Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Partai Demokrat menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap secara tidak hormat kepada enam kadernya yang dinilai terlibat dalam upaya pendongkelan kepemimpinan partai.
Keenam kader yang diberhentikan adalah Darmizal, Yus Sudarso, Tri Yulianto, Jhoni Allen Marbun, Syofwatillah Mohzaib, dan Ahmad Yahya.
Isu pendongkelan ini muncul pada awal Februari lalu setelah Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono menuding Moeldoko menggalang kekuatan untuk menggantikan posisinya.
JAKARTA — Partai Demokrat menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap secara tidak hormat kepada enam kadernya yang dinilai terlibat upaya pendongkelan kepemimpinan partai. Keenam kader yang diberhentikan adalah Darmizal, Yus Sudarso, Tri Yulianto, Jhoni Allen Marbun, Syofwatillah Mohzaib, dan Ahmad Yahya. "Keputusan pemberhentian ini sesuai dengan keputusan dan rekomendasi Dewan Kehormatan Partai Demokrat," kata Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Herzaky beralasan bahwa dewan kehormatan partainya sudah mengantongi cukup bukti keterlibatan keenam orang tersebut dalam upaya pendongkelan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono. Salah satunya tentang penyebaran kabar bohong yang menyebut Agus Yudhoyono gagal mengurus Demokrat, sehingga layak diganti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keenam orang itu di partai adalah Darmizal, kader yang pernah menjadi Wakil Ketua Komisi Dewan Pengawas Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat; Yus Sudarso, kader yang pernah menjadi Ketua DPP; Tri Yulianto, kader yang mantan wakil sekretaris jenderal; Jhoni Allen Marbun, kader yang juga anggota DPR; Syofwatillah Mohzaib, kader dan mantan anggota DPR; serta Ahmad Yahya, kader dan mantan ketua komisi pengawas partai.
Selain itu, Demokrat menjatuhkan sanksi serupa kepada mantan sekretaris jenderal Marzuki Alie. Menurut Dewan Kehormatan, Marzuki terbukti melanggar etika partai lewat tindakan dan ucapannya di media yang menyebarkan kebencian serta permusuhan di lingkup internal partai. "Tindakan yang bersangkutan telah mengganggu kehormatan dan integritas serta kewibawaan partai," kata Herzaky. Sebagai konsekuensinya, ketujuh orang tersebut tak punya hak lagi sebagai anggota Partai Demokrat.
Kader yang dipecat, Yus Sudarso, menerima keputusan tersebut. Bahkan Yus merasa bangga setelah mendengar kabar pemecatan dirinya. Mantan Ketua SDM, Indag, dan Perhubungan DPP ini tak mempermasalahkan pemecatannya. Yus menyebutkan sanksi pemecatan seakan membuktikan bahwa Demokrat sebagai partai kerajaan.
Menurut Yus, tak ada upaya pemanggilan atau kesempatan klarifikasi yang diberikan oleh partai kepada dirinya sebelum pemecatan. Yus juga belum punya rencana membawa masalah pemecatan ini menuju jalur hukum. Ia yakin sampai saat ini masih terdapat keinginan kongres luar biasa (KLB) dari sejumlah kader. "Toh, setelah KLB, teman-teman yang dipecat akan diangkat lagi," kata Yus, kemarin.
Pemecatan sejumlah kader Demokrat menjadi babak baru isu pendongkelan kepemimpinan partai yang punya lambang mirip logo Mercy tersebut. Ketegangan bermula ketika Agus Yudhoyono menyebut keterlibatan seorang petinggi di lingkup Istana Negara dalam penggalangan dukungan sejumlah pengurus daerah untuk meloloskan kongres luar biasa pada awal Februari lalu.
Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko memberikan keterangan pers di kediamannya kawasan Menteng, Jakarta, 3 Februari 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Pengurus pusat Demokrat, Andi Arief, terang-terangan menyebutkan pejabat di Istana tersebut adalah Kepala Staf Presiden Moeldoko. Saling tuduh dan bantah terjadi antara Moeldoko dan elite Demokrat. Ketegangan semakin memuncak ketika Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat sekaligus Presiden Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, menuding Moeldoko sebagai aktor intelektual pengambilan paksa kepemimpinan Demokrat, Rabu lalu. Tuduhan SBY semakin menjadi setelah dia bercerita tentang tuduhan seorang pejabat bintang empat di pemerintahan Jokowi yang menuduh SBY menunggangi Aksi 212 pada 2 Desember 2016.
Moeldoko sudah membantah tuduhan SBY itu. Secara tegas, Panglima TNI pada era Presiden SBY ini mengancam akan melakukan upaya lanjutan. Namun tak jelas apa maksud upaya lanjutan ini. "Saya diam, jangan menekan saya," kata dia, Kamis lalu.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menduga kisruh Moeldoko dengan SBY dan elite Demokrat lain masih akan berlangsung, bahkan meruncing. Menurut Pangi, solusi menghentikan konflik ini berada di tangan Presiden Joko Widodo.
Ada baiknya, kata dia, Presiden Jokowi mengucapkan pernyataan normatif seperti mendukung perdamaian antara Moeldoko dan SBY. Menurut dia, pernyataan tersebut bisa diartikan sebagai keputusan Presiden untuk meminta Moeldoko tak cawe-cawe dalam urusan internal Demokrat.
Pangi yakin amarah SBY dan elite Demokrat lainnya bakal mereda. "Kalau Presiden hanya diam, maka seperti ada restu dari beliau kepada Moeldoko untuk mengambil alih Demokrat. Sebab, Moeldoko adalah pembantu Presiden Jokowi," kata Pangi, kemarin.
Jika konflik berlanjut, Pangi menilai Moeldoko bakal kesulitan melawan SBY. Sebab, mantan Ketua Umum Demokrat itu menjadi nyawa dan disegani oleh hampir seluruh kader partai. "Secara pengalaman dan strategi politik, SBY lebih unggul," kata Pangi.
Ia juga mengatakan terbuka peluang bagi Demokrat untuk mengulur konflik pendongkelan guna menaikkan popularitas partai. Namun, jika konflik ini berlangsung lama, bukan cuma Demokrat yang terdongkrak elektabilitasnya. "Elektabilitas Moeldoko juga bisa naik," kata dia.
Adapun Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno berpendapat bahwa kecil kemungkinan Demokrat akan memanfaatkan isu pendongkelan untuk menaikkan elektabilitas. Sebab, terlalu berisiko jika sebuah partai atau lembaga apa pun mempertahankan sebuah problem. "Bisa jadi blunder," kata Adi ketika dihubungi, kemarin.
Menurut Adi, konflik antara SBY dan Moeldoko merupakan permasalahan baru. Artinya belum pernah ada riwayat ketidakcocokan di antara kedua orang tersebut. Ini, kata dia, berbeda cerita dengan hubungan SBY dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. Selain tak akur di kancah politik, keduanya punya cerita panjang saat masih aktif di dinas TNI Angkatan Darat. "Sementara SBY dan Moeldoko ini banyak cerita bagusnya. SBY yang memilih dan mengangkat Moeldoko jadi Panglima TNI," kata Adi.
Soal ancaman Moeldoko mengambil tindakan lebih tegas, Adi menganggap cara tersebut akan membuat problem pendongkelan Demokrat semakin ramai. Sebab, jika Moeldoko memilih jalur hukum, nantinya pengadilanlah yang memutuskan siapa yang bersalah dalam perkara ini. "Ini akan jadi langkah maju. Tidak lagi asal tuduh dan bantah," kata Adi.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo