Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAKYAT kebanyakan di Aceh menghormatinya seperti dia Robin Hood. TNI, yang bertahun-tahun memburunya tanpa hasil, menganggap dia tak lebih dari perampok, pembunuh, dan tokoh separatis. Para prajurit Gerakan Aceh Merdeka (GAM) meyakini dia sakti?kebal peluru serta bisa menghilangkan wujud dirinya.
Ahmad Kandang memang legenda hidup, jika dia masih hidup.
Pekan lalu, bertiup kabar sayup-sayup, Kandang tewas dalam sebuah operasi militer GAM di pedalaman Pase, Lhokseumawe, 27 Januari lalu. Bukan oleh peluru, bukan oleh musuh, melainkan oleh bom yang tengah dipasang atau dirakitnya sendiri.
"Dia sedang memasang bom di sebuah jembatan yang akan dilalui TNI. Tapi, belum lagi selesai terpasang, bom meledak," kata seorang prajurit GAM kepada TEMPO. Kandang beserta seorang temannya tewas, kata sumber itu, sementara dua orang lainnya luka parah. Sumber lain di GAM membenarkan kabar kematian Kandang. Namun, kata dia, Kandang tidak tewas di jembatan melainkan ketika sedang meracik bom di pedalaman hutan Matangkuli, Aceh Utara.
Namun, dua keterangan itu dibantah para petinggi GAM. "Beliau sehat-sehat saja dan saat ini ada di markas," kata Wakil Panglima GAM Wilayah Pase, Sofyan Daud.
Bagaimanapun, kematian Kandang, jika benar, memang kehilangan besar bagi GAM. Berusia 33 tahun, pria berkulit hitam yang kerap dipanggil Ahmad Juanda itu merupakan simbol liatnya perlawanan menghadapi TNI. Dia juga punya daya pikat hebat di kalangan rakyat kebanyakan. Pemuda ini dikenal akrab dengan penduduk meski ia pernah lama bermukim di Malaysia.
Reputasinya sebagai komandan lapangan sulit diragukan. Pada Januari 1999, misalnya, pria yang memiliki nama asli Muhammad Rasyid itu pernah diserbu oleh seribu pasukan TNI di Desa Meunasah Blang, Kandang, Aceh Utara, tempatnya bermukim. Tentara ketika itu turun dengan kekuatan penuh, termasuk dengan mendatangkan pasukan elite TNI Angkatan Laut dengan persenjataan lengkap, termasuk sebuah helikopter. Tapi Kandang berhasil mengecoh tentara dan hilang sebelum sempat ditangkap. Tentara yang marah menyisir kampung dan menangkap beberapa penduduk.
Meski tampak ada perasaan lega, kalangan TNI sendiri tak kurang hati-hati menanggapi kabar kematian Kandang itu. Komandan Kodim 0103 Aceh Utara, Letkol (Inf.) Suyatno, mengaku telah mendengar berita ini tapi untuk sementara mereka belum mau mengambil kesimpulan. "Saya yakin, Ahmad Kandang telah tewas, meski kami sekarang sedang berusaha memastikannya," katanya.
TNI punya pengalaman buruk menyangkut "kabar gembira" semacam itu. Tahun lalu TNI mengumumkan telah menembak Panglima Angkatan GAM Abdullah Syafi'ie. Namun, mereka harus menanggung malu karena hanya beberapa hari setelah pengumuman itu Syafi'ie muncul di koran dan televisi.
Lebih dari itu, Kandang memang lama berada di batas antara ada dan tiada. Bertahun-tahun TNI memburunya tapi tak berhasil menangkapnya. Pria tersebut dituduh berada di belakang penculikan sembilan prajurit TNI pada Desember 1998. Dua prajurit selamat, tapi tujuh lainnya ditemukan terbunuh. "Mereka diperlakukan secara biadab," kata Kolonel Johnny Wahab, Komandan Korem 011/Lilawangsa kala itu.
Bagi Jakarta, Ahmad Kandang memang nama yang tak punya sedikit pun sisi baik. Ia dituduh merampok uang Rp 400 juta dari BCA Cabang Lhokseumawe pada 1996. Dalam peristiwa itu seorang satpam tewas dan tiga polisi terluka. Kandang, menurut para pejabat TNI, memakai uang hasil rampokan itu untuk membeli senjata dan perlengkapan perang lainnya.
Setelah lolos dari serbuan TNI pada Januari 1999, Kandang seperti hilang ditelan bumi. Wartawan TEMPO yang diundang untuk menghadiri perayaan ulang tahun GAM 4 Desember tahun lalu, di pedalaman hutan Aceh Utara, sempat melihat dia hadir, tapi tak lama. Selesai upacara, pria yang pernah berlatih militer di Libya itu menghilang dan luput dari perhatian wartawan.
Dia memang legenda hidup, jika masih hidup.
Arif Zulkifli, Zainal Bakri (Lhokseumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo