Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penjabat Gubernur Papua Barat, Komisaris Jenderal (Purn.) Paulus Waterpauw, bakal mengajak masyarakat berdialog soal pemekaran wilayah.
Paulus juga menyatakan akan merangkul orang-orang yang menolak pengangkatan dirinya sebagai penjabat Gubernur Papua Barat.
Kontras menilai penolakan masyarakat Papua berawal dari proses perumusan aturan yang tidak partisipatif.
JAKARTA — Penjabat Gubernur Papua Barat, Komisaris Jenderal (Purn.) Paulus Waterpauw, berjanji akan menggunakan pendekatan humanis untuk meredam penolakan pemekaran provinsi. Dia bakal mengajak masyarakat berdialog agar agenda strategis ini bisa dilaksanakan. "Ada beberapa cara, kan? Nanti kami akomodasi, mengajak bicara mereka. Pendekatan humanis itu penting," ujar Paulus setelah dilantik menjadi penjabat kepala daerah Papua Barat, di Kementerian Dalam Negeri, Kamis, 12 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paulus mengatakan bakal bekerja sama dengan bupati dan wali kota di seluruh Papua dan Papua Barat untuk menjalankan agenda negara. Dia juga mengatakan akan bekerja sama dengan para pejabat setempat untuk menangani hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat.
Penjabat Gubernur Papua Barat, Paulus Waterpauw (kiri), dan penjabat Gubernur Sulawesi Barat, Akmal Malik (kanan), berfoto bersama kerabatnya saat pelantikan lima penjabat gubernur, di Kemendagri, Jakarta, 12 Mei 2022. ANTARA/Hafidz Mubarak A.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah dilantik menjadi penjabat Gubernur Papua Barat, Paulus mengatakan mendapat arahan dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian agar segera menyelenggarakan sejumlah agenda besar. Di antaranya menyukseskan pemilihan umum dan pilkada serentak 2024 hingga mengatasi aksi-aksi penolakan daerah otonomi baru (DOB) dan otonomi khusus. "Serta hal yang lain, misalnya kemiskinan ekstrem Papua dan Papua Barat. Itu akan kami tangani bersama," ujar bekas Kepala Polisi Daerah Papua itu.
Paulus juga menyatakan akan merangkul orang-orang yang menolak pengangkatan dirinya sebagai penjabat Gubernur Papua Barat. Ia menuturkan wajar jika ada aksi dan reaksi dari masyarakat di Bumi Cenderawasih tersebut. Menurut dia, hal itu sebenarnya merupakan upaya memberi dorongan dan catatan. “Berarti ini kan ada hal-hal yang saya belum tahu dan sejauh mana pendapat dan pikiran mereka. Saya akan berkomunikasi dan merangkul mereka untuk sama-sama bicara. Ayo sama-sama kita kerja," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Tito Karnavian menitipkan sejumlah pesan kepada Paulus. Salah satunya, dia meminta Paulus menjaga stabilitas dan keamanan Papua. "Beliau pernah menjadi Kapolda, putra daerah, serta orang asli Papua. Dengan segala pengalaman, kemampuan akademik, dan jam terbang, kami berharap dia bisa menjaga stabilitas politik dan pertahanan di Papua," ujar Tito.
Unjuk rasa penolakan DOB dan otonomi khusus di Papua meletus di berbagai kota di Papua pada Selasa lalu. Demonstrasi di Jayapura berujung ricuh. Tujuh aktivis Papua ditangkap, tapi kini telah dibebaskan. Aksi demo tersebut merupakan buntut dari pengesahan rancangan undang-undang yang mengatur pembentukan tiga provinsi baru di Papua, yakni Papua Tengah, Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan, sebagai RUU inisiatif DPR. Majelis Rakyat Papua (MRP) menilai pemekaran wilayah bukan solusi atas masalah di Papua.
MRP juga menilai dasar hukum pemekaran wilayah di Papua, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, saat ini masih dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi. Salah satu pasal yang digugat adalah perihal wewenang di balik pemekaran wilayah Papua. Sebelum Undang-Undang Otsus Papua direvisi pada 2021, pemekaran wilayah hanya dapat dilakukan atas persetujuan MRP. Namun, setelah direvisi, Undang-Undang Otonomi Khusus Papua juga memberi kewenangan kepada pemerintah pusat untuk memekarkan Papua.
Wakil Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, mengatakan penolakan orang asli Papua terhadap DOB yang dibuat pemerintah pusat telah dilakukan sejak 1999. Tapi wacana itu tetap dilanjutkan pemerintah pusat pada 2003, dan kemudian dilegalkan pada 2021.
Rivanlee menuturkan penolakan masyarakat Papua berawal dari proses perumusan aturan yang tidak partisipatif. Sebab, menurut dia, orang asli Papua tak pernah serius diajak bicara dalam proses pemekaran wilayah. "Pembentukan daerah otonomi baru juga berpotensi menimbulkan rasa tidak aman. Sebab, ada kekhawatiran akan diterjunkan kembali sejumlah aparat keamanan yang dapat meningkatkan terjadinya berbagai pelanggaran hak asasi di Papua," kata Rivanlee. Masyarakat Papua tentunya berharap penjabat kepala daerah mampu mengatasi hal ini.
DEWI NURITA | MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo