Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Geliat Perlawanan setelah Penangkapan

Penangkapan Haryadi Suyuti menjadi pemantik gerakan masyarakat untuk membongkar dugaan adanya obral izin pendirian apartemen dan hotel di Kota Yogyakarta. Mereka mendorong KPK mendalami izin pendirian lain di luar Royal Kedhaton.

16 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Masyarakat sipil di Kota Yogyakarta mendorong KPK agar mengusut izin pendirian apartemen dan hotel selain Royal Kedhaton.

  • Pemerintah Kota Yogyakarta disebut-sebut pernah mengobral izin pendirian apartemen dan hotel pada 2013.

  • Benih perlawanan masyarakat terhadap Pemerintah Kota Yogyakarta mengemuka sejak 2013,

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Masyarakat sipil dari berbagai kalangan kerap berkumpul di kantor Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta dalam dua pekan terakhir. Mereka menggagas gerakan untuk mendorong pengungkapan dugaan adanya suap dalam pengurusan berbagai izin mendirikan hotel, restoran, dan penginapan di masa Haryadi Suyuti menjabat Wali Kota Yogyakarta pada 2011-2016 dan 2017-2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adalah penangkapan Haryadi yang menjadi pemantik gerakan tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Haryadi karena diduga menerima suap Rp 440 juta dalam pengurusan izin mendirikan bangunan apartemen Royal Kedhaton di Kampung Kemterian Lor, Kecamatan Gedong Tengen, Yogyakarta, Kamis dua pekan lalu. Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus suap ini dan langsung dijebloskan ke rumah tahanan KPK.

Agenda terdekat mereka yaitu beraudiensi dengan penjabat Wali Kota Yogyakarta, Sumadi. Mereka akan mempertanyakan berbagai izin hotel dan apartemen yang sarat kejanggalan di era Haryadi. “Ini bagian dari mengajak masyarakat mengawal kasus korupsi Haryadi Suyuti,” kata Direktur LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetya, Selasa, 14 Juni 2022.

Ia mengatakan koalisi masyarakat mendukung langkah KPK untuk mengembangkan kasus suap pemberian izin Royal Kedhaton ke berbagai izin pendirian hotel dan apartemen lainnya. Selain bentuk dukungan, mereka mengumpulkan masyarakat yang menjadi korban akibat memprotes kebijakan pemberian izin mendirikan bangunan di masa Haryadi.

Sebetulnya benih perlawanan kepada pemerintah kota ini sudah muncul sejak 2013. Ketika itu, Wali Kota Haryadi memberikan izin pendirian hotel secara masif di Yogyakarta. Namun perlawanan mereka saat itu diredam dengan berbagai cara, termasuk intimidasi.

Protes warga bukan hanya dalam urusan izin pendirian hotel dan penginapan. Mereka juga pernah mengkritik keputusan Haryadi menghentikan Sego Segawe (Sepeda Kanggo Sekolah lan Nyambut Gawe) atau sepeda untuk sekolah dan bekerja. Padahal kegiatan Sego Segawe ini sudah muncul sejak 2008.

Anggota komunitas Pit Dhuwur atau Sepeda Tinggi, Arif, mengingat ancaman seorang petugas Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Yogyakarta saat dia memprotes Haryadi yang menghentikan Sego Segawe tersebut. Arif juga diperkarakan ketika memprotes hilangnya jalur hijau dan jalur sepeda dengan menuliskan kritik di tembok-tembok jalan kota. Mural itu di antaranya berbunyi Ora Masalah Har atau Tidak Masalah Haryadi.  “Saya jadi tersangka vandalisme,” kata Arif di kantor LBH, pekan lalu.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera, mengatakan KPK perlu mendalami terbitnya seratus lebih izin pendirian hotel pada akhir 2013. Obral izin inilah yang membuat masyarakat marah dan memprotes pemerintah kota. Satu tahun berikutnya, Haryadi melakukan moratorium pembangunan hotel.

Meski ada moratorium, faktanya pembangunan hotel baru tetap bermunculan. Bahkan, kata Halik, ada hotel yang mendapat izin pendirian padahal belum mengantongi izin pemanfaatan air. Warga sekitar hotel tersebut sudah memprotesnya, tapi tak digubris.

Halik mencatat, sejumlah hotel di Yogyakarta sesungguhnya melanggar perizinan pembangunan. Misalnya, bangunan hotel melebihi batas ketinggian bangunan dan melanggar pemanfaatan sempadan sungai.

Kasus suap pendirian Royal Kedhaton menjadi contoh pemberian izin yang melanggar aturan. Bangunan apartemen milik PT Summarecon Agung Tbk itu akan setinggi 40 meter dengan 14 lantai. Padahal Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Yogyakarta mengatur bahwa maksimal tinggi bangunan untuk kepentingan ekonomi adalah 32 meter di atas permukaan tanah atau sekitar delapan lantai.

“KPK semestinya menelusuri izin-izin bermasalah itu,” kata Halik.

Peneliti dari Pusat Studi Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpendapat KPK bisa mengembangkan dugaan suap Haryadi melalui pendekatan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Bila ada uang atau harta benda berasal dari tindak pidana, kata dia, KPK berwenang menyita agar uang atau harta itu tidak dilarikan, diubah bentuk, dan dihilangkan hingga pembuktian di persidangan. Lalu, ketika hakim memutuskan aset kekayaan Haryadi berasal dari tindak pidana, negara berhak merampasnya sebagai hasil kejahatan.

Zaenur mencontohkan pada kasus Bupati Bangkalan, Jawa Timur, Fuad Amin, yang dijerat pencucian uang. Kasus Fuad Amin juga berawal dari penangkapan KPK karena menerima suap. “TPPU ini pendekatan yang progresif,” kata Zaenur.

Pegiat Warga Berdaya, Dodo Putra Bangsa, mencukur rambut sebagai ungkapan syukur setelah mantan Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, di depan kantor Balai Kota Yogyakarta. TEMPO/Shinta Maharani

 

Benih Perlawanan

Pada 2013, muncul gerakan Warga Berdaya yang memprotes komersialisasi ruang publik melalui iklan luar ruangan, baliho, dan pemberian izin hotel yang menggusur kampung-kampung. Gerakan mereka menggunakan cara-cara non-kekerasan untuk melawan maraknya pembangunan hotel saat itu.

Gerakan tersebut menginspirasi munculnya sejumlah jargon perlawanan, seperti Jogja Ora Didol, Jogja Asat, dan Jogja Kangen KPK. Bagi mereka, pembangunan yang tak terkendali berdampak buruk bagi kota dan masyarakat. Misalnya, akan terjadi penurunan kualitas air serta hilangnya ruang pubik dan ruang terbuka hijau.

Meski berawal dari Kota Yogyakarta, gerakan Warga Berdaya meluas hingga ke Kabupaten Sleman. Mereka melakukan berbagai bentuk perlawanan yang kreatif, misalnya aksi seni-budaya.

Saat Haryadi tertangkap KPK, mereka menggelar syukuran di depan kompleks Balai Kota Yogyakarta pada Sabtu pekan lalu. Pegiat Warga Berdaya, Dodo Putra Bangsa, meluapkan kegembiraan atas penangkapan itu dengan mencukur rambut gondrongnya hingga kepalanya gundul.

Seusai syukuran, mereka mengajak masyarakat agar mengawal kasus suap Haryadi Suyuti. Mereka berdiskusi dengan masyarakat di warung angkringan Kampung Miliran, Kota Yogyakarta--tempat kongko pinggir jalan. “Mari terus bicarakan dalam pertemuan dan forum-forum diskusi supaya publik terus berani bersuara melawan korupsi,” kata Elanto Wijoyono, pegiat Warga Berdaya.

SHINTA MAHARANI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus