Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kado Istana untuk Perampas Tanah Rempang

Joko Widodo meneken Perpres 78/2023. Dianggap melegitimasi perampasan tanah warga Rempang dan lokasi konflik agraria lainnya.

27 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 yang dianggap melegitimasi pengosongan paksa Pulau Rempang.

  • Peraturan baru ini dinilai juga sebagai bukti upaya relokasi yang digencarkan BP Batam selama ini sebagai tindakan di luar prosedur.

  • Jaminan santunan tak akan mengatasi akar masalah di Pulau Rempang, yakni diabaikannya hak masyarakat atas tanah mereka oleh pemerintah selama ini.

RIZAN punya dua alasan tak menghadiri pertemuan di Swiss-Belhotel Harbour Bay, Batam, Kepulauan Riau, pada Senin, 18 Desember lalu. Pertama, undangan dari Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) baru ia terima sehari sebelumnya, sekitar pukul 22.00 WIB. Kedua, yang paling penting, dia khawatir kehadirannya di pertemuan itu bakal diklaim sebagai persetujuan warga Pulau Rempang terhadap rencana relokasi. "Kami tetap menolak relokasi," kata Rizan, Ketua RW 03 Kampung Pasir Panjang, Kelurahan Rempang Cate, Rempang, Kota Batam, kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedianya, dalam pertemuan di hotel bintang empat tersebut, BP Batam hendak mensosialisasi Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. Perpres yang baru diteken Presiden Joko Widodo pada 8 Desember lalu tersebut belakangan disorot karena dianggap oleh sejumlah kalangan sebagai senjata baru bagi BP Batam dalam mengosongkan Pulau Rempang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rizan segera meneruskan pesan berisi undangan pertemuan tersebut kepada warganya via grup percakapan WhatsApp. Namun, menurut dia, masyarakat di kampungnya juga tetap menolak rencana relokasi. Alasannya sama, seperti yang berulang kali disampaikan oleh masyarakat penolak relokasi selama ini: mereka telah tinggal di Pulau Rempang lebih dari lima generasi, baik sebagai petani maupun nelayan. "Lagi pula, belum tentu di tempat relokasi ada penghidupan," kata Rizan. 

Menurut Rizan, Perpres Nomor 78 Tahun 2023 tak menjawab tuntutan warga Pulau Rempang. Alih-alih demikian, kata dia, peraturan anyar itu hanya membenarkan tindakan BP Batam yang berniat merampas tanah warga Rempang. "Kami hanya ingin mendapatkan hak tanah kami," kata Rizan. "Tapi pengajuan sertifikat kami selama ini tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah." 

Warga asli dari lima kampung yang terkena dampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City Pulau Rempang tahap pertama menggelar aksi solidaritas menolak relokasi di Sembulang, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 11 Oktober 2023. ANTARA/Teguh Prihatna 

Perpres 78/2023 merupakan perubahan atas Perpres Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional. Penanganan dampak sosial yang dimaksudkan berupa pemberian santunan untuk memindahkan masyarakat dari tanah yang akan digunakan untuk pembangunan proyek strategis nasional (PSN) dan non-PSN. Santunan, berupa uang dan/atau permukiman kembali, diberikan kepada masyarakat yang menguasai dan memanfaatkan tanah negara dalam pengelolaan pemerintah atau tanah milik pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik negara. 

Salah satu perubahan yang paling krusial dalam peraturan baru ini adalah diberikannya kewenangan kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk menangani dampak sosial tersebut. Perpres 78/2023 memang tak menyebutkan secara spesifik BP Batam. Namun, sudah bisa ditebak, aturan itu untuk mengakomodasi BP Batam yang sejak September lalu berupaya memindahkan warga sejumlah kampung di Pulau Rempang. Pulau itu akan disulap menjadi kawasan Rempang Eco-City, PSN baru yang diinisiasi PT Makmur Elok Graha, bagian dari Grup Artha Graha milik taipan Tomy Winata.

Sepintas, aturan ini memberikan jalan tengah berupa jaminan pemberian santunan kepada masyarakat yang tak memiliki sertifikat tanah pada lahan yang akan menjadi lokasi pembangunan. Namun konflik Rempang, yang memuncak pada pertengahan September lalu, tak sesederhana itu. Masyarakat yang telah turun-temurun tinggal di sana sudah lama tak pernah bisa memperoleh layanan pembuatan sertifikat tanah. Belakangan, tanah itu hendak dirampas karena adanya perjanjian investasi.

Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru Noval Setiawan mengatakan perpres tersebut memberikan kuasa kepada BP Batam untuk memberi santunan berupa uang dan relokasi kepada masyarakat yang lahannya akan digunakan untuk PSN Rempang Eco-City. Dengan kata lain, kata dia, pemerintah memberi kewenangan kepada BP Batam untuk menggusur. “Perpres ini membenarkan tindakan relokasi BP Batam sebelumnya yang diduga dilakukan tak sesuai dengan prosedur," kata Noval.

Dalam regulasi sebelumnya, yakni Perpres Nomor 62 Tahun 2018, kementerian atau lembaga, pemerintah daerah, BUMN, atau BUMD yang tanahnya akan digunakan untuk pembangunan nasional dan dikuasai oleh masyarakat harus menyusun dokumen rencana penanganan dampak sosial kemasyarakatan. Dokumen itu memuat data masyarakat serta letak, luas, dan kondisi tanah yang mereka kuasai. Dokumen rencana penanganan dampak sosial itu selanjutnya disampaikan kepada gubernur, yang kemudian membentuk tim terpadu. Langkah ini ditengarai tak dilalui dalam upaya pengusiran paksa berujung bentrokan di Pulau Rempang pada September lalu. 

Noval mengatakan warga Rempang kini semakin resah oleh kehadiran Perpres 78/2023. Aspirasi warga Rempang penolak relokasi tidak didengar karena perpres tersebut hanya mengatur relokasi, tanpa mempertimbangkan hak masyarakat atas tanah mereka. Karena itu, kata Noval, warga Rempang penolak relokasi tak menghadiri sosialisasi BP Batam. “Mereka berkomitmen tetap menolak relokasi,” ujarnya.

Legitimasi Sekaligus Bukti Maladministrasi Relokasi

Anggota Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Edy Kurniawan berpandangan serupa. Dia menilai Perpres 78/2023 hanya untuk mewadahi kepentingan BP Batam dan calon investor Rempang Eco-City. Dia mencontohkan adanya penambahan ayat 1a pada Pasal 12. Ayat 1 pasal tersebut menyatakan gubernur dapat mendelegasikan kewenangannya kepada bupati atau wali kota. Artinya, pelimpahan kewenangan itu bersifat opsional, bisa tetap dijalankan oleh gubernur atau dialihkan kepada bupati atau wali kota. 

Namun aturan baru yang disisipkan, yakni ayat 1a, menegaskan bahwa kewenangan penanganan dampak sosial dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) jika lokasi dampak sosial tersebut berada di KPBPB. "Artinya, dalam konteks konflik Rempang, BP Batam diberi kewenangan penuh," ujarnya.

Edy menilai Perpres 78/2023 memberikan dasar hukum bagi BP Batam untuk merelokasi. Perpres baru ini, kata dia, sekaligus menunjukkan bahwa relokasi yang dilakukan BP Batam sebelumnya tidak punya dasar hukum. “Ini membuka bobroknya proses relokasi sebelumnya. Artinya, BP Batam merelokasi tanpa ada dasar hukum,” tuturnya.

Karena tak punya dasar hukum, menurut Edy, relokasi yang dilakukan BP Batam sebelumnya terindikasi maladministrasi alias merupakan perbuatan melawan hukum. Bahkan tindakan itu patut diduga sebagai tindak pidana bila ditemukan adanya kerugian negara. “Misalnya, tanah pengganti relokasi itu sudah diadakan dan ada bangunan yang menggunakan dana APBD. Itu kan sudah menimbulkan kerugian negara. Jadi bisa saja mengarah pada dugaan korupsi,” ujarnya.

Selain itu, kata Edy, Perpres 78/2023 mengatur mekanisme pemberian tanah pengganti. Masalahnya, selama ini, BP Batam malah lebih dulu menyiapkan tempat relokasi beserta rumah dan fasilitas umumnya. “Jadi, pertanyaannya, apa dasar hukum BP Batam menyiapkan tempat rekolasi itu?” kata Edy. "Sedangkan perpres sebelumnya pun tidak mengaturnya." 

Dalam pertemuan sosialisasi pada Senin, 18 Desember lalu, Kepala BP Batam yang juga Wali Kota Batam Muhammad Rudi menyatakan Perpres 78/2023 menjadi landasan dibangunnya proyek Rempang Eco-City di Kota Batam. Sebab, perpres tersebut memberi kewenangan kepada BP Batam untuk menyelesaikan masalah di Rempang. "Karena khusus Batam yang menangani adalah BP Batam sendiri. Maka BP Batam dimasukkan di situ untuk menyelesaikan masalah Rempang Eco-City ini," kata Rudi kepada awak media setelah sosialisasi di Swiss-Belhotel Harbour Bay, Batam.

Warga keturunan Suku Orang Darat yang merupakan kelompok suku asli Pulau Rempang terkena dampak rencana Proyek Strategis Nasional Rempang Eco-City, di rumah bantuan pemerintah di Kampung Sungai Sadap, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 3 November 2023. ANTARA/Teguh Prihatna

Salah Sasaran Penanganan Dampak Pembangunan

Edy Kurniawan menilai Perpres 78/2023 tidak menyelesaikan akar masalah di Rempang. Regulasi baru ini justru memberi ruang pemerintah untuk merampas hak tanah masyarakat atas nama pembangunan. Dengan dalih pemberian santunan, tindakan merampas tanah seolah-olah dibenarkan. “Padahal akar masalah kasus Rempang itu konflik agraria. Masyarakat sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di sana, tapi tak diakui status tanahnya."

Menurut Edy, Perpres 78/2023 ini dapat digunakan bila statusnya tanah negara. Masalahnya, dalam kasus Rempang, masyarakat sudah berpuluh-puluh tahun menetap di sana. Namun pemerintah tidak pernah memberi pengakuan atas tanah milik masyarakat. Padahal Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jelas menegaskan bahwa negara harus mengakui hak tanah masyarakat bila sudah dikuasai selama 20 tahun berturut-turut. Tidak hanya itu, dalam peraturan Menteri Kehutanan, masyarakat yang sudah menguasai tanah dalam kawasan hutan secara turun-temurun seharusnya sudah dikeluarkan dari kawasan hutan dan diakui milik masyarakat.

“Karena itu tanah di Rempang bukan tanah negara,” ujarnya. “Karena bukan tanah negara, Perpres Nomor 78 ini tak bisa diterapkan di Rempang."

Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Benni Wijaya mengatakan perpres tersebut memuluskan upaya BP Batam merebut hak masyarakat atas tanah. Pemberian santunan berupa uang atau relokasi justru memaksa masyarakat menyerahkan tanahnya atas nama pembangunan nasional. Padahal masyarakat memiliki hak untuk menolak relokasi. “Pemberian santunan berupa uang atau relokasi hanya manipulasi supaya masyarakat menerima untuk dipindahkan,” tuturnya, kemarin. 

Menurut Benni, akar masalah Rempang adalah pemerintah tak pernah mengakui hak masyarakat atas tanah. Padahal masyarakat sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di sana. “Terbitnya hak pengelolaan lahan BP Batam juga melanggar hak konstitusional warga Rempang. Sebab, mengabaikan keberadaan masyarakat yang sudah berada di sana selama puluhan tahun."

Selain di Rempang, Benni melihat potensi Perpres 78/2023 digunakan sebagai alat untuk menyingkirkan hak tanah masyarakat adat di berbagai daerah. Atas nama pembangunan nasional, masyarakat adat akan digusur, lalu tinggal diberi santunan. Belum lagi berbagai aturan turunan UU Cipta Kerja, kini sudah dijalankan untuk merampas hak masyarakat. Beberapa peraturan itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional serta Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah. “Terbitnya perpres ini semakin menyempurnakan operasi yang sangat sistematis oleh negara, yakni mengambil hak masyarakat,” kata Benni.

Permukiman yang dijadikan hunian sementara warga Pulau Rempang yang terkena dampak relokasi, di Perumahan Bida Tiga, Sambau Nongsa, Batam, Kepulauan Riau, 28 September 2023. ANTARA/Teguh Prihatna

Tempo telah berupaya meminta penjelasan Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Perekonomian, Wahyu Utomo, ihwal penerbitan Perpres 78/2023 serta permasalahan di Pulau Rempang. Namun Wahyu, yang juga Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), tak merespons panggilan telepon dan pesan Tempo. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Investasi Ricky Kusmayadi serta juru bicara Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi setali tiga uang. 

Sementara itu, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menyatakan tak bisa menjelaskan mengenai perpres ini. Dia mengarahkan agar pertanyaan diajukan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Kepala Bagian Pemberitaan dan Hubungan Antar-Lembaga pada Kementerian ATR/BPN Risdianto Prabowo Samudro menyatakan sedang menyiapkan jawaban atas pertanyaan Tempo. Namun dia belum memberikan jawaban itu hingga berita ini diturunkan.

Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait menampik tudingan bahwa Perpres 78/2023 hanya sebagai legitimasi bagi lembaganya untuk merelokasi warga Rempang. Menurut dia, Perpres 78/2023 justru menjadi landasan penting guna menjamin hak-hak masyarakat yang terkena dampak pengembangan kawasan Rempang. Pemberian kewenangan penanganan dampak sosial kepada BP Batam juga menjadi dasar realisasi investasi Rempang Eco-City. “Perpres itu memaksimalkan realisasi investasi Rempang Eco-City,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.

Menurut dia, tidak ada batas waktu bagi warga Rempang untuk pendaftaran relokasi. Sejauh ini, sudah ada 86  keluarga bergeser ke hunian sementara yang disiapkan BP Batam. Proses ini, kata Ariastuty, akan terus berjalan. “Laporan tim, besok akan kembali dilaksanakan pergeseran terhadap delapan keluarga ke hunian sementara,” ujarnya.

HENDRIK YAPUTRA | YOGI EKA SAHPUTRA 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus