Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga tak memahami bahwa sapi-sapi mereka terkena antraks, lalu mengkonsumsi dagingnya bersama-sama.
Kasus antraks di Gunungkidul berawal dari tiga ekor sapi dan seekor kambing yang mati pada 15-26 Mei Mei lalu.
Pemerintah berinisiatif membentuk kader zoonosis.
YOGYAKARTA — Yulius Sugeng Ari Susanto tampak menyiramkan formalin bercampur air di kandang sapi miliknya. Kepala Dusun Jati, Desa Candirejo, Semanu, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, itu berujar memperoleh cairan tersebut dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Gunungkidul. “Ini untuk mencegah penyebaran bakteri antraks,” ujar Sugeng pada Kamis, 6 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bakteri Bacillus anthracis bersifat zoonosis, yang berarti ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Antraks sangat berbahaya dan mematikan hewan ternak maupun manusia. Sebanyak 87 penduduk dusun itu positif terkena bakteri antraks setelah menjalani tes serologi. Kulit enam orang di antaranya mengalami korengan dan melepuh. Sugeng menuturkan salah satu warga yang tinggal di RT 01 meninggal pada 4 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga berusia 70 tahun itu menyembelih sapi yang tiba-tiba rubuh dan mati. Pagi itu, empat ekor sapi tiba-tiba rubuh dan mati. Sapi-sapi itu sebelum mati tidak mengalami apa-apa, tidak sakit, dan makan rumput seperti biasanya. “Semuanya mati di kandang, lalu disembelih warga,” kata Sugeng.
Daging hewan itu kemudian dibagikan kepada warga untuk dikonsumsi. Desa-desa di Jawa, antara lain di Gunungkidul, mengenal tradisi mbrandu atau porak. Kegiatan itu adalah membeli sapi mati atau sakit melalui iuran bersama. Tujuannya untuk membantu atau meringankan kerugian pemilik sapi. Iuran yang dikumpulkan itu besarannya separuh dari harga sapi. Pemilik sapi yang mati menyembelih dan menjual daging dengan harga murah ke tetangga.
Warga tak memahami bahwa sapi-sapi mereka terkena antraks, lalu mengkonsumsi dagingnya bersama-sama. Sebagian orang yang ikut menyembelih dan mengkonsumsi daging sapi terkena antraks kulit. Sugeng ikut mengkonsumsi daging sapi yang disembelih itu. Namun dia menyatakan tidak ada tanda-tanda dirinya terpapar antraks. Sejumlah warga mengalami tanda-tanda terkena antraks, terlihat dari kulitnya yang melepuh. "Ada luka koreng di tangan dan menghitam," ujarnya.
Petugas saat mengambil sampel tanah buntut kasus antraks di Pedukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Kabupaten Gunungkidul, 5 Juli 2023. detik.com/Pradito Rida Pertana
Setelah ada kasus kematian warga itulah, Sugeng mengatakan, petugas Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Gunungkidul turun ke lapangan untuk memvaksin semua hewan ternak, kecuali yang bunting. Petugas juga membagikan antibiotik kepada warga. Balai Besar Veteriner juga telah mengambil sampel tanah di lokasi penyembelihan sapi.
Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi wilayah paling rawan terpapar antraks. Dalam lima tahun terakhir, penularan antraks selalu ditemukan di Kota Pelajar itu. Yang teranyar, sebanyak 85 orang terkonfirmasi positif dan tiga di antaranya tewas karena terinfeksi bakteri Bacillus anthracis di Desa Candirejo, Gunungkidul, Yogyakarta. “Di Gunungkidul sejak 2019. Setiap tahun selalu ada,” ujar Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian, Syamsul Ma’arif, kemarin.
Dia menjelaskan, kasus antraks di GunungKidul berawal dari tiga ekor sapi dan seekor kambing yang mati pada 15-26 Mei lalu. Hewan-hewan itu kemudian disembelih. Daging hewan tersebut dibagikan kepada warga untuk dikonsumsi. Tiga orang yang membantu penyembelihan sapi tersebut meninggal.
Syamsul mengatakan tindakan warga mengkonsumsi hewan ternak yang mati karena terpapar antraks sangat berbahaya. Sebab, begitu hewan ternak yang terpapar antraks dibedah, spora bakteri tersebut bisa menyebar luas. Bahkan spora antraks bisa bertahan hingga puluhan tahun di tanah. ”Membedah hewan yang mati saja tidak boleh, apalagi mengkonsumsinya,” ujarnya.
Waspada Antraks di Yogyakarta
Pemerintah Membentuk Kader Zoonosis
Antraks, Syamsul menjelaskan, merupakan penyakit yang tidak bisa dihilangkan, tapi bisa dicegah penularannya. Bakteri antraks diperkirakan ditemukan di Indonesia pada 1884. Penyakit tersebut termasuk salah satu kategori zoonosis yang paling rawan penularannya di Indonesia. Dari 15 penyakit zoonosis yang perlu penanganan serius, antraks menduduki urutan ketiga teratas yang paling mendapat perhatian setelah avian influenza dan rabies.
Namun, kata Syamsul, masih banyak daerah yang menutupi informasi kematian hewan mereka yang diduga terkena antraks. Dampaknya, potensi persebaran bakteri ini hampir selalu ditemukan setiap tahun. Dia menegaskan, informasi kematian hewan ternak dengan gejala antraks mesti segera dilaporkan untuk diinvestigasi dan dicegah penularannya agar tidak meluas.
Pemerintah, kata dia, berinisiatif membentuk kader zoonosis untuk mencegah penularan antraks dan penyakit zoonosis lainnya. Setiap orang yang dipilih menjadi kader zoonosis akan dilatih untuk terlibat memantau dan memberi respons cepat terhadap setiap kejadian zoonosis. Kader zoonosis memiliki kriteria tertentu dan ditetapkan oleh bupati atau wali kota melalui usulan lurah atau kepala desa sebagai perwakilan dari masyarakat.
"Kader zoonosis ini dibentuk untuk membangun partisipasi aktif dan tanggung jawab masyarakat dalam kegiatan pengendalian dan penanggulangan zoonosis,” ujarnya. “Tidak perlu panik menyikapi temuan antraks karena memang kita mesti bersahabat dengan penyakit ini, tapi perlu respons dan pemahaman yang tepat untuk mencegah penularannya,” ucap Syamsul.
Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Nuryani Zainuddin, mengatakan Indonesia sudah tidak bisa bebas dari antraks, tapi penyakit itu masih dapat dikendalikan. Pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi pengendalian antraks. Salah satunya menyebar 96 dosis vaksin antraks di seluruh provinsi dan mengambil 5.707 sampel untuk pengamatan dan identifikasi antraks terhadap hewan ternak pada tahun ini.
Baca: Ternak di Sumbawa Diisolasi
Dia menjelaskan, di Yogyakarta sudah dialokasikan 2.500 dosis vaksin, dan akan ditambah setelah ditemukan kasus di Gunungkidul. “Kami telah menyiapkan 110 ribu dosis vaksin sebagai buffer stok di pusat jika terjadi wabah seperti di Gunungkidul, untuk mengantisipasi penyebarluasan ke wilayah lain.”
Pendataan oleh Kementerian Pertanian tercatat sebanyak 143.796 sapi, 202.555 kambing, dan 11 ribu domba yang menjadi populasi rentan terpapar antraks di Gunungkidul. Di daerah tersebut memang menjadi wilayah endemik antraks di Yogyakarta karena penanganannya tidak dilakukan secara baik. Akibatnya, dalam beberapa tahun terakhir selalu ditemukan kasus antraks di sana. “Apalagi ada tradisi membagikan daging hewan yang sudah mati sehingga menimbulkan kasus antraks yang begitu cepat pada manusia,” ucap Nuryani.
Kementerian Pertanian menyesalkan lambatnya informasi laporan kejadian antraks yang terjadi di Gunungkidul. Padahal kasus kematian ternak di sana terjadi sejak November 2022, lalu April-Mei 2022, tapi baru diketahui dinas pertanian setempat pada 2 Juni lalu. Balai Besar Veteriner Wates menerima sampel tanah dari lokasi kematian ternak yang diduga terjangkit antraks dan setelah diuji lab menunjukkan hasil positif bakteri antraks.
Persebaran antraks di Gunungkidul tersebut menjadi perhatian utama karena salah satu warga yang ikut menyembelih meninggal pada 25 Mei lalu, dengan diagnosis radang selaput otak atau meningitis. Setelah korban pertama, dua warga lainnya yang ikut menyembelih tewas pada 29 Mei dan 4 Juni, dengan gejala klinis kulit gatal bengkak dan mual. “Kami baru mengetahui kejadian itu saat menerima sampel tanah. Padahal kasus ini harus cepat ditelusuri,” ucapnya.
Pedagang sapi menjajakan sapi dagangannya di Pasar Hewan Ternak Ambarketawang, Gamping, Sleman, D.I Yogyakarta, 20 Juni 2023. ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Mengawasi Lalu Lintas Perdagangan Sapi
Setelah temuan tersebut, pemerintah langsung melakukan pengendalian dengan cara mengawasi lalu lintas perdagangan sapi antarwilayah dan memvaksinasi dengan cakupan 80 persen populasi ternak di sana. Selain itu, di daerah yang menjadi lokasi temuan dilakukan disinfektan untuk mematikan spora antraks. “Kami juga mencari daerah mana yang menyebar daging itu karena pasti spora telah menyebar di wilayah itu,” ucapnya. “Wilayah itu juga menjadi tempat prioritas disinfektan.”
Yulius mengatakan Balai Besar Veteriner memang telah mengambil sampel tanah di lokasi penyembelihan sapi. Namun pemerintah setempat belum mengecor dengan semen di tanah tempat penyembelihan sapi. Pengecoran itu untuk menahan penyebaran spora antraks karena spora bertahan hidup di tanah puluhan hingga ratusan tahun. Menurut dia, pemerintah saat ini baru sebatas mengambil sampel tanah berkali-kali dan menyemprotkan formalin.
Peneliti penyakit zoonosis dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Wayan Tunas Artama, menjelaskan, spora menjadi sumber infeksi dari dalam tanah kapan pun, menyebar, dan menjalar ke mana saja. Koordinator One Health Collaborating Center Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu menyebutkan sistem kontrol antraks harus ketat. Kepala daerah harus memberi pengarahan bahwa antraks sangat berbahaya, mematikan, dan bisa menular ke banyak tempat. Masyarakat pun tak boleh menjual hewan ternaknya ketika terduga terkena antraks.
Direktur Pencegahan dan Penanganan Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, mengatakan temuan antraks di Gunungkidul sudah bisa ditetapkan menjadi kejadian luar biasa (KLB). Sebab, kasus antraks di wilayah tersebut telah menelan korban jiwa. “Jadi, status KLB secara definisi sudah bisa disampaikan karena sudah ada kematian,” ucapnya.
Infeksi antraks merupakan penyakit dengan tingkat kematian tinggi jika telah terpapar. Tingkat kematian jika bakteri antraks menginfeksi pernapasan bisa mencapai 80 persen. “Karena itu, penanganan hewan yang terkontaminasi perlu perhatian intensif,” ucapnya.
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan surat kewaspadaan kepada dinas kesehatan dan rumah sakit di lima kabupaten/kota di Yogyakarta untuk mengantisipasi penyebaran antraks. Sebab, bakteri antraks bisa menyebar melalui udara. Pemerintah juga akan memberikan pengobatan gratis profilaksis kepada populasi yang terpapar.
Pemerintah pun telah melakukan penyelidikan epidemiologi terpadu oleh Satuan Tugas One Health Kepanewon Semanu. Pendekatan One Health merupakan kerja bersama kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. “Kami telah melakukan serosurvei terhadap populasi yang berisiko,” ucapnya.
Adapun Kepala Dinas Kesehatan Yogyakarta, Pembajun Setyaningastutie, mengatakan masih menunggu arahan pemerintah pusat dalam menetapkan status KLB antraks di Gunungkidul. Sebab, penetapan KLB ditentukan berdasarkan rekomendasi Peraturan Menteri Kesehatan. Rekomendasi itu mengacu pada sejumlah faktor, di antaranya lonjakan jumlah kasusnya sudah dua kali lipat atau lebih dibanding pada tahun atau periode sebelumnya.
Selain itu, Pembajun melanjutkan, penentuan KLB melihat faktor jumlah kematian meningkat 50 persen dalam kurun waktu yang sama. Selain itu, angka proporsi kasus kejadian naik dibanding periode sebelumnya. “Melihat peningkatan kasus di Gunungkidul, sebenarnya kalau mengacu peraturan Menteri Kesehatan, sudah KLB sejak 2019, atau saat kasus pertama itu muncul,” kata Pembajun.
Wakil Bupati Gunungkidul Heri Susanto punya pandangan berbeda. Menurut dia, penetapan status KLB antraks di Gunungkidul saat ini belum perlu. Alasannya, Heri menuturkan, lokasi penemuan kasus, yakni di Dukuh Jati, Candirejo, Kecamatan Semanu, tersebut sudah terlokalisasi serta dapat ditangani petugas. "Saat ini kasus di Dukuh Jati itu sudah terlokalisasi, tidak menjalar ke mana-mana, dan petugas masih bisa intensif memantau,” kata dia. Heri menuturkan penanganan di area yang terkontaminasi spora antraks terus dilakukan, seperti pemberian formalin kemudian pemeriksaan di laboratorium.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan semestinya pemerintah daerah telah menetapkan status KLB atas temuan kasus antraks yang telah memakan korban jiwa. Penetapan KLB tersebut bakal membuat penanganan kasus tersebut bisa lebih efektif karena akan ada kolaborasi dari sejumlah instansi terkait. “Kalau antraks sebenarnya ditemukan satu kasus saja harus sudah jadi KLB,” ujarnya.
IMAM HAMDI | SHINTA MAHARANI | PRIBADI WICAKSONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo