Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -– Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta (PSBPS UMS) meneliti potensi radikalisme dan ekstrimisme di website dan media sosial. Ketua Peneliti PSBPS Yayah Khisbiyah mengatakan, penelitian untuk memahami peran media sosial dalam menyebarkan ideologi radikalisme dan mendukung ekstremisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Sekarang tinggal proses menganalisis, tapi dalam analisis kami meminta masukan,” kata Yayah saat Roundtable Discussion di kantor Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa 31 Oktober 2017. Ia menjelaskan penelitian ini dilatar-belakangi adanya kritik terhadap riset radikalisme dan adanya framing yang menyebutkan Islam sebagai sumber radikalisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Yayah menjelaskan terdapat perbedaan antara radikalisme dan ekstrimisme. Radikalisme, kata dia, adalah pendapat dan perilaku yang menyukai perubahan ekstrim terutama di pemerintahan: gagasan dan perilaku politik yang radikal. Sementara ekstrimisme adalah kepercayaan dan dukungan untuk gagasan yang sangat jauh dari apa yang dianggap benar dan beralasan.
Penelitian ini mengambil 17 situs web sebagai sampel dalam penelitian. Sebanyak 13 informan terpilih dan 10 pengelola website pun diwawancara untuk penelitian ini. “Ini karena waktu terbatas, apalagi isunya sensitif,” kata Yayah. Beberapa situ organisasi Islam mainstream digunakan seperti web Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Wathan.
Situs organisasi Islam kontemporer seperti FPUI, Hidayatullah, Dewan Dakwah, MMI, dan MTA juga dijadikan objek penelitian. Selain itu terdapat situs organisasi Islam unaffiliated juga menjadi objek penelitian yang rencananya dirilis pada awal Desember 2017 ini.
Anggota tim peneliti, M. Subkhi Ridho, menemukan kecenderungan pengguna media sosial didominasi 60-70 persen laki-laki yang mendukung dan menolak wacana terorsme. Ia menjelaskan kecenderungan motif pembuatan situs adalah keinginan pengguna untuk mengkritisi pemerintah. “Ada juga untuk menghentikan hoax, meskipun banyak yang menghentikan hoax justru menimbulkan hoax,” ujarnya.
Yayah menyatakan keprihatian bahwa media sosial cenderung digunaan untuk menyebarluaskan pandangan radikalisme dan kekerasan ekstremis. “Karena tujuan utk mencapai masyarakat adil mungkin bisa tidak tercapai.Cara kekerasan itu jarang memberi kedamaian yang sustainable,” ujarnya.