Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANSYUR, 40 tahun, duduk terkulai dengan mata merah. Hari itu adalah hari ketiga ia menjadi penghuni teras kantor Administrator Pelabuhan Majene, Sulawesi Barat. Leunglai di atas koran bekas, ia menantikan kabar kedua adiknya yang menjadi penumpang kapal motor Teratai Prima yang karam.
Rabu pagi pekan lalu itu cuaca sangat cerah. Tim pencari menjanjikan akan memberangkatkan kapal polisi Belibis pukul delapan pagi. Namun, hingga tengah hari, kapal itu masih mangkrak di Pelabuhan Majene. ”Selama tiga hari ini tim SAR mencari tapi tanpa hasil. Jangan-jangan cuma rekreasi,” katanya.
Sejak diterjunkan sebagai kapal pencari, Belibis hanya berlayar dua jam sehari. Sisanya, kapal itu lebih banyak menjadi tontonan di pelabuhan. Mansyur mengatakan tim pencari tidak serius menangani kecelakaan kapal Teratai Prima. Bersama beberapa keluarga korban lain, Mansyur sempat saweran untuk menyewa kapal.
Kapal Teratai Prima tenggelam di perairan Baturoro, Majene, Sulawesi Barat, Minggu dinihari dua pekan lalu. Kapal dengan 250 penumpang ini berangkat dari Parepare menuju Samarinda sehari sebelumnya.
Anehnya, informasi tentang kapal tenggelam baru diketahui dari laporan korban selamat. Ahmad Undu, juru masak kapal, diselamatkan kapal nelayan, dibawa ke Pelabuhan Majene, lalu melapor ke pelabuhan 12 jam setelah kejadian.
Kabar dari Majene itu sampai ke Pelabuhan Parepare. Dari sini baru menyebar ke berbagai lembaga, termasuk Tentara Nasional Indonesia. Kepala Pelabuhan Parepare Nurwahidah mengatakan kapal Teratai sama sekali tidak mengirim laporan ke pelabuhan. Nakhoda hanya mengirim kabar adanya badai pukul dua dinihari kepada pemilik kapal, PT Batari Mulya Samarinda. Nakhoda melaporkan kapal aman dan bisa meneruskan perjalanan.
Nurwahidah mengatakan kapal Teratai bertolak dari Parepare dalam cuaca hujan meski masih memungkinkan berlayar: angin lemah dan laut tidak berombak. Sesaat setelah Teratai berangkat, kapal penumpang Kalia juga angkat sauh menuju Nunukan.
Asisten Pangkalan Utama Angkatan Laut Makassar Kolonel Laut Jaka Santosa mengatakan baru mengetahui informasi tenggelamnya kapal Teratai pada pukul setengah enam sore. Kabar itu pun diterima setelah seorang wartawan menelepon. Setelah itu, rapat dadakan digelar pukul delapan malam bersama Administrator Pelabuhan, Perhubungan, dan Badan Search and Rescue.
Jaka mengatakan rapat memutuskan akan menurunkan KRI Untung Suropati yang sedang bersandar di Makassar. Tapi kapal patroli ini terhambat karena pasokan bahan bakar dari Pertamina terlambat. Penyebab keterlambatan ini adalah, ”ada beberapa syarat administrasi yang harus dipenuhi,” kata Jaka.
Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Andi Jamaro Dulung, menyesalkan birokrasi yang menghambat proses penyelamatan. Menurut dia, Pertamina Makassar baru bisa mengeluarkan bahan bakar jika pimpinan di Jakarta setuju. ”Tindakan birokratis ini sangat tidak manusiawi,” katanya.
Andi mengatakan Pertamina menolak memberikan suplai bahan bakar karena Angkatan Laut masih memiliki utang. Menurut dia, informasi tenggelamnya kapal sudah terlambat sekitar 12 jam. Tindakan penyelamatan menjadi tambah molor dua kali lebih lama karena urusan bahan bakar itu. ”Kecelakaan bisa saja akibat cuaca. Tapi korban banyak meninggal karena terlambat penanganan,” ujarnya.
Kepala Humas Pertamina Pusat Anang Rizkani Noor mengatakan Pertamina tidak pernah menolak mengisi bahan bakar karena Tentara Nasional Indonesia masih berutang. Menurut dia, Pertamina mendukung segala tindakan penyelamatan tanpa harus ada permintaan. ”Kami dukung tanpa memperhitungkan masalah bisnis,” katanya.
Anang membantah Pertamina Makassar baru bergerak setelah pusat memberikan lampu hijau. Selasa pekan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan Pertamina harus selalu memasok bahan bakar tim penolong. Tagihan akan ditanggung Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana.
Hingga akhir pekan lalu, tim SAR gabungan masih melakukan pencarian melalui laut dan udara. Mereka mengerahkan kapal pencari dan evakuasi, antara lain kapal Suropati, Belibis, Thalia, serta perahu nelayan lokal. Angkatan Udara juga menurunkan pesawat Boeing 3701 dan 3703. Pencarian juga melalui darat dengan mengerahkan 400 orang.
AMRI Biri, 34 tahun, tak henti-hentinya memelototi kertas pengumuman yang ditempel di dinding kantor Pelabuhan Parepare, Sulawesi Selatan. Jumat pekan lalu, warga Pinrang, Sulawesi Selatan, ini masih kelimpungan mencari informasi lima keponakannya. Amri yakin kelimanya menumpang Teratai Prima. Namun daftar penumpang yang ditempel di dinding kantor itu tak memuat satu pun nama keponakannya.
Kelima anggota famili Amri pergi ke Samarinda dari Parepare untuk bekerja di perusahaan pengeboran. Nahas, di tengah jalan, Teratai Prima tenggelam diterjang ombak.
Amri membeli tiket dari sebuah agen perjalanan di Parepare seharga Rp 180 ribu per lembar. Kapal berangkat Sabtu pukul 17.45. Ia sendiri yang mengantar lima keponakannya hingga duduk sesuai dengan tiket. Amri masih ingat betul nomor tiketnya. ”Kami membeli tiket asli, tapi kok tidak terdaftar di manifes,” ujarnya.
Amri berharap keluarganya selamat dari kecelakaan itu. Ia pun sempat mengikuti kapal Untung Suropati mencari korban kecelakaan. Hingga akhir pekan lalu, baru ada 35 korban selamat dari 250 penumpang. Tim penyelamat juga telah menemukan delapan jenazah yang diduga korban kecelakaan ini. Tapi Amri belum juga menemukan kabar lima keponakannya.
Petugas kantor Pelabuhan Majene, Sutriani, mengatakan posko Teratai Prima menerima laporan sekitar 20 keluarga korban yang namanya tidak masuk manifes. Menurut dia, penumpang tak terdaftar itu mungkin membeli tiket dari calo atau hanya menggunakan nama panggilan. ”Sangat menyulitkan pendataan,” kata Sutriani.
Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal mengatakan sedikitnya ada 103 nama yang dilaporkan ke posko Parepare tapi tidak tercatat dalam manifes. Dari 35 korban selamat juga hanya ada 14 nama yang terdaftar di manifes. Menurut dia, peralatan keselamatan kapal juga sangat tidak memadai. ”Tidak ada pemberitahuan tentang tata cara pakai alat tersebut,” kata Jusman.
MENDADAK Husdi Silei teringat pesan kakeknya agar melempar sebutir telur ke laut jika melintas di atas perairan Baturoro, Majene, Sulawesi Barat. Segera pemuda 18 tahun ini bergegas meninggalkan tempat tidurnya menuju pinggir kapal seraya melaksanakan nasihat leluhurnya. ”Karena dianggap tempat keramat,” kata Husdi.
Lelaki itu berangkat ke Samarinda untuk bekerja di perusahaan minyak. Ini pertama kalinya dia naik kapal. Setelah menjalankan ritual buang telur, Husdi kembali ke peraduan. Hari masih gelap. Hampir semua penumpang terlelap. Tapi, belum sempat mata terpejam, brak..., ombak menghantam kapal hingga oleng. Air masuk. Penumpang lain panik.
Dalam hitungan menit, kapal Teratai Prima dimakan ombak yang tingginya mencapai lima meter. Penumpang berloncatan. Husdi lari ke sayap kanan, lalu ikut melompat. Ia bertahan di laut tanpa pelampung, hanya dengan bambu yang terapung. Rusdi baru ditemukan kapal nelayan Senin sore, setelah sehari semalam mengambang di laut. Katanya lirih, ”Saya bersyukur bisa selamat, tapi sedih karena banyak keluarga dan teman tidak jelas keberadaannya.”
Yandi M.R. (Jakarta), Irmawati (Makassar), Firman Hidayat (Samarinda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo