Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Muhammadiyah menerima tawaran izin usaha pengelolaan tambang dari pemerintah.
Muhammadiyah melakukan pengkajian selama dua bulan sebelum membuat keputusan.
Keputusan itu langsung menuai protes dari lingkup internal Muhammadiyah.
ENAM pemimpin Pengurus Pusat Muhammadiyah duduk berdampingan di Convention Hall Universitas ‘Aisyiyah, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka di antaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Sekretaris Umum Abdul Mu’ti, dan Ketua Tim Pengelola Tambang Muhammadiyah Muhadjir Effendy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammadiyah baru saja menggelar rapat konsolidasi nasional. Haedar mengatakan organisasi yang ia pimpin memutuskan menerima tawaran izin usaha pengelolaan tambang dari pemerintah. "Setelah mencermati masukan, kajian, dan beberapa kali pembahasan, rapat pleno PP Muhammadiyah pada 13 Juli 2024 memutuskan menerima izin tambang yang ditawarkan pemerintah," kata Abdul Mu'ti dalam keterangan pers pada Ahad, 28 Juli 2024.
Haedar menuturkan keputusan tersebut didasari hasil rapat pleno pada 13 Juli serta Konsolidasi Nasional yang dilangsungkan selama dua hari pada 27-28 Juli lalu. Rapat yang melibatkan majelis pimpinan pusat Muhammadiyah, lembaga, biro, organisasi otonom tingkat pusat, pengurus wilayah seluruh Indonesia, rektor perguruan tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, serta direktur rumah sakit Muhammadiyah itu menyepakati hal tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir saat peneguhan visi dan komitmen pimpinan majelis/lembaga/biro pimpinan pusat Muhammadiyah 2022-2027 di Yogyakarta, 12 Maret 2023. Dok. Muhammadiyah
Tawaran pengelolaan izin tambang bermula dari keputusan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024. Peraturan tersebut merupakan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Regulasi itu diteken Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada 30 Mei 2024. Aturan ini memberikan kesempatan bagi organisasi kemasyarakatan atau ormas keagamaan mengajukan atau diberi wilayah izin usaha pertambangan khusus dari pemerintah. Alasan penerbitan Peraturan Pemerintah No. 25/2024 adalah memberikan pemerataan sekaligus keadilan ekonomi.
Pemerintah menyatakan tidak menunjuk ormas keagamaan tertentu untuk mengajukan izin pengelolaan tambang. Sebab, pemerintah hanya menyediakan peraturannya. "Yang mengelola juga bukan ormas langsung, melainkan badan usaha di bawah kendali ormas, misalnya koperasi, PT, atau CV," ujar Jokowi pada 26 Juli 2024, dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Ormas keagamaan yang pertama kali menyambut baik terbitnya Peraturan Pemerintah No. 25/2024 adalah Nahdlatul Ulama. Ketua Umum Pengurus Besar NU Yahya Cholil Staquf mengatakan organisasinya menerima tawaran pemerintah itu karena memang membutuhkan sumber pendanaan baru. Sumber pendanaan baru yang dimaksudkan adalah pengelolaan usaha oleh warga NU atau sering disebut nahdliyin. Misalnya, PBNU memiliki 30 ribu pondok pesantren dan madrasah. Namun sumber daya dan kapasitasnya saat ini tak cukup menopang keberlanjutan program tersebut.
Haedar Nashir menegaskan, lembaganya tidak serta-merta langsung menerima tawaran pemerintah itu. Sebelum memutuskan menerima izin usaha pertambangan dari pemerintah, Muhammadiyah melakukan pengkajian selama dua bulan. Organisasi keagamaan Islam ini mempertimbangkan berbagai hal, termasuk gerakan dari kelompok yang kontra dan meminta Muhammadiyah menolak tawaran tersebut. "Kami menerima respons pro-kontra dengan berbagai argumen disertai data dan fakta di lapangan," ucapnya dalam jumpa pers itu.
Dia menjelaskan, Muhammadiyah selama ini memiliki prinsip bahwa penerimaan atau penolakan harus didasari ilmu agama Islam sebagai pedoman utama. "Kami melihat nilai positif tambang itu seperti sebuah kehidupan. Persis seperti itu, ada pro dan kontra," katanya. Ia memastikan Muhammadiyah menerima izin usaha pertambangan dari pemerintah berdasarkan berbagai kajian multiaspek, dari lingkungan, nasib masyarakat di lokasi tambang, hingga potensi munculnya tambang ilegal.
Haedar mengakui, sebelum mengambil keputusan, sejumlah pengurus teras pernah bertemu dengan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia di kantor PP Muhammadiyah. Dalam persamuhan tersebut, pengurus Muhammadiyah mendengarkan penjelasan ihwal aturan yang menjadi pijakan pemerintah menawarkan pengelolaan tambang yang melibatkan ormas keagamaan. Begitu juga lokasi pertambangannya. "Iya, bertemu. Namun belum membahas secara khusus soal lokasi," ujarnya.
Haedar membantah anggapan bahwa persamuhan dengan Bahlil itu menjadi alasan Muhammadiyah menerima tawaran izin usaha tambang dari pemerintah. Ia menegaskan, saat bertemu dengan Bahlil, Muhammadiyah tidak serta-merta menerima atau menolak tawaran tersebut. Sebab, sebagaimana prinsip dan ilmu dalam Islam, keputusan harus dikaji berdasarkan prinsip yang berkemajuan serta melihat konteks kehidupan lokal hingga nasional. "Kami tidak ikut-ikutan atau karena tekanan sosial. Semua dikaji berdasarkan informasi, termasuk dari kelompok yang kontra," tuturnya.
Adapun Bahlil hingga berita ini ditulis belum bisa dimintai konfirmasi. Upaya permintaan konfirmasi dilakukan Tempo dengan mengontak dan mengirim pesan pendek berupa pertanyaan melalui aplikasi perpesanan. Namun notifikasi pada aplikasi tersebut hanya menunjukkan centang satu.
Abdul Mu’ti mengatakan belum mengetahui lokasi dan izin usaha tambang yang bakal diperoleh organisasinya nanti. Ia berharap pemerintah dapat memberikan izin usaha pertambangan batu bara kepada Muhammadiyah. "Jangan sampai salah dapat batu neraka yang ditambang," ucapnya sambil berseloroh.
Aktivitas di tempat penampungan batu bara di tepi Sungai Batanghari, Muaro Jambi, Jambi, 20 Juni 2024. ANTARA/Wahdi Septiawan
Aksi Protes dari Lingkup Internal
Selang beberapa jam setelah PP Muhammadiyah menggelar konferensi pers menyatakan menerima izin usaha tambang yang ditawarkan pemerintah, sejumlah kader di daerah melayangkan protes. Mereka kecewa dan langsung menyatakan keluar dari grup percakapan aplikasi perpesanan WhatsApp pengurus wilayah Muhammadiyah. Salah satunya grup terbatas anggota Muhammadiyah kawasan Sragen dan pengurus cabang Aisyiyah Wanasari. Tempo menerima tangkapan layar berupa pernyataan protes itu dari seorang narasumber di PP Muhammadiyah.
Sejumlah kader Muhammadiyah yang dihubungi dan ditemui Tempo bercerita, selain dari unsur pengurus wilayah dan cabang, protes dilayangkan pengurus pusat. Dalam rapat konsolidasi, Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas disebut sebagai orang yang paling keras menolak tawaran izin pengelolaan tambang dari pemerintah.
Busyro bahkan tidak hadir saat pengurus Muhammadiyah menggelar konferensi pers di Yogyakarta. Namun ia belum bisa dimintai konfirmasi hingga berita ini ditulis. Tempo mengontak dan mengirim pesan pendek berupa pertanyaan melalui aplikasi perpesanan, tapi belum direspons.
Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH) PP Muhammadiyah Trisno Raharjo juga kecewa terhadap keputusan lembaganya itu. Namun MHH PP Muhammadiyah menghormati keputusan final organisasi menerima izin tambang dari pemerintah itu dengan dalih menjaga aspek lingkungan dan hubungan masyarakat. Namun, kata dia, keputusan tersebut kental nuansa politis. "Kalau hendak mengajukan izin pengelolaan tambang, semestinya dilakukan secara reguler melalui lelang, bukan hak istimewa dengan memanfaatkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024," ujarnya.
Massa yang tergabung dalam Forum Cik Di Tiro menggelar aksi protes perihal izin tambang di depan Universitas 'Aisyiyah, Sleman, DI Yogyakarta, 27 Juli 2024. ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Dalam kesempatan terpisah, di luar kepengurusan, aksi penolakan dan protes juga dilayangkan sejumlah aktivis berbagai lembaga, akademikus, dan kader Muhammadiyah. Mereka tergabung dalam forum Cik Di Tiro. Forum ini menggelar demonstrasi sejak hari pertama konsolidasi nasional Muhammadiyah. Bahkan mereka juga membakar kartu keanggotaan Muhammadiyah sebagai protes simbolik.
Haedar Nashir tak membantah anggapan bahwa ada perdebatan di lingkup internal Muhammadiyah. Ia mengatakan argumentasi pihak yang tak setuju terhadap izin usaha tambang tersebut menjadi bahan bagi Muhammadiyah mengelola tambang nanti. "Muhammadiyah tidak anti terhadap kritik dan demonstrasi. Perdebatan internal adalah hal biasa di Muhammadiyah. Ketika mengambil keputusan, selalu ada yang kontra dan punya argumen," katanya.
Menanggapi hal tersebut, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Parid Ridwanuddin mengatakan pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan berpotensi menimbulkan lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Apalagi hal itu tidak sejalan dengan fikih Islam modern.
Dia mengatakan mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia sekaligus ulama besar NU, Ali Yafie, dalam bukunya yang berjudul Merintis Fikih Lingkungan Hidup yang terbit pada 2006, memasukkan isu perlindungan lingkungan hidup ke maqashid syariah yang bersifat primer. Secara tekstual, maqashid ini meminta manusia melindungi kehidupan alam.
Parid menyebutkan ulama asal Mesir yang disegani, Yusuf Qardhawi, juga mengemukakan pendapat yang sama. Dalam kitabnya yang terbit pada 2001, Ri'ayatul Bi'ah fi Syari'atil Islam (Memelihara Lingkungan dalam Syari'at Islam), disebutkan bahwa menjaga lingkungan hidup sama dengan menjaga agama dan menjaga hal primer lain yang disebutkan dalam maqashid syariah. Dari dua pendapat ini, kata Parid, menjaga lingkungan hidup punya nilai yang lebih jauh sekaligus sebagai upaya menjaga planet bumi.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, sepakat dengan Parid. Agus mengatakan pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan akan memunculkan banyak mudarat terhadap kehidupan. Sebab, pertambangan akan berpotensi merusak alam. Sebagai ormas keagamaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, semestinya organisasi seperti NU dan Muhammadiyah menyatakan sikap menolak. "Lebih baik jika ormas keagamaan berfokus pada usaha yang banyak memberi manfaat, seperti kesehatan dan pendidikan, bukan pertambangan," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hendrik Yaputra di Jakarta serta Shinta Maharani dan Pribadi Wicaksono di Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini.