampir
secara mutlak seperti terlihat juga di dalam Partai Kongres di
India sebelum kalah - memang akan menghadapi krisis. Mungkin
karena itu pula seruan Nurcholish Madjid untuk "rnemompa ban
kempes", untuk menimbulkan keseimbangan terhadap kekuatan
Golkar, banyak menarik perhatian. Setidaknya, lebih memikat
ketimbang waktu Nurcholish menyatakannya di tahun 1971. Waktu
itu, menurut cerita Nurcholish sendiri, banyak cendeWawan Orde
Baru yang menampiknya. Tapi di tahun 1977, seruan "keseimbangan"
itu didukung tajuk-rencana Kompas. Seorang cendekiawan Kristen
bahkan menyatakan "nyoblos Ka'bah" untuk 2 Mei 1977.
Namun sejauh mana suara independen yang kini mendukung PPP itu
cukup berarti, masih jadi tandatanya. Yang jelas, suara
pendukung PPP terutama datang tidak dari kalangan itu, melainkan
dari mereka yang secara tradisionil sudah jadi pendukung
partai-partai Islam dan berdasarkan Perkiraan itu, PPP mungkin
akan lebih cenderung hanya jadi partainya orang Islam. Dengan
begitu hubungan dengan massa tetap terjamin, meskipun dalam
pelbagai masalah nasional PPP bisa saja tersisih sendirian --
mungkin harus menghadapi Golkar dan PDI sekaligus.
Apalagi jika seperti di masa lalu dan terutama juga di masa
kampanye, orang ramai menyebut "Komando Jihad", "Negara Islam"
dan "DI/TII". Bagi orang-orang yang bukan Islam -- golongan
agama lain yang tergabung dalam PDI -- dan yang bukan santri,
seruan semacam itu cukup bikin gentar. Untunglah bagi PPP, bahwa
paling sedikit dalam hari-hari pertama setelah pemilu, bulan
madunya dengan PDI masih hangat. Kalangan PDI sendiri menyatakan
bergembira atas pertumbuhan PPP.
"Meningkatnya angka PPP, menunjukkan kemenangan demokrasi. PPP
dan PDI itu buat saya sama-sama kekuatan demokratis. Dan saya
tak melihat PPP sebagai kekuatan Islam", kata Usep Ranuwidjaja
kepada TEMPO.
Malah menurut Sabam Sirait, sekjen DPP PDI, semua gerakan agarna
di tanahair yang berjuang di bidang politik, selalu bersifat
nasionalis, patriotis. "Itu terlihat sejak zarnan Tjokroaminoto,
setelah proklamasi kemerdekaan sarmpai sekarang', katanya. Dan
begitulah ia melihat PPP. Pandangan ini ternyata sama dengan M.
Zamroni, orang DPP PPP. Sekalipun berasas Islam. tapi"PPP itu
nasionalistis. Islam sendiri tidak mengamanatkan sistem
pemerintahan negara, Islam sebagai agama. jangan dianggap
sebagai ideologi. Bagi PPP, sistem jelas UUD '45, filsafat
pemikiran persatuannya Pancasila", katanya.
Agaknya keterangan Idham Cholid ketua DPP PPP sebagaimana
dikutip oleh Sholeh Iskandar. ketua pesantren "Darul Falah"
Bogor - bisa mencerminkan sikap PPP. "Pimpinan PPP menyadari
bahwa tanpa nenghilangkan identitasnya sebagai partai yang punya
waina agama, yang lebih mendesak dan harus dikerjakan ialah
mengisi kemerdekaan dengan pembangunan yang seimbang antara
sektor materiil dan spirituil, terutama mencegah
kebocoran-kebocoran", demikian Idham.
Dan dengan begitu Ridwan Saidi yakin bahwa PPP tak akan tabrakan
dengan kekuatan-kekuatan sosial-politik lainnya, "Kalau yang
kita pcrjuangkan adalah segala hal yang menyangkut kepentingan
rakyat banyak. kepentingan nasional bersama seperti keadilan
sosial kita tak akan tabrakan", katanya. Dengan kata lain,
polarisasi Islam-non Islam yang dikhawatirkan pasti tak akan
terjadi.
M. Natsir, bekas ketua umum partai Masyumi, bahkan tidak melihat
adanya kemungkinan polarisasi itu. Ia sendiri bahkan tidak
setuju menggunakan istilah itu, apabila polarisasi mengandung
pengertian antagonisme antara satu dengan lainnya".
Baginya Islam adalah sistem sosial yang bertujuan kesejahteraan
seluruh masyarakat tanpa diskriminasi, bukan eksklusif untuk
orang-orang Islam sendiri. Islam menjunjung tinggi harkat
kemanusiaan, lepas dari warna, bangsa, bahasa. Islam bisa hidup
dalam masyarakat majemuk dan hanya berkonfrontasi dengan segala
yang munkar. "Kalau besar tidak melanda, kalau rindang tempat
berteduh, kalau kecil pantang diinjak", katanya kepada TEMPO.
"Konsep itu", katanya lagi, "sekurang-kurangnya paralel dengan
bhinneka tunggal ika. Umat Islam tidak menghendaki polarisasi
dalam arti antagonistis secara apriori". Sementara itu dalam
perjuangan politiknya, Natsir mengharapkan agar PPP merubah
sikap mental sebagai parpol, tidak seperti parpol 5 tahun yang
lalu. "Selama ini kita lihat anggota DPR kurang dekat dengan
rakyat hingga kurang mengenal aspirasi rakyat", katanya.
Lebih dari itu, ia juga mengharapkan agar mengambil isyu yang
riil, misalnya masalah pendidikan, yang selama repelita ini
kurang mendapat tempat dalam APBN. "Begitu pula dengan
landreform, untuk masa datang hendaknya difikirkan. Saya kira
ini cukup riil diperjuangkan, begitu pula kesejahteraan kaum
kecil", katanya.
Tapi sejauh mana pernyataan-pernyataan di atas bisa
menghilangkan ketakutan akan "bahaya Islam"? Minggu lalu Menteri
Luar Negeri Adam Malik, oleh wartawan Straits Times Singapura
masih dikutip sebagai menyatakan, bahwa ada "golongan ekstrim
Islam" dalam "Komando Jihad" yang mengharapkan bantuan luar
negeri. Dan menurut Roeslan Abdulgani, kekuatiran terhadap
"Islam ekstrim" cukup beralasan, sejak Kartosuwiryo
memproklamirkan 'negara Islam' pada tanggal 7 Agustus 1949. Toh
Sabam Sirait dari PDI beranggapan, 'justru yang melemparkan isyu
'negara islam' bukan kalangan Islam sendiri. "Isyu seperti itu
selalu muncul menjelang pemilu. Generasi muda pasti tak akan
melemparkan isyu seperti itu".
Isyu seperti itu, menurut Sabam, setali tiga uang dengan isyu
yang tersebar di Irian Jaya yang dialamatkan pada PDI. "Begini:
kalau PDI menang di Irian akan dibentuk negara papua' kalau
PDI menang, akan dibentuk negara federal' dan sebagainya", kata
Sabam. Usep Ranuwidjaja, ketua umum PDI pun tidak khawatir. "PPP
kan terikat oleh UU Kepartaian No. 3/1975. Cita-cita 'negara
Islam' itu tidak realistis. Dan saya kira pemimpin-pemimpin PPP
cukup realistis".
Yang menarik ialah, bahwa Cosmas Batubara dari DPP Golkar
sendiri pun tak melihat adanya cita-cita negara Islam'. "Sulit
untuk berkesimpulan ada cita-cita semacam itu", katanya.
Zamroni dari PPP malah bertanya apakah di dunia ini ada negara
yang sistem dan strukturnya bisa disebut negara Islam'. "Yang
ada, rakyatnya kebanyakan beragama lslam. Saudi Arabia sendiri
bukan negara Islam", katanya. Natsir yang bekas ketua umum
Masyumi menganggap bahwa isyu semacam itu sama sekali tidak
relevan. "Maklumlaln kehabisan bahan kampanye, lalu
mendiskreditkan lawan dengan menggambarkan hantu di tengah hari.
Walhasil kekhawatiran itu sama sekali tidak beralasan". katanya.
Suara sama datang dari bekas tokoh NU, Syaifuddin Zuhri. "Isyu
'negara lslam' mestinya harus sudah lenyap dengan sendirinya.
Lagi pula kan PPP berjuang atas landasan Pancasila dan UUD '45
serta asas Islam asas yang tidak antagonistis dengan Pancasila
dan UUD '45", katanya pula.
Bagi Nurcholish, isyu semacaml itu sebenarnya hanyalah isyu
politik yang dibuat-buat. Ridwan Saidi menyebutnya sebagai
'teror politik'. 'Dan teror politik semacam itu akan terus
digunakan sebagai alat pemukul bagi umat Islam' Ridwan
memperkuat. Akibatnya, golongan muda seperti Husni Thamrin
merasa bahwa tuduhan sebagai golongan ekstrim" seolah-olah
merupakan 'dosa turunan.
"Padahal watak ekstrim itu watak yang bisa dimiliki setiap
individu dan ada di semua golongan: ABRI. Golkar maupun parpol.
katanya. Tapi yang agaknya merepotkan adalah soal Komando Jihad
- meskipun persis menjelang minggu tenang. Kas Kopkamtib
menyatakan: PPP tidak ada hubungannya dengan Komando Jihad'.
"Bagaimana pun, isyu 'Komando Jihad' merupakan PR (pekerjaan
rumah) bagi kami", kata Husni Thamrin. "Sejak dulu kami sudah
terlatih menghadapi isyu semacam itu". Lalu ia ceritakan, di
tahun 1967 Marzuki Mahdi, salah seorang tokoh Islam di Klaten
yang membiayai penumpasan G30S/PKI malah ditangkap, dituduh
sebagai PKI. Dan tahun 1971, Suratman Suryaningprojo dari
Semarang juga menemui nasib sama seperti Marzuki. "Dan setelah
ditahan, tak ada kelanjutannya apa-apa, mereka dilepas tidak
diajukan ke pengadilan", tambah Husni.
Ada teror politik atau tidak, bagi PPP. masa sesudah pemilu 1977
merupakan tantangan buat bekerja lebih banyak. Salah satu soal
besar ialah: bagaimana membangun partai. Yang dihadapi bukanlah
soal "persatuan pembangunan" tapi "pembangunan persatuan",
seperti dikatakan seorang tokoh PPP.
Menurut Husni Thamrin, fusi 4 parpol Islam boleh dikata
merupakan koalisi orang-orang yang kalah dalam pemilu 1971.
Justru karena kalah itulah kami bersatu. Jadi bukan hanya karena
kehendak dari atas saja, katanya. Tapi ia mengaku bahwa
organisasinya masih berantakan. Dalam kampanye seperti diakui
oleh Husni Thamrin. ternyata PPP juga tidak siap sama sekali.
Semuanya secara spontan", katanya. Pengalaman Nurcholish juga
demikian. "Perbeda dengan Golkar yang sudah punya jadwal
tertentu dan tema-tema tertentu. kampanye PPP selalu
improvisasi. temanya belum pernah ditentukan tentang apa,
katanya. Tapi dalam kondisi acak-acakan yang terdapat dalam PPP.
orangorang muda ini toh optimis. Bagi Nurcholisll. PPP
sebenarnya lebih mudal menjadikan diri partai yang punya etika
dan keahlian tinggi. Sebab contohnya sudah ada. Yaitu Masyumi.
Bahkan. katanya, persatuan parpol Islam dalam
PPP sekarang ini dianggapnya lebih baik dari pada di zaman
Masyumi. "Di zaman Masyumi dulu, umat Islam masih mempersoalkan
khilafiah, yaitu perbedaan-perbedaan agama yang tidak
prinsipiil. Sekarang tidak lagi".
Ia lalu mengambil contoh. "Bahwa pesantren Tebuireng sudah
berani mengundang Rendra atau Nono Anwar Makarim, itu perlu
dicatat", katanya. Atau contoh lain: Mr. Moh. Roem, intelektua
yang Muhammadiyah itu bisa diangkat sebagai rektor UISU yang
Alwashliyah, merupakan kemajuan yang besar sekali.
Tapi adakah PPP sekarang ini akan mengalami perpecahan? Husni
Thamrin berusaha meyakinkan, bahwa "perjuangan tak prinsipiil
dalam intern partai", selalu ada - begitu ia mengutip Liu
Shaochi. Tapi kemungkinan pecah, kecil sekali.
Kemungkinan itu diperkecil oleh ketentuan UU No.5/1974 tentang
kepartaian yang menyebutkan bahwa kedaulatan partai adalah di
tangan anggota.
"Dengan sendirinya tidak akan mungkin muncul DPP tandingan,
biarpun ada konflik di dalam atau ada godaan-godaan dari luar",
kata Husni Thamrin. "Dengan UU itu pemerintah terpaksa mengakui
pimpinan partai yang dipilih oleh kongres", tambahnya.
Bahwa percakapan tentang'persatuan' itu masih tetap terbatas
pada cita-cita, memang tak dapat dihindarkan pada tahap
sekarang. Keadaan serba seadanya dalam PPP kini bertambah jelas
dengan, belum adanya sosok pimpinan yang bisa mengatasi semua
unsur - apalagi jadi tokoh yang bisa diterima semua pihak secara
nasional. "Seandainya PPP menang", ujar Husni Thamrin dengan
lirih. "memang bisa berantakan". Konon waktu melihat begitu
banyaknya peserta kampanye Ka'bah di Jawa Timur tokoh NU Yusuf
Hasyim bahkan ccmas kalau-kalau "PPP menang". Maka lelucon yang
terdengar di sana ialah: "Ada kontestan yang takut kalah, ada
juga yang takut menang".
Sudah tentu ketidak-siapan itu hukan hanya karena masalah intern
partai. Ketidak-siapan PPP untuk menang - sehingga kemenangan
bukanlah targetnya - juga menyangkut hubungannya dengan faktor
kekuatan lain. misalnya ABRI. Atau. bahkan. hubungannya dengan
luarnegeri. Semua itu pada akhirnya kembali kepada bagaimana
sikap, wajah serta arah PPP sendiri. Soal demokrasi. keadilan
sosial. hak asasi manusia, ketahanan nasional dan lain-lain
sangat mudah diucapkan. tapi bagaimana PPP merumuskan dirinya
terhadap itu, masih harus dinantikan.
Sebab dalam partai seperti PPP akan ada tuntutan agar partai
bisa "terbuka" untuk siapa saja, di samping selalu ada tuntutan
untuk tak kehilangan identitasnya: Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo