Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi soal presiden boleh berpihak dalam pemilu telah disalahpahami. Ia menyebut Jokowi menyampaikan itu dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Pernyataan Bapak Presiden di Halim telah banyak disalahartikan,” kata Ari dalam pesan tertulis kepada Tempo pada Kamis, 25 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam keterangan pers usai menyerahkan secara simbolis pesawat C-130 J-30 Super Hercules ke TNI di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur pada Rabu, 24 Januari 2024, Jokowi mengatakan presiden boleh memihak dan berkampanye.
“Presiden itu boleh loh memihak. Boleh, tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” kata Jokowi, yang ditemani Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Di Pilpres 2024, Prabowo berpasangan dengan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
Jokowi mengatakan selain pejabat publik, dia pejabat politik. Mengenai konflik kepentingan, dia menyebut yang paling penting adalah tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
Ari menjelaskan dalam pandangan Presiden, sebagaimana diatur dalam pasal 281 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa Kampanye Pemilu boleh mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan juga Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Artinya, Presiden boleh berkampanye.
Tapi, menurut Ari, memang ada syaratnya jika Presiden ikut berkampanye. Pertama, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku. Dan kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara.
“Sekali lagi, apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukan hal yang baru,” kata Ari. “Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke 5 dan ke 6, juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya.”
Pernyataan Jokowi itu memicu reaksi kritis dari publik. Calon presiden dari Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, menyoroti inkonsistensi sikap Jokowi soal netralitas. Ia menyerahkan kepada pakar sekaligus publik langsung soal pandangan Jokowi.
"Karena sebelumnya yang kami dengar adalah netral, mengayomi semua, memfasilitasi semua," kata Anies saat ditemui di Kepatihan Yogyakarta pada Rabu, 24 Januari 2024.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan keberpihakan presiden dan menteri dalam pemilu akan melanggar hukum dan etik. Ia menyebut ada anggapan keliru mengenai regulasi yang membolehkan presiden dan menteri dapat berpihak.
Bivitri mencatat mungkin Jokowi mengacu ke Pasal 282 UU Pemilu, tapi sebenarnya ada Pasal 280, Pasal 304, sampai 307. Pasal-pasal itu membatasi dukungan dari seorang presiden dan pejabat-pejabat negara lainnya untuk mendukung atau membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon.
"Jelas pernyataan ini melanggar hukum dan melanggar etik," kata Bivitri saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Rabu, 24 Januari 2024.