Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK terpilih sebagai Ketua Umum DPP Golkar, Oktober yang lalu, Wahono terus dilanda masalah. Mula-mula dia harus membereskan kasus Sartojo Prawirosuroio. Menyusul soal Slamet Effendy Yusuf. "Wah, pusing," kata Wahono, 63 tahun. "Waktu sebagai Gubernur Jawa Timur, betapapun pusingnya saya menghadapi persoalan, begitu turun ke daerah, bertemu rakyat, pusingnya langsung hilang. Kalau di DPP golkar ini, pusingnya tak habis-habis," katanya berkelakar. Ia lalu tertawa. Di tengah "kepusingannya" itu, Sabtu pekan lalu, di rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Wahono menerima Amran Nasution, Bambang Harymurti, dan Rustam F. Mandayun dari TEMPO untuk sebuah wawancara. Berikut, ringkasan wawancara itu: Beberapa tahun terakhir ini Golkar banyak sekali mengadakan pendekatan terhadap generasi muda. Dalam kaitan ini, bagaimana sikap Golkar terhadap tuntutan sejumlah mahasiswa agar NKK dicabut? Kami masih perlu mengkonfirmasikannya dengan Departemen P dan K. Bukan berarti suara Golkar mesti selaras dengan Pemerintah, ndak. Tapi ini 'kan masalah yang menyangkut kebijaksanaan pemerintah. Jadi, mesti ditemukan titik temu. Kami tak mau asal ngomong, yang mungkin malah membuat masalah baru. Dalam pemilu terakhir, Golkar mengumpulkan 73 persen suara. Berapa sasaran untuk pemilu yang akan datang? Sekarang kami harus dapat mempertahankan paling tidak 73 persen. Kalau lebih, syukur. Kami harus mempertahankan yang 73 persen itu, tak boleh kurang, karena posisi politis di DPR/MPR harus dipertahankan. Apakah perbedaan-perbedaan yang ada dalam Golkar akan diformalkan, seperti dalam Partai Liberal Demokrat (LDP) Jepang, yang memiliki fraksi-fraksi? Tidak sejauh itu. Oleh karena itu, kami juga mengimbau PPP dan PDI agar mengkonsolidasikan diri. Apakah itu berarti Golkar juga berkepentingan supaya PPP dan PDI tetap eksis? Ya, itu pasti. Kami tak menghendaki one party system. Itu konsensus kita. Bagaimana keputusan DPP dalam kasus Slamet Effendy Yusuf? Kami berkewajiban mengamankan hasil Munas. Jadi, kami tidak perlu mengambil langkah untuk mengeluarkan dia. Kalau Sartojo itu lain lagi kasusnya. Dia mengundurkan diri dengan alasan kesehatan. Apa sikap DPP ini tak bertentangan dengan AD/ART? Kriteria 10 tahun itu (syarat untuk bisa menjadi pengurus DPP Golkar, Red), diperlukan untuk menciptakan suasana tertib dalam mengadakan rekruitmen. Kami memang mau menerapkan apa yang ada di AD/ART. Tapi jangan lupa, Golkar ini organisasi Sospol yang, antara lain, perlu memiliki kemampuan untuk mempertahankan dan memperluas pengakuan masyarakat terhadap keabsahan perjuangannya. Oleh karena itu, ketentuan tadi tidak berdiri sendiri, kami kaitkan juga dengan kepentingan politis. Kalau kami memerlukan kader yang memang bagus, punya kemampuan yang lebih untuk masa depan, secara selektif, kader seperti itu bisa saja diambil. Tapi ini jangan digeneralisir. Jadi, Golkar masih mengadakan pembajakan kader? Bukan membajak itu ... ha ... ha ... ha. Sebetulnya, bagaimana sih melaksanakan kriteria 10 tahun anggota itu? Memang, secara praktis, itu tak logis Stelsel aktif di Golkar, baru mulai tahun 1984. Tapi di Golkar itu 'kan banyak orang yang sudah jadi Golkar sejak dulunya. Bagaimana dengan AMPI yang memprotes Slamet? Dilihat dari segi historis, AMPI banyak jasanya kepada Golkar, walaupun sekarang, secara organisatoris, tak lagi punya hubungan. Tapi soal ini jangan dikaitkan dengan masalah Slamet. AMPI jangan mengultimatum Golkar, mereka 'kan tidak punya hak. Begitu pun, mereka kami undang, kami ajak bicara. AMPI boleh bersuara semacam itu, dan wewenang memecahkan masalahnya ada pada AMPI. Kami memecahkan masalah sesuai dengan kebijaksanaan Golkar. Dari kasus Slamet ini berarti Golkar masih mengharapkan kader dari luar? Setelah lima tahun ini, kasus seperti itu diharapkan tak ada lagi. Apa sistem pengkaderan di Golkar sudah memadai? Sistemnya sudah. Hanya, isinya akan kami tingkatkan. Sekarang ada 9 juta karakterdes dan kader fungsional Golkar. Mereka akan kami tingkatkan, sementara kader baru terus dibikin. Apa setiap kader harus bersih diri dan bersih lingkungan? Sebetulnya soal bersih diri dan bersih lingkungan itu harus punya dasar hukum, jangan ceplas-ceplos begitu saja. Maksud saya, apa dokumen-dokumen untuk menuding seseorang itu ada? Sebetulnya kalau untuk bersih diri, banyak kader kita sekarang yang mungkin belum lahir pada 1965. Soal bersih lingkungan, kami masih perlu ketegasan apa bersih lingkungan itu. Sampai sekarang belum jelas. Untuk ABRI memang sudah jelas, harus bersih diri dan bersih lingkungan. Sebagai orpol terbesar, kenapa dari dulu Golkar tak cepat-cepat minta ketegasan Pemerintah dalam soal itu? Sampai sekarang siapa sebetulnya yang melansir bersih lingkungan itu 'kan belum jelas. Kalau seorang anak pejuang, tahu-tahu, pamannya terlibat, nah, bagaimana itu? Pak S. Parman itu pahlawan revolusi, tapi kakaknya, Ir. Sakirman, itu PKI 150 persen. Nah, itu.... Kalau anak dari ayah yang terlibat, tapi sejak bayi ia sudah diambil dan dibesarkan orang lain. Sekarang dia sudah besar dan punya kedudukan, apa dia itu tidak bersih karena ayahnya PKI? Nah, kesatuan pendapat dalam soal ini masih diperlukan. Kapan kesatuan pendapat itu diperoleh? Belum tahu saya. Saya berharap itu secepatnya, jangan terus seperti ini. Di Jawa Timur, Ibu Asri Soebaryati (Ketua DPRD Ja-Tim) sampai masuk koran. Dia baru datang melapor kepada saya. Visi orang terhadap dirinya begitu, seolah-olah dia dalam keadaan terjepit. Wakil Ketua F-KP, Oka Mahendra, saya dengar sedang dimintai keterangan oleh aparat keamanan. Itu atas permintaannya sendiri karena dia ingin soalnya klir, tidak jadi isu terus. Kalau menurut Anda, mengapa soal bersih lingkungan sekarang ramai? Memang saya sendiri turut merasakan ini. Bersih lingkungan, soal lemak babi, perkelahian pelajar, kini mahasiswa pula, 'kan bertubi-tubi. Mungkin saja itu berkaitan satu dengan lainnya, tapi saya tak punya wewenang bicara soal itu. Apakah Anda percaya teori siklus kebangkitan PKI setiap 20 tahun itu? Saya sudah hitung-hitung, kok tak cocok. Saya tak percaya itu. Tapi, bukan PKI namanya kalau tak berusaha come back. Sartojo dan Zarlons Zaghlul, kabarnya, sudah jelas tak bersih diri. Kapan mereka di-recall dari MPR? Kami sedang mempelajarinya. Apakah Golkar menyiapkan diri menghadapi regenerasi kepemimpinan nasional? Kami berkepentingan turut memikirkan soal suksesi kepemimpinan nasional. Sekarang kami menyiapkan kader-kader yang diharapkan siap pada waktu dibutuhkan. Kami mendukung mekanisme kepemimpinan lima tahun yang sekarang. Tapi saya berpendapat alih generasi itu sebaliknya dilakukan secara alamiah, tidak dipaksakan. Negara lain juga mengalaminya, kenapa itu dianggap sesuatu yang luar biasa? Apakah Ketua Umum Golkar calon Wapres atau Presiden? Tak harus pimpinan Golkar. Yang kami harapkan pimpinan nasional itu kader Golkar yang didukung Golkar. Anda melihat sekarang ada kader Golkar yang bisa menjadi calon Presiden? Saya melihat itu. Siapa misalnya? Oh, saya tak bisa menyebut. Golkar, tentu, berusaha suksesi itu berjalan mulus. Tapi dalam sidang umum MPR yang lalu, kabarnya, ada senggolan jalur A dengan jalur B. Bagaimana itu bila dihubungkan dengan konsolidasi yang diprogramkan sekarang? Jalur itu sebetulnya forum komunikasi, bukan wadah. Karena itu, sekarang kami mantapkan agar persesinya sama. Ada usaha memisah-misahkan jalur itu dengan istilah Golkar mandiri. Padahal, bagi kami, mandiri itu bukan berarti fragmentasi atau disasosiasi dari aliansi rekan-rekan, pendukung perjuangan Golkar. Golkar itu dilahirkan bersama-sama oleh orang-orang, juga dari ABRI. Dilihat dari segi historis, ABRI itu dalam hatinya mesti Golkar, sekalipun dalam pelaksanaan operasional Pemilu, dia di atas semua golongan. Jadi, kemandirian dalam arti pembedaan-pembedaan Golkar dengan ABRI itu tidak ada. Yang diinginkan adalah kemandirian dalam arti kematangan dinamika intern, supaya ada kedaulatan organisasi yang kukuh. Kalau ada soal, kita selesaikan sendiri dalam pengertian mandiri itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo