Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Selubung Korupsi di Jalur Mandiri

Kasus korupsi Rektor Unila, Karomani, membuka selubung korupsi di perguruan tinggi. Dampak dari komersialisasi pendidikan. Ayu Anastasia Rachman, mahasiswa doktoral Universitas Padjajaran, menulis berbagai modus praktik transaksional di kampus berikut rekomendasi pemberantasannya.

31 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila), Karomani, bersama sejumlah pejabat kampus tersebut sebagai tersangka kasus suap seleksi mahasiswa jalur mandiri tahun 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rektor Unila diduga mematok “harga” Rp 100-350 juta untuk meloloskan mahasiswa masuk ke kampusnya. Ia mengantongi total dana suap hingga Rp 5 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Korupsi di perguruan tinggi negeri (PTN) dengan kedok penerimaan jalur mandiri sudah lama menjadi rahasia umum. Proses seleksinya yang cenderung tertutup membuka ruang bagi kampus untuk menerapkan praktik “transaksional”.

Menurut laporan Indonesia Corruption Watch, kasus suap penerimaan mahasiswa baru hanyalah 1 dari 12 pola korupsi perguruan tinggi di Indonesia.

Seleksi mahasiswa di berbagai belahan dunia memang rentan terhadap praktik korupsi dan suap.

Ini terlihat dari penyuapan masif di beberapa kampus top Amerika Serikat (AS) pada 2019 yang dijuluki skandal “Varsity Blues”, hingga korupsi pemimpin Unila di Indonesia. Keduanya bahkan memiliki kesamaan motif: aktor intelektual dengan pengaruh dan kekuasaan mengumpulkan biaya besar dari orang tua yang putus asa untuk memasukkan anak mereka ke universitas bergengsi.

Saya melihat bahwa praktik korupsi dalam rekrutmen mahasiswa baru, yang seharusnya berbasis merit dan keadilan, kini semakin gencar di tengah meningkatnya iklim kapitalisme akademik. Demi menjaga marwah perguruan tinggi, kita perlu mendorong perubahan secara sistemik.

Rektor Universitas Lampung, Karomani (depan), resmi memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan pasca terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 21 Agustus 2022. TEMPO/Imam Sukamto

Subyektivitas Jalur Mandiri

Penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). Tujuannya agar PTN memiliki jalur alternatif selain SNMPTN dan SBMPTN untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa tiap institusi.

Kriteria jalur ini memang diumumkan secara transparan. Namun, UU PT memberi ruang bagi PTN untuk mengatur seleksinya sesuai dengan kepentingan pribadi institusi, sehingga bisa memiliki subyektivitas tinggi dan kerap mengabaikan kriteria kompetensi.

Subyektivitas ini bisa kita lihat dalam kasus suap Unila 2022. Karomani memerintahkan bawahannya untuk menyeleksi calon mahasiswa baru secara personal, salah satunya dengan menimbang gaji dan kesanggupan orang tua mereka membayar sejumlah uang.

Ditambah dengan kuota yang terbatas (maksimal 30 persen) dan peminat yang membeludak, penerimaan mahasiswa pada jalur ini sering kali berdasarkan favoritisme, kekerabatan, dan potensi pundi-pundi uang keluarga para mahasiswa.

Jalur mandiri di lingkup PTN terkadang juga mengandung berbagai skema khusus, seperti "Jalur Olimpiade/Olahraga", "Jalur Afirmasi", atau bahkan "Jalur Daerah 3T".

Penelitian pakar sosiologi AS, Jerome Karabel, mengungkapkan bahwa jalur penerimaan mahasiswa afirmasi dari berbagai latar belakang budaya, sosial, dan ekonomi kerap menjadi sekadar kedok untuk meningkatkan prestise institusi—ketimbang benar-benar sebagai bentuk komitmen kampus terhadap inklusivitas dan keberagaman.

Gencarnya Kapitalisme Akademik

Maraknya aksi aktor intelektual di balik korupsi penerimaan mahasiswa baru PTN juga muncul salah satunya akibat perguruan tinggi di Indonesia yang kini makin neoliberal atau didikte oleh pasar.

Misalnya tuntutan pasar untuk menjadi "kampus kelas dunia", adanya pelimpahan kewenangan dari negara kepada PTN, terutama yang berbadan hukum (PTN-BH) untuk mengelola keuangan sendiri, serta berkurangnya alokasi dana hibah, membuat banyak PTN mencari sumber dana alternatif untuk senantiasa berinvestasi demi meningkatkan keunggulan institusi.

Kondisi seperti inilah yang menurut peneliti pendidikan tinggi Sheila Slaughter dan Larry Leslie bisa mendorong kapitalisme akademik.

Universitas juga tersandera oleh budaya pemeringkatan global yang mendorong mereka pada praktik perlombaan kosong untuk seakan-akan menaikkan daya saing.

Salah satu indikator keunggulan kampus pada Times Higher Education, misalnya, adalah pertumbuhan jumlah mahasiswa baru.

Banyak kampus kemudian membuka pendaftaran berbayar melalui jalur mandiri, bahkan berkali-kali dalam setahun. Riset pun menemukan bahwa banyak kampus ternama di berbagai negara sengaja membatasi kuota jalur ini sekitar 10-15 persen saja, sehingga mendongkrak eksklusivitas dan prestise institusi, sekaligus menciptakan kelangkaan, membuat biaya jalur mandiri menjadi mahal, dan menaikkan hasrat masyarakat.

Tidak mengherankan jika orang tua begitu putus asa dan terlibat dalam beragam bentuk korupsi, baik praktik suap maupun berbagai kedok sumbangan.

Orang tua kelas menengah akan menyuap kampus untuk mempertahankan status sosialnya. Sedangkan orang miskin menjadi penonton para orang kaya yang menyuap orang kaya lainnya.

Perlu Perubahan Sistemik

Modus korupsi Rektor Unila dan beberapa jajaran fakultas merupakan fenomena gunung es di Indonesia. Hal ini tidak akan bisa berhenti hanya dengan menangkap satu atau dua individu, atau hanya kasus per kasus.

Korupsi tumbuh dalam kegelapan dan kerahasiaan. Saya melihat setidaknya ada tiga perubahan yang bisa diterapkan oleh kampus untuk menutup ruang korupsi dan suap.

Pertama, perlu pendekatan struktural di dalam kampus supaya lebih transparan dan demokratis.

Kampus bisa meninjau kembali peran badan tertinggi di lingkup universitas, yakni Majelis Wali Amanat (MWA), agar lebih independen dalam mengawasi PTN, termasuk dalam penerimaan mahasiswa baru.

Keanggotaan MWA PTN, yang berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2015 kini didominasi oleh unsur pemimpin kampus termasuk rektor, membuat identifikasi tindak korupsi unsur pemimpin kampus menjadi sulit.

Kewenangan MWA perlu diperkuat agar bisa memastikan seluruh proses dan aktivitas pemimpin kampus patuh terhadap hukum.

Jika perlu, ada pemisahan fungsi legislatif (mengangkat dan memberhentikan rektor, mengesahkan statuta, hingga mengusulkan anggaran) dengan fungsi yudikatif (pengawasan serta pengawalan terkait dengan aturan dan anggaran) untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan.

Kedua, sistem di dalam kampus juga terbentuk oleh pengaruh luar, seperti kekuasaan dan uang.

Negara bisa memitigasi praktik korupsi dalam kampus dengan merevisi UU PT, terutama terkait dengan jalur mandiri PTN, agar tidak kebablasan.

Dalam regulasi jalur mandiri, misalnya, pemerintah bisa mengadaptasi kerangka Kepatuhan Anti-Suap dan Korupsi (Anti-Bribery and Corruption Compliance) dari The Wolfsberg Group, yang juga diterapkan oleh banyak kampus di dunia dalam mengembangkan standar keuangan untuk tindakan anti-korupsi dan pencucian uang.

Universitas Birmingham di Inggris, misalnya, telah menggunakannya untuk mendefinisikan kategori kejahatan suap, serta menerapkan pencegahan dan penanganan yang berbasis risiko.

Ketiga, dalam meredam iklim kapitalisme akademik, kampus sebaiknya beralih ke model bisnis yang berkelanjutan dan menjauhi praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai akademik.

Misalnya kampus dapat menerapkan model pendanaan berbasis kemitraan penelitian dengan melibatkan investasi dari "triple-helix" (universitas-industri-pemerintah) ketimbang menaikkan uang kuliah mahasiswa. Sebab, tingginya biaya kuliah bisa memperburuk akses pendidikan tinggi.

Tiga hal di atas merupakan reformasi struktural yang harapannya dapat mengatasi masalah pengawasan dan dinamika pasar yang berperan dalam penyuapan penerimaan mahasiswa.

Selain itu, orang tua dan mahasiswa harus berhenti membatasi diri mereka hanya sebagai konsumen PTN dengan nama dan fasilitas mewah.

Hadirnya berbagai perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia dengan prodi yang lebih beragam, serta institusi yang telah banyak terakreditasi, bisa dilihat sebagai pilihan alternatif yang baik untuk menempuh pendidikan tinggi.

Masyarakat tidak boleh lagi terjebak pada pola korupsi akibat kapitalisme akademik yang digencarkan oleh beberapa kampus yang tidak bertanggung jawab.

---

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus